"Data is not the new oil. It is the new land that is being rapidly colonised by corporations with the means to exploit this new resource." Begitu kalimat Joseph Smith ("Data is New Colonialism")
Data kini tengah dieksploitasi secara besar-besaran oleh industri-industri, perusahaan teknologi, dan bahkan partai politik. Dan, sialnya, sangat sedikit dari kita yang menyadari hal itu.
Kita menyerahkan detail informasi pribadi kepada platform-platform media sosial, berbagai aplikasi, dan sebagainya tanpa membaca betul terms and conditions (syarat dan ketentuan). Kita terlalu malas barangkali untuk membaca panjang lebar, dan secara tidak sadar telah melepaskan hak atas privasi diri.
Kemudian kita sudah berada di bawah kontrol dan permainan kolonialisme data. Ketika sedang berkeluh kesah, berdebat dengan orang lain yang berlainan paham—atau apa pun status yang kita buat di media sosial—para pengontrol data tengah merencanakan pemasaran produk, strategi kampanye politik, dan industri baru.
Meracuni demokrasi
Investigasi New York Times menggambarkan, Cambridge Analytica tak hanya mempermainkan penduduk Amerika, juga telah bereksperimen di luar negeri, di negara-negara dengan aturan privasi lemah atau bahkan tidak ada. Sebelum dunia gempar dengan kasus permainan Cambridge Analytica dalam kampanye politik Donald Trump, lembaga ini telah melakukan studi kasus di banyak negara di Afrika, Asia, Timur Tengah, Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Karibia.
Facebook, Twitter, Google, dan perusahaan teknologi lainnya dapat dikatakan telah memfasilitasi atau memperkuat pekerjaan perusahaan semacam Cambridge Analytica, yang kemudian terlibat dalam meracuni demokrasi di seluruh dunia. Di Sri Lanka, Facebook telah dituduh mengipasi ujaran kebencian yang menyebabkan kerusuhan anti-Muslim di sana. Ini yang kemudian memaksa negara itu untuk melarang media sosial setelah bentrokan yang menyebabkan sedikitnya dua orang tewas (The Guardian, 7/3/2018). Tim PBB yang menyelidiki genosida di Myanmar mengatakan, Facebook digunakan untuk menyebarkan vitriol terhadap Muslim Rohingya (The National, 17/3/2018).
Pertempuran politik di Kamboja antara tokoh oposisi dan perdana menteri otoriter negara itu atas tuduhan likes palsu di halaman Facebook telah diajukan ke pengadilan AS (The New York Times, 9/2/2018). Kelompok teroris yang bermarkas di Somalia, Al-Shabab, menyiarkan serangannya di Twitter terhadap Mal Westgate di Nairobi pada 2013 (Telegraph, 22/9/2013).
Apakah menggunakan informasi yang telah diberikan itu salah? Terlepas ada atau lemahnya perlindungan data pribadi di suatu negara, kejadian semacam ini telah membawa dampak yang berbahaya dan buruk sekali.
Para pengontrol data, dan merekayasa suatu hal terhadapnya, sangat tak etis berkata, "Who's put that out?" Sebagaimana juga ujaran Mark Turnbull, Direktur Pelaksana Cambridge Analytica, ketika melontarkan pertanyaan balik ketika ditanya wartawan. Ini bukan sekadar soal telah diberikannya akses informasi terhadap data tersebut.
Pertama, kasus seperti penargetan psikografis dalam bentuk game di Facebook, yang kemudian mengantongi data pengguna, dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, jelas telah melampaui syarat dan ketentuan penggunaan data.
Kedua, perlu kiranya diterangkan kepada pengguna bahwa data mereka sangat berharga dan berhati-hatilah saat pemberian akses informasi. McKinsey Global Institute menyebutkan, nilai ekonomi data kini berada pada urutan 3 triliun dollar AS. Angka yang tak sempat terbayangkan sebelumnya bagi kita saat mendapat layanan media sosial yang gratis itu.
Dengan metode Cambridge Analytica, Donald Trump sukses mengumpulkan sekitar 80 juta dollar AS dana kampanye lewat pemanfaatan data ilegal. Sementara ia (baca: Trump), sebagaimana catatan Komisi Pemilihan Federal AS, merekrut lembaga itu pada pertengahan 2016 hanya dengan membayar sebesar 6,2 juta dollar AS. Sungguh eksploitasi data ini begitu menguntungkan para pengontrol dan merugikan pengguna.
Perlindungan data pribadi
Saat ini belumlah terang apa yang terjadi di Indonesia. Namun, Cambridge Analytica dalam situsnya menyebutkan bahwa mereka telah dikontrak untuk mengelola kampanye pemilihan salah satu partai politik utama Indonesia setelah pemulihan demokrasi pada tahun 1999.
Kampanye ini sangat kompleks dan diperlukan untuk menarik lebih dari 200 juta orang di 40 bahasa di kepulauan Indonesia. Dengan krisis keuangan Asia baru-baru ini dan keberangkatan mantan penguasa, Cambridge Analytica memainkan peran penting dalam mengelola emosi yang ada di masyarakat.
Ini bisa menggemparkan jagat politik nasional apabila juga diinvestigasi. Apakah politikus-politikus partai yang menjabat di eksekutif ataupun legislatif di tingkat pusat maupun daerah negeri ini juga terlibat skandal data ilegal? Tentu saja masih tanda tanya.
Terkait perlindungan data pribadi dari penggunaan tanpa izin menurut hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mensyaratkan bahwa penggunaan setiap data pribadi dalam sebuah media elektronik harus mendapat persetujuan pemilik data bersangkutan.
Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi jika terjadi kegagalan perlindungan rahasia data pribadi dalam sistem elektronik yang dikelolanya. Setiap orang yang melanggar ketentuan ini dapat digugat atas kerugian yang ditimbulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar