Menyiapkan Thomas-Uber
Final Piala Thomas dan Piala Uber akan diselenggarakan di Thailand Mei 2018. Sudah lama Indonesia tak memenangi salah satu dari atau kedua piala itu. Kita rindu prestasi Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Iie Sumirat, Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Verawati Fajrin, Ivanna Lie, Susy Susanti, dan lain lain.
Dalam final itu, tim Thomas lebih berpeluang menang ketimbang tim Uber. Kita berharap Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon konsisten dan bersemangat mendapat poin di sektor ganda. Tinggal menggenjot tunggal.
Menurut hitungan, saingan terberat untuk Piala Thomas adalah China dan Denmark. Di dalam grup, Indonesia akan bersaing dengan Thailand dan Korsel. Kedua negara ini cukup kuat, apalagi Thailand tuan rumah. Namun, dengan kerja keras tim kita akan dapat mengatasi.
Denmark punya pemain tunggal yang ampuh, demikian pula China. Namun, dengan modal ganda putra yang relatif stabil dan cukup lama jadi peringkat pertama dunia, kita berharap tim Piala Thomas tahun ini akan berhasil.
D Edi Subroto
Jl Pandu, Larangan, Gayam,
Sukoharjo, Jawa Tengah
Revisi UU Penyiaran
Kompas Minggu, 22 April 2018, memuat diskusi kelompok "Quo Vadis Revisi Undang-Undang Penyiaran Single Mux untuk NKRI".
Ketua Dewan TVRI Arif Thamrin mengatakan, "Dengan demikian negara wajib mengatur frekuensi. Monopoli atas nama negara, apa yang salah?"
Monopoli oleh siapa pun pada era demokrasi sekarang jelas salah karena bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Data International Telecommunication Union (ITU) menyebutkan, tahun 2017, 90 persen dari stasiun penyiaran seluruh dunia menggunakan sistem Multi Mux dalam upaya peralihan Analog ke Digital/Analog to Digital Switch Off (ASO) sebagai cara terbaik.
Mereka yang semula menggunakan Single Mux beralih ke Multi Mux karena menghadapi masalah dalam sistem switch off-nya (Italia, Spanyol, Thailand, dan Malaysia).
Kalau 90 persen dari negara ITU sudah menggunakan sistem Multi Mux, kenapa Indonesia memilih sistem Single Mux yang terbukti gagal?
Baleg dan Komisi I DPR tadinya silang pendapat: Baleg mengusulkan Multi Mux, sedangkan Komisi I DPR mengusulkan Single Mux, baru setelah pimpinan fraksi turun tangan, tampaknya akan disepakati sistem hibrida: penyelenggaraan Mux bisa dilaksanakan LPP TVRI/Negara dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS).
TVRI mengklaim sudah memiliki 160 pemancar digital terbaru di Indonesia dan siap untuk menjadi pemangku Single Mux Operator System. Hitungan ATVSI jumlah 160 pemancar digital jauh dari mencukupi kalau TVRI menjadi pemangku Single Mux Operator.
Dari 160 pemancar digital TVRI yang baru dibangun, 60 di antaranya dibantu oleh Spanyol (ITTS1), sementara 100 pemancar digital yang dibantu Perancis (ITTS2) dibangun di daerah terpencil dan perbatasan.
Kalau TVRI menjadi pemangku Single Mux Operator, perlu minimal 600 menara pemancar baru untuk bisa memenuhi standar digital di Indonesia. Sebab, satu lokasi menara pemancar hanya bisa menampung 6 mux digital. Hal ini membuat beban pemerintah terlalu mahal dan memerlukan waktu penyelesaian 3 tahun. Padahal, ITU menuntut Analog to Digital Switch Off (ASO) di seluruh dunia harus selesai paling lambat tahun 2020.
Saya juga menyesalkan pernyataan sahabat saya, Ade Armando yang menyebut "Saat ini publik sedang melihat dan menunggu, apakah anggota DPR akan berpihak kepada pemilik modal atau rakyat".
Dikotomi seperti itu sangat menyesatkan karena bukankah semua stasiun televisi swasta juga bekerja untuk kepentingan rakyat? Bukankah acara, seperti debat publik pada tahun politik, pembongkaran kasus KTP-el, Heroes, Kick Andy, Mata Najwa, Indonesian Lawyers Club, dan World Cup 2018 dengan membayar FIFA Rp 1,4 triliun, juga untuk rakyat?
Dikotomi pemilik modal vs rakyat sangat tidak relevan karena di seluruh dunia stasiun TV swasta dikelola pemilik modal, kecuali stasiun TV publik.
ISHADI SK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar