Kesiapan pemerintah berperang dagang dengan Uni Eropa terkait larangan penggunaan minyak sawit mentah (CPO) untuk bioenergi yang akan diberlakukan 2021 (Kompas, 20/3),  semesti -nya tidak memalingkan kita dari pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.

Pekerjaan rumah tersebut adalah  bagaimana memperkuat dan meng-ajeg-kan sistem sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), termasuk di dalamnya mengendalikan  risiko korupsi.  Upaya memperbaiki integritas  sertifikasi ISPO merupakan amunisi terbaik untuk memenangkan perang dagang tersebut.

KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDI

Delegasi Uni Eropa yang diketuai Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend (batik biru) mengunjungi pengelolaan perkebunan kepala sawit berkelanjutan di perkebunan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, Senin (16/4/2018). Kegiatan yang difasilitasi Kementerian Luar Negeri itu bertujuan untuk memaparkan fakta pengelolaan sawit berkelanjutan secara langsung kepada Uni Eropa.
Kompas/Albertus Hendriyo Widi (HEN)
16-4-2018

Agenda ini valid dan kontekstual. Sekurangnya ada tiga laporan studi yang mendasari agenda tersebut. Ketiga laporan itu adalah, pertama, laporan studi Forest People Programmes (2017) bertajuk "A Comparison of Leading Palm Oil Certification Standards". Kedua, laporan studi Forest Watch Indonesia  (2017) bertajuk  "Enam Tahun ISPO", yang menganalisa penguatan instrumen ISPO dalam merespons dampak negatif seperti deforestasi,  kerusakan ekosistem gambut, kebakaran hutan dan lahan, serta konflik tenurial. Serta ketiga, laporan studi Komisi Eropa (2017) bertajuk "Studies on EU action to combat  deforestation  and palm oil",  yang juga menganalisis sistem sertifikasi CPO berkelanjutan.

Ketiga laporan ini, khususnya yang terakhir, menyumbang pada pembentukan opini Uni Eropa (UE) tentang pelarangan penggunaan CPO untuk biofuel.
Kalau kecewa dengan isi laporan itu atau curiga ada  ideologi (nilai), kepentingan atau framing tertentu dibalik studi tersebut, gampang saja. Buatlah riset sejenis sehingga bukan hanya temuannya, tetapi metode risetnya pun bisa menjadi antitesis terhadap temuan dan metode ketiga riset tersebut. Kalau itu berlangsung  maka akan  terjadilah dialektika tesis-antitesis. Sintesis baru akan lahir dari dialektika itu. Dengan cara demikian badan pengetahuan tentang sertifikasi CPO berkelanjutan akan tumbuh.

Lemah dan rendahnya integritas ISPO  

Kalau disarikan,  ketiga laporan studi  bunyinya begini.  Pertama,  persyaratan sistem sertifikasi ISPO paling lemah dari tujuh sistem sertifikasi yang ada. Urutan dari yang terkuat ke terlemah:  1) RSPO, 2) Roundtable on Sustainable Materials (RSB), 3) Sustainable Agricultur Network (SAN), 4) International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), 5) High Carbon Stock Approach (HCS), 6) Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) dan 7) Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Kedua, sistem sertifikasi ISPO kurang adil dalam memperlakukan pekebun kecil/swadaya. Akses mereka terhadap kredit, harga dan pasar yang  terbatas tidak diatasi dengan baik dalam skema sertifikasi ISPO. Lihat alokasi dan penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit/CPO Fund yang sebagian besar dinikmati perusahaan besar. Padahal, kontribusi mereka cukup penting dalam industri minyak sawit ini. Luas lahan kebun sawit yang dikuasai petani swadaya sekitar 4,76 juta hektar  atau 40,81 persen dari total luas kebun sawit.

Perkebunan Kelapa Sawit – Hamparan perkebunan kelapa sawit di kawasan Sei Mangkei, Kecamatan Bosar Maligas, Simalungun, Sumatera Utara, Senin (12/3).
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA)
12-03-2018
— tematik Kelapa Sawit —

Ketiga, kualitas sertifikasi ISPO kurang terjamin. Penyebabnya, transparansi dan independensi komisi ISPO tidak memadai, padahal  Komisi ISPO inilah yang mengontrol dan menentukan seluruh proses sertifikasi. Lagi pula, dalam proses sertifikasi ISPO tidak tersedia  momen konsultasi publik formal  dalam proses audit.

