Adalah Clifford Geertz (1926-2006), Indonesianis asal Amerika, yang menegaskan bahwa bukanlah pihak asing yang menentukan sejarah Indonesia.
Risetnya pada level masyarakat Indonesia yang begitu dinamis mementahkan anggapan umum tentang ketidakberdayaan Indonesia menjadi bangsa mandiri karena pelbagai kekuatan dan dikte pihak asing. Tesisnya jelas, bangsa Indonesia sendiri yang membuat sejarah (bdk. Baskara T Wardaya, 2017).
Konklusi ini kedengaran kontingen, tetapi sebetulnya permanen. Kontingensi terletak pada dua matra, yaitu politik dan ruang-waktu. Apa yang bersifat politis senantiasa berdampak atau dipengaruhi oleh aspek lain, seperti sosial budaya. Politik tidak pernah berdiri sendiri persis karena tipikalitas masyarakat Indonesia yang kolektif.
Sementara kontingensi kontekstual menunjuk pada periode liminal saat Indonesia kedatangan pihak-pihak asing pada masa lalu, seperti Belanda, Jepang, dan Amerika. Kepermanenan itu konkret dalam fakta politik saat ini. Bahwa pihak asing tak ada lagi dalam keseharian masyarakat politik, hal ini lebih sebagai pernyataan daripada kenyataan.
Ketika mencari akar masalah mengenai jegal-jegalan politik secara banal, tidak pernah pihak mana pun—baik praktisi maupun akademisi—yang mau mengakui orisinalitas budaya konfrontatif itu adalah khas Indonesia. Yang disalahkan Belanda yang menerapkan politik divide et impera.
Bahwa rebutan kekuasaan tidak pernah bersifat transenden, apalagi produktif, selalu saja semua pihak mengelak untuk dipersalahkan. Jauh lebih mudah adalah menyalahkan kubu lain. Energi menjadikan pihak lain sebagai akar masalah justru mengkristalkan betapa secara antropologis masyarakat Indonesia mengalami kompleks inferiotas yang begitu masif.
Kontingensi itu tidak melulu bersifat hipotetis. Budaya konfrontasi tanpa solusi ekuivalen dengan kultur destruktif. Alih- alih merupakan bentuk dekonstruksi, tak satu pun bisa mengajukan bantahan ilmiah bahwa dekonstruksi tersebut bukan lain adalah destruksi total.
Setiap bentuk kemajuan progresif demi kepentingan bersama (common good) senantiasa mengaktifkan resistensi total. Oposisi tidak sekadar institusionalisasi politik pengubuan, tetapi epitomisasi hasrat-hasrat primitif penghancuran tatanan.
Tahun politik hanyalah sekadar luapan jeroan sesungguhnya bahwa masyarakat Indonesia memang pada dasarnya hanya bisa saling mendestruksi, bukannya mengonstruksi. Belum sebuah tesis terbangun, proses antitetis sudah diaktifkan begitu rupa seolah-olah tesis baru.
Lihatlah program-program yang dipancang. Tak satu pun merupakan ide baru. Yang ada hanyalah antitesis terhadap program lama. Kalaupun ada, pastilah hanya sebentuk catatan kaki. Indonesia tidak bisa membuat halaman tersendiri. Bukan karena ketidakbisaan, melainkan karena kekuatan-kekuatan destruktif atas nama dekonstruksi itu jauh lebih berurat akar.
Isu antropologis
Ada tesis yang mengatakan bahwa personifikasi terhadap kekuasaan menjadi akar segala permasalahan karena melekatpar excellence dalam urat nadi masyarakat Indonesia. Personifikasi kekuasaan merujuk pada kecenderungan alami untuk menerima kekuasaan sebagai kesempatan untuk eksis sebagai patron dalam kultur feodal.
Personifikasi kekuasaan ini tidak sekadar hanya persepsi, tetapi yang paling konstitutif adalah berupa konsepsi. Pendakuan kekuasaan yang khas feodal menempatkan kekuasaan sebagai kekuasaan itu sendiri. Pelbagai muatan saleh dari konsep meritokrasi sampai lapis teologis sebagai bentuk pengabdian hanyalah sebentuk lip service demi sopan santun publik.
Personifikasi kekuasaan inilah yang menjadi elan vital perebutan politik sedemikian brutal. Pilihan untuk lebih melanggengkan budaya konfrontasi tanpa menyertakan solusi adalah satu gejala. Siapa peduli soal ideal politik jika ranah real politik terlalu kasar untuk ditaklukkan?
Secara kategoris, model pendekatan destruktif tidak pernah bertuan. Bahwa tanggung jawab utama dalam pembentukan kultur politik selalu saja ada pada bangsa Indonesia sendiri, gagasan ini terlalu naif untuk dipikirkan secara intelektual. Pastilah serapan-serapan khas masyarakat Indonesia menjadi variabel dalam pengabadian pendekatan dekonstruktif tersebut.
Lucunya, pendekatan seperti ini dipakai sebagai excuse filosofis mengapa masyarakat bangsa Indonesia tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri. Seolah-olah prototipe keindonesiaan tidak pernah ada sampai bangsa-bangsa asing datang dan meletakkan platform sedemikian kuat di masa lalu.
Stereotipikalisasi kultural ini sama saja dengan penghindaran tanggung jawab ilmiah untuk menerima bahwa Indonesia masih dicekam oleh kompleks inferioritas yang begitu masif.
Hanya inferioritas yang menyetor perasaan tidak aman (insecure) sehingga melihat pihak lain selalu sebagai kubu yang harus disingkirkan.
Insekuritas kultural ini bersifat antropologis, tidak sekadar fenomena insidental ataupun periferal. Fakta sebagai bangsa jajahan selalu diungkit sebagai ratapan kolektif untuk memberikan legitimasi terhadap pelbagai bentuk dekonstruksi, bahkan untuk sesuatu yang sudah tertata baik.
Berwajah kekuasaan
Secara performatif, inferioritas selalu berwajah kekuasaan. Politisasi sebagai pihak korban selalu mendapat respons massal. Pencitraan tanpa substansi adalah ekspresi untuk menyembunyikan inferioritas.
Tak ayal, pendekatan artifisial tersebut justru mencerminkan Indonesia sebagai bangsa yang melawan dirinya sendiri. Di sinilah letak arogansi wong Indonesia meski tidak pernah terang-terangan karena ditutup dengan selimut saleh.
Subtilnya arogansi politik Indonesia tidak pernah blakblakan. Bukanlah gaya-gayapompous yang secara lahiriah kelihatan angkuh. Dalam bahasa Jawa, arogansi demikian disebut kumalungkung. Kesombongan khas ini muncul dari pekatnya kompleks inferior sehingga bukan saja tidak berani mengakui keunggulan kubu lain, melainkan juga rapuh berdiri di atas kaki sendiri.
Kecenderungan bawaan dari karakterkumalungkung adalah hasrat melimpah untuk mendekonstruksi apa pun, termasuk bangunan yang sudah mulai tertata secara baik. Tipikal inferior, bukan nyali besar.
Alhasil, tahun politik ini merupakan ajang terbuka yang begitu transparan untuk melihat betapa inferiornya masyarakat politik Indonesia, tetapi sekaligus mencerminkan betapa kumalungkung– nya wong Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar