Langkah serupa ditempuh sejumlah negara dengan melarang keras atau membatasi penggunaan uang virtual. Sebagian lain masih mendua. Fenomena uang virtual juga dibahas dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos baru-baru ini. Sebagian besar peserta umumnya menolak mata uang virtual sebagai instrumen investasi dan alat pembayaran.

Alasannya jelas, untuk melindungi masyarakat dan stabilitas makroekonomi. Unsur spekulatif, sangat tingginya fluktuasi dan volatilitas, ditambah rawannya manipulasi dan rentannya sistem untuk diretas seperti di Jepang baru-baru ini, menunjukkan mata uang virtual tak memenuhi syarat keamanan sebagai instrumen investasi atau alat pembayaran yang bisa dipercaya.

Tak ada administrator, pengawas, dan otoritas yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan keamanannya. Tahun lalu, nilai bitcoin melonjak 1.000 persen lebih dan anjlok sekitar 40 persen hanya dalam enam minggu. Alasan lain beberapa negara melarang penggunaan mata uang virtual karena cenderung digunakan kriminal untuk transaksi ilegal. Kalaupun diperbolehkan, kehati-hatian tinggi diperlihatkan, dengan pemerintah sangat ketat mewajibkan pengguna menunjukkan identitasnya.

Argumen lebih banyak mudarat daripada manfaatnya itulah yang membuat banyak ekonom terkemuka, termasuk peraih Nobel Paul Krugman, Joseph Stiglitz, dan Robert Schiller, menentang keras uang virtual seperti bitcoin. Bagi Krugman, bitcoin tak lebih dari skema Ponzi atau investasi bodong.

Krugman melihat bitcoin berbahaya bagi perekonomian karena dengan perputaran transaksi mencapai 3 miliar dollar AS per hari pada 2017, itu ibarat gelembung raksasa yang berujung pada bencana krisis finansial dahsyat jika meletus. Belum lagi keruwetan dan ketidakpraktisan penggunaannya. Keruwetan dalam penggunaan membuat para pakar menganggap tak ada urgensi menggunakan bitcoin kecuali untuk transaksi rahasia saat pemakai tak ingin siapa pun tahu apa yang dibeli atau dijual.

Bisa ditebak, itu tak jauh-jauh dari narkoba, judi, terorisme, seks, penghindaran pajak, korupsi, dan transaksi ilegal lain.

Sejauh ini, perlawanan dari pihak otoritas moneter dan fiskal di sejumlah negara memang tak mampu meredam peminat dan pendukung mata uang virtual yang menganggap mereka yang menentang kehadiran mata uang virtual dan teknologiblockchain-nya sebagai miopik. Mereka meyakini teknologi kriptografik membuat bitcoin jauh lebih transparan dan aman daripada instrumen sistem finansial yang ada selama ini.

Selain itu, sebagai produk teknologi digital yang terus berkembang pesat, bukan tak mungkin kehadiran uang virtual menjadi sebuah keniscayaan yang sulit ditolak di masa depan, sehingga bank-bank sentral tak perlu menutup diri terhadap kemungkinan manfaat yang bisa dihadirkan uang virtual dalam perekonomian.