Keempat, selama enam tahun terakhir, sertifikasi ISPO,  belum menjadi instrumen yang efektif mengendalikan dampak negatif (lingkungan dan sosial) yang ditimbulkan dari pengembangan industri minyak sawit (dan produk turunannya). Sistem sertifikasi ISPO  belum bisa  mendorong perubahan tata kelola hutan dan lahan yang lebih baik. Bagaimana mampu mendorong perubahan tata kelola  hutan dan lahan, sementara  tata kelola sertifikasi ISPO-nya sendiri  bermasalah.

Oleh karena itu berhentilah (para peneliti, aktivis) mencari kesesuaian dan kontribusi sertifikasi ISPO pada pencapaian tujuan Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Bagaimana mau menyumbang pada SDGs, jika tata kelola dan kredibilitas ISPO-nya sendiri diragukan. Problem utamanya adalah peranan dan kewenangan Komisi ISPO yang  sentral dan instrumental dalam proses sertifikasi tetapi tanpa  disertai partisipasi (multipihak), transparansi, akuntabilitas  dan kontrol publik yang memadai. Peran dan kewenangan Komisi ISPO itu   di antaranya mengakui dan menetapkan lembaga sertifikat,  mengakui dan menetapkan lembaga pelatihan dan lembaga konsultan ISPO, bersama-sama dengan lembaga sertifikasi  mengakui dan menerbitkan sertifikat ISPO, membentuk  gugus tugas untuk menangani sengketa yang muncul dalam proses sertifikasi, dan lain-lain.

Kelima, sistem sertifikasi ISPO ditandai dengan absennya: 1) lembaga akreditasi yang mandiri dan bebas, 2) mekanisme penyampaian keluhan yang jelas dan ajeg, 3) transparansi hasil laporan audit. Selain itu  restriksi  terhadap aktivitas  deforestasi, konversi lahan gambut,  emisi gas rumah kaca,  hak guna lahan,  kerja paksa  dan  buruh anak masih lemah.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI

Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo sekarang ini sudah semakin kritis. Diperkirakan 60.000 hektar kawasan hutan konservasi gajah Sumatera itu, telah dijadikan kebun kelapa sawit. Ribuan penduduk sudah bermukim di lokasi itu. Foto diambil Mei 2015.

Keenam, lemahnya persyaratan, standar dan tata kelola sertifikasi ISPO potensial memunculkan  risiko pelanggaran integritas dalam sistem sertifikasi ISPO itu sendiri. Risiko pelanggaran integritas dapat terjadi pada proses akreditasi maupun sertifikasi.  Risiko pelanggaran integritas  berkaitan dengan probabilitas terjadinya suap, gratifikasi, pemberian uang pelicin, dan lain-lain. Kalau tidak ada mekanisme kontrol publik atau pemangku kepentingan (stakeholder), manajemen konflik kepentingan,  dan manajemen anti suap, yang memadai, maka Lembaga Sertifikasi, potensial menyuap asesor  dalam proses akreditasinya.  Sebaliknya juga dapat terjadi di mana lembaga akreditasi memperjual belikan hasil akreditasinya.

Dalam  proses sertifikasi juga demikian. Lembaga Sertifikasi  berisiko menyuap dalam upaya dapat pengakuan dari Komisi ISPO.  Sebaliknya juga bisa terjadi komisi ISPO memperjualbelikan sertifikat ISPO. Auditee (badan usaha pemohon sertifikat ISPO) juga potensial menyuap auditor dari Lembaga Sertifikasi dalam proses audit.

Tak ambil pelajaran dan hikmah

Pada tingkat sistem (sertifikasi), mengapa kita membangun sistem sertifikasi ISPO yang masih banyak kelemahannya? Padahal, kita sudah punya pengalaman membangun Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sudah bisa diterima UE. Sistem ini produk dari  Multistakehoder Forestry Program (MFP), di bawah payung kerja sama Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLGT-VPA)  antara Indonesia dan UE. Skema kerja sama ini sukses mengakhiri kegaduhan dagang kayu  Indonesia-UE. Jadi sebenarnya gaduh perdagangan CPO Indonesia-UE saat ini bukan yang pertama.

 

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Buruknya jalan di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, mengakibatkan petani menanggung biaya dua kali lipat lebih mahal untuk mengangkut hasil panen menuju industri pengolahan terdekat. Kondisi itu kian menekan kesejahteraan petani setempat. Gambar diambil Sabtu (8/7/2017).

Ada banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari program tersebut terkait dengan proses akreditasi dan sertifikasi.  Mengapa tidak diambil dan dirujuk sewaktu mendesain sertifikasi ISPO ? Kalau butuh studi banding, bukankah tinggal jalan kaki saja dari Kantor Kementerian Pertanian  ke Kantor  Kementerian Kehutanan  dan Lingkungan Hidup.

Pada tingkat komisi, mengapa kita membangun komisi ISPO yang tata kelola,  independensi dan  integritasnya diragukan? Padahal kita jago dan berpengalaman dalam membangun banyak komisi dengan integritas yang baik dan sangat baik. Kita punya KPK, KPU, KPPU, Ombudsman, dan lain-lain.  Sebenarnya dengan pengalaman dan keterampilan itu kisa bisa merancang Komisi ISPO dengan tata kelola,  independensi dan integritas tinggi.

Besar kemungkinan  kuatnya kepentingan sempit (vested interest), inward-looking orientation dan ego sektoral di tubuh Kementerian Pertanian yang memengaruhi proses penyusunan desain sertifikasi ISPO sehingga seperti demikian.

Morotarium dan perombakan sertifikasi ISPO

Industri minyak sawit sangat penting bagi ekonomi Indonesia sebagai penghasil devisa nomor satu, penyerap banyak tenaga kerja dan lain-lain.  Karena itu rencana UE menghentikan penggunaan CPO untuk biofuel harus disikapi dengan serius dan tepat. Pertama, pemerintah harus memperbaiki integritas sertifikasi ISPO. Caranya, hentikan  sementara sertifikasi ISPO sampai desain  ISPO versi 2.0 selesai  dan diimplementasikan.  Sampai Desember 2017, baru 346 perusahaan atau  20,49 persen dari total perusahaan sawit sudah memiliki sertifikat ISPO.  Dilihat dari produksi, baru 8,76 juta ton  (atau 24 persen dari total produksi) minyak sawit mentah yang sudah tersertifikasi ISPO.

Komponen yang paling penting dari ISPO versi 2.0 di antaranya : 1) tata kelolanya diperbaiki supaya lebih partisipatif, akuntabel dan transparan (termasuk mewajibkan perusahaan/kelompok tani membuka dokumen hasil audit)  , 2) memperbaiki keanggotaan, postur, kewenangan, integritas, kebebasan  dan kemandirian Komisi ISPO, 3) memperjelas dan mengajeg-kan fungsi Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebagai lembaga akreditasi yang bebas dan mandiri, 4) memperjelas dan meng-ajeg-kan  lembaga sertifikasi dalam mengeluarkan sertifikat ISPO.

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Presiden Joko Widodo memantau tanaman kelapa sawit yang ada di Desa Panca Tunggal, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (13/10).
Kompas/Rhama Purna Jati (RAM)
13-10-2017

Kemudian, 5)menaikkan standar dan persyaratan sertifikasi ISPO termasuk di dalamnya memperlakukan pekebun kecil/swadaya lebih baik dan adil, 6)  meningkatkan restriksi terhadap aktivitas deforestasi, konversi lahan gambut, emisi gas rumah kaca, 7) adopsi dan implementasi SNI ISO 37001 tentang manajemen anti suap oleh lembaga sertifikasi. Implikasinya nanti  KAN dalam mengakreditasi lembaga sertifikasi bukan hanya menilai manajemen mutu dan manajemen lingkungan tetapi juga manajemen anti suap. Terakhir, 8)  Peraturan Menteri Pertanian  No.11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang sertifikasi ISPO tidak memadai lagi mengatur perombakan yang diusulkan. Beleid baru tentang sertifikasi ISPO dalam bentuk peraturan presiden mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan perubahan itu.