Pangan merupakan kebutuhan paling mendasar untuk masyarakat. Sangat ironis jika sebuah negara agraris masih berkutat mengatasi masalah pangan. Sementara hampir semua negara sudah sibuk memenuhi tuntutan pembangunan berkelanjutan, bahkan saling berjibaku guna memenangi kompetisi menuju revolusi industri 4.0.
Jika mengurus pangan saja masih terus menjadi pekerjaan rumah, harapan perbaikan kualitas hidup masyarakat pun akan semakin menjauh. Kecukupan pangan menjadi salah satu penentu kualitas sumber daya manusia (SDM). Sayangnya, sepertiga dari anak Indonesia ditemukan dalam kondisi kurang gizi. Salah satu penyebabnya, tentu akses pemenuhan kecukupan kebutuhan pangan masyarakat. Stabilitas harga pangan memiliki andil yang sangat signifikan.
Nyatanya, harga pangan (volatile foods) justru jadi penyumbang inflasi yang cukup dominan, selain harga energi. Bahkan, lebih dari 70 persen penghasilan dari 40 persen masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah habis untuk memenuhi kebutuhan pangan. Artinya, setiap terjadi lonjakan harga pangan, daya beli masyarakat terpengaruh. Ini termasuk daya beli petani yang menjadi penghasil pangan, tetapi sekaligus sebagai konsumer. Apalagi setiap masa panen atau menjelang hari raya, selalu diikuti gejolak harga pangan. Akhirnya, angka inflasi yang rendah justru menjadi paradoks terhadap turunnya daya beli masyarakat.
Agar harga pangan terjangkau dan stabil, petani harus menjual murah hasil panennya. Jika insentif ekonomi semakin hilang dari sektor pertanian, produktivitas sektor pertanian akan semakin merosot.
Padahal, rumus utama stabilisasi harga sederhana dan jelas, yaitu keseimbangan pasokan dan permintaan. Pangan merupakan kebutuhan pokok, sifat permintaannya pasti inelastis. Berapa pun harganya tidak akan memengaruhi secara signifikan jumlah permintaan. Artinya, tren jumlah permintaan dengan tepat dapat dikalkulasi, tinggal menyesuaikan pertumbuhan penduduk. Dengan kata lain, kunci stabilisasi mestinya menjadi sangat jelas, yaitu manajemen stok atau pasokan dan upaya diversifikasi pangan.
Manajemen pasokan penentu utamanya tentu dari hulu, yaitu peningkatan produksi pangan. Formula baku fungsi produksi juga sangat jelas, yaitu efisiensi faktor input dan insentif ekonomi harga output. Sepanjang sejarah, lahan petani di Indonesia memang sempit. Program Inmas dan Bimas pernah mampu mengantarkan swasembada pangan. Artinya, keefektifan subsidi benih dan pupuk, penyuluh pertanian, terpenuhinya irigasi, dan rekayasa kelembagaan melalui koperasi unit desa mampu mengatasi problem petani gurem.
Jangan berasumsi
Harga pembelian pemerintah (HPP) untuk petani tidak ditentukan berdasarkan asumsi. Biaya produksi petani akan efisien dengan beberapa syarat. Syarat itu antara lain subsidi pupuk dinikmati petani, petani mendapat benih yang berkualitas tepat waktu, kebutuhan irigasi terpenuhi, tenaga penyuluh efektif mendampingi petani dengan teknologi tepat guna, dan bantuan alat-alat pertanian sampai ke petani.
Efektivitas penetapan harga eceran tertinggi ditentukan oleh struktur pasar dan persaingan yang sehat. Sekalipun pasar gagal mencapai persaingan yang sehat, pemerintah akan hadir untuk mengatasi market failure.
Melalui keberadaan badan penyangga (Bulog), pemerintah memiliki instrumen stabilisasi harga, antara lain melalui operasi pasar dari cadangan pemerintah. Jadi, sekalipun ada pihak yang mendominasi pasokan, dia tidak akan punya ruang sebagai penentu harga. Tentu akan berbeda hasilnya ketika operasi pasar berevolusi hanya sekadar menjadi proyek pasar murah.
Sejalan dengan dinamika perkembangan konektivitas antardaerah dan kemajuan teknologi, manajemen stok pangan mestinya makin mudah. Pemantauan data posisi neraca komoditas antardaerah akan membantu memetakan potensi daerah dan siklus tanam atau panen setiap komoditas. Dengan koordinasi, siklus tanam atau panen dapat diatur dan dikelola. Jadi, akan terjadi kesinambungan pasokan dan dapat mencegah jatuhnya harga di tingkat petani ketika panen raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar