Baik kritik maupun penjelasan di polemik itu kurang menyentuh substansi diferensiasi agraria yang menciptakan jurang ketimpangan. Selain itu, polemik juga tidak menyentuh strategi politik reformasi agraria sebagai suatu "gebrakan cepat".
Jika kita menengok sejarah kebijakan reforma agraria sejak 1960 dan rekam jejak pemerintahan sejak era Orde Baru, maka sebenarnya tidak akan mudah untuk melontarkan apresiasi miring terhadap kebijakan reforma agraria sekarang.
Dalam rentang 50 tahun terakhir, Jokowi merupakan presiden paling berani dalam membuat kebijakan reforma agraria. Bukan hanya menetapkan jumlah objek reforma agraria paling luas, yaitu 21,7 juta hektar, melalui skema redistribusi aset dan akses, juga paling berani merombak dua kementerian, yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang selama 50 tahun itu berkembang menjadi imperium tanah dan hutan di Indonesia.
Tindakan kecil ini tidak bisa dianggap remeh karena di dua kementerian itu pokok persoalan diferensiasi agraria di Indonesia bermula, yang kemudian jadi warisan masalah ketimpangan penguasaan tanah hingga mencapai gini rasio 0,68 sekarang ini.
Dalam sejarah kebijakan agraria, tindakan kecil itu setidaknya berdampak nyata pada dua hal berikut. Pertama, laju diferensiasi agraria secara nasional dapat diredam melalui sejumlah kebijakan, antara lain pembatasan pemberian konsesi kepada swasta, pencabutan izin usaha yang melanggar serta pembatasan pelepasan kawasan hutan yang kurang produktif.
Pada masa pemerintahan Soeharto, konsesi kepada swasta di dalam kawasan hutan mencapai lebih 500 unit dengan penguasaan kawasan hutan lebih dari 60 juta hektar atau hampir separuh dari total luas kawasan hutan di Indonesia. Sementara penguasaan rumah tangga petani di dalam kawasan hutan hampir nol persen. Sekarang, konsesi swasta diperketat hingga jumlah unitnya kurang dari separuhnya dengan penguasaan kawasan hanya sepertiga dari total luas kawasan hutan di Indonesia. Sementara penguasaan rumah tangga petani di kawasan hutan ditingkatkan hingga mendekati 10 persen.
Kedua, meningkatnya penguasaan tanah pada rumah tangga petani miskin melalui redistribusi aset dan akses seluas 21,7 juta hektar itu akan berdampak nyata terhadap masalah ketimpangan penguasaan tanah, kesejahteraan petani, serta konflik agraria di dalam kawasan hutan.
Langkah besar
Langkah besar untuk merombak struktur agraria nasional tentu sangat diharapkan pasca-2019. Langkah ini tak bisa disandarkan pada sosok pemimpin kurang memiliki visi agraria, apalagi terikat kepentingan bisnis pribadi/ kelompok yang turut menimpangkan penguasaan tanah di masa lalu hingga kini.
Langkah ini butuh sosok pemimpin yang berani, setidaknya untuk melakukan perombakan cepat dalam beberapa hal penting berikut ini.
Pertama, merestrukturisasi bisnis di sektor kehutanan dari sekadar ekstraksi sumber daya hutan menjadi sektor manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan ekspor barang olahan.
Kedua, menggeser perimbangan penguasaan kawasan hutan melalui peningkatan akses rumah tangga petani miskin secara berkelompok dari sekitar 10 persen hingga mencapai 30 persen atau lebih. Hal ini berarti sepertiga atau lebih kawasan hutan itu akan dikelola oleh kelompok petani melalui perhutanan sosial, termasuk hutan adat yang telah terbukti lestari.
Ketiga, menata ulang penguasaan tanah di sektor pertanian yang selama ini diabaikan tetapi memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian dan menyerap tenaga kerja paling besar di pedesaan.
Keempat, merevisi peraturan perundangan di sektor pertanian yang tak punya semangat kedaulatan pangan, antara lain UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang selama ini justru melegalisasi penciptaan ketergantungan petani pada pemerintah dan swasta.
Kelima, pengendalian bank tanah, termasuk yang dikuasai oleh oligarki bisnis selama hampir 30 tahun terakhir, untuk memajukan perekonomian rakyat kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar