KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (tengah) memimpin panel hakim dalam sidang pembacaan keputusan terkait uji materi pasal makar dalam KUHP di Gedung MK, Jakarta, Rabu (31/1).

Di negeri ini, hakim konstitusi saja yang jelas disebutkan sebagai negarawan. Penyelenggara negara lain berarti memang boleh bukan negarawan.

Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2011 yang mengubah UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, hakim konstitusi harus memenuhi syarat memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Tidak ada UU lain yang mensyaratkan kenegarawanan bagi calon pemangku jabatan itu, termasuk untuk calon presiden dan wakil presiden sekalipun.

Bunyi UU MK itu adalah perwujudan dari perintah konstitusi. MK mempunyai sembilan hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Presiden. Hakim konstitusi haruslah berintegritas, tak tercela, adil, negarawan, tak merangkap jabatan politik atau ekonomi.

Sebagai negarawan, hakim konstitusi, dari mana pun lembaga yang mengusungnya, haruslah seorang yang sudah selesai dengan dirinya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan negarawan itu mengelola negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam pepatah Jawa,berbudi bawa laksana. Satu kata dan perbuatan, berwatak baik, serta bijaksana.

Tak mudah mencari negarawan. Apalagi UU MK juga mensyaratkan calon hakim konstitusi yang awalnya cukup bergelar sarjana hukum diubah menjadi berijazah doktor dan magister dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum. Dengan berpendidikan (amat) tinggi, diharapkan seorang hakim konstitusi sudah "matang" secara akademis, emosi, dan bersikap.

Ironis. Negarawan di MK, yang berjumlah sembilan orang saja justru berulang kali terbelit masalah dan selalu menarik perhatian publik. Ketua MK Akil Mochtar pada 2013 diamankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap. Tahun 2017, hakim konstitusi Patrialis Akbar pun ditangkap KPK. Keduanya sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.

Tahun 2011, hakim konstitusi Arsyad Sanusi diduga melanggar etika. Dia membiarkan keluarganya berhubungan dengan pihak yang berperkara. Arsyad mundur sebagai hakim konstitusi meski ia hanya dinyatakan melakukan pelanggaran ringan kode etik. Di sisi lain, Ketua MK (saat ini) Arief Hidayat, Rabu (31/1), diadukan ke Dewan Etik MK. Arief diduga kembali melanggar etika. Ini adalah laporan keempat yang tertuju kepada Arief. Dalam dua laporan sebelumnya, dia dinyatakan melakukan pelanggaran dan diberi sanksi ringan.

Laporan terhadap Arief ini mengingatkan pada laporan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto pada 2015 terkait permintaan saham PT Freeport Indonesia. Sebelum Majelis Kehormatan Dewan memutuskan sanksi, Setya mengundurkan diri. Sebagai politisi, setelah lobi dan memenangi kursi Ketua Umum Partai Golkar, dia kembali memimpin parlemen. Akhirnya Setya terpaksa mundur akhir 2017. Dia terbelit dugaan korupsi terkait proyek KTP elektronik.