Kesiapan pemerintah berperang dagang dengan Uni Eropa terkait larangan penggunaan minyak sawit mentah (CPO) untuk bioenergi yang akan diberlakukan 2021 (Kompas, 20/3), semesti -nya tidak memalingkan kita dari pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Pekerjaan rumah tersebut adalah bagaimana memperkuat dan meng-ajeg-kan sistem sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), termasuk di dalamnya mengendalikan risiko korupsi. Upaya memperbaiki integritas sertifikasi ISPO merupakan amunisi terbaik untuk memenangkan perang dagang tersebut.
Agenda ini valid dan kontekstual. Sekurangnya ada tiga laporan studi yang mendasari agenda tersebut. Ketiga laporan itu adalah, pertama, laporan studi Forest People Programmes (2017) bertajuk "A Comparison of Leading Palm Oil Certification Standards". Kedua, laporan studi Forest Watch Indonesia (2017) bertajuk "Enam Tahun ISPO", yang menganalisa penguatan instrumen ISPO dalam merespons dampak negatif seperti deforestasi, kerusakan ekosistem gambut, kebakaran hutan dan lahan, serta konflik tenurial. Serta ketiga, laporan studi Komisi Eropa (2017) bertajuk "Studies on EU action to combat deforestation and palm oil", yang juga menganalisis sistem sertifikasi CPO berkelanjutan.
Ketiga laporan ini, khususnya yang terakhir, menyumbang pada pembentukan opini Uni Eropa (UE) tentang pelarangan penggunaan CPO untuk biofuel.
Kalau kecewa dengan isi laporan itu atau curiga ada ideologi (nilai), kepentingan atau framing tertentu dibalik studi tersebut, gampang saja. Buatlah riset sejenis sehingga bukan hanya temuannya, tetapi metode risetnya pun bisa menjadi antitesis terhadap temuan dan metode ketiga riset tersebut. Kalau itu berlangsung maka akan terjadilah dialektika tesis-antitesis. Sintesis baru akan lahir dari dialektika itu. Dengan cara demikian badan pengetahuan tentang sertifikasi CPO berkelanjutan akan tumbuh.
Lemah dan rendahnya integritas ISPO
Kalau disarikan, ketiga laporan studi bunyinya begini. Pertama, persyaratan sistem sertifikasi ISPO paling lemah dari tujuh sistem sertifikasi yang ada. Urutan dari yang terkuat ke terlemah: 1) RSPO, 2) Roundtable on Sustainable Materials (RSB), 3) Sustainable Agricultur Network (SAN), 4) International Sustainability & Carbon Certification (ISCC), 5) High Carbon Stock Approach (HCS), 6) Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) dan 7) Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Kedua, sistem sertifikasi ISPO kurang adil dalam memperlakukan pekebun kecil/swadaya. Akses mereka terhadap kredit, harga dan pasar yang terbatas tidak diatasi dengan baik dalam skema sertifikasi ISPO. Lihat alokasi dan penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit/CPO Fund yang sebagian besar dinikmati perusahaan besar. Padahal, kontribusi mereka cukup penting dalam industri minyak sawit ini. Luas lahan kebun sawit yang dikuasai petani swadaya sekitar 4,76 juta hektar atau 40,81 persen dari total luas kebun sawit.
Ketiga, kualitas sertifikasi ISPO kurang terjamin. Penyebabnya, transparansi dan independensi komisi ISPO tidak memadai, padahal Komisi ISPO inilah yang mengontrol dan menentukan seluruh proses sertifikasi. Lagi pula, dalam proses sertifikasi ISPO tidak tersedia momen konsultasi publik formal dalam proses audit.
Keempat, selama enam tahun terakhir, sertifikasi ISPO, belum menjadi instrumen yang efektif mengendalikan dampak negatif (lingkungan dan sosial) yang ditimbulkan dari pengembangan industri minyak sawit (dan produk turunannya). Sistem sertifikasi ISPO belum bisa mendorong perubahan tata kelola hutan dan lahan yang lebih baik. Bagaimana mampu mendorong perubahan tata kelola hutan dan lahan, sementara tata kelola sertifikasi ISPO-nya sendiri bermasalah.
Oleh karena itu berhentilah (para peneliti, aktivis) mencari kesesuaian dan kontribusi sertifikasi ISPO pada pencapaian tujuan Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Bagaimana mau menyumbang pada SDGs, jika tata kelola dan kredibilitas ISPO-nya sendiri diragukan. Problem utamanya adalah peranan dan kewenangan Komisi ISPO yang sentral dan instrumental dalam proses sertifikasi tetapi tanpa disertai partisipasi (multipihak), transparansi, akuntabilitas dan kontrol publik yang memadai. Peran dan kewenangan Komisi ISPO itu di antaranya mengakui dan menetapkan lembaga sertifikat, mengakui dan menetapkan lembaga pelatihan dan lembaga konsultan ISPO, bersama-sama dengan lembaga sertifikasi mengakui dan menerbitkan sertifikat ISPO, membentuk gugus tugas untuk menangani sengketa yang muncul dalam proses sertifikasi, dan lain-lain.
Kelima, sistem sertifikasi ISPO ditandai dengan absennya: 1) lembaga akreditasi yang mandiri dan bebas, 2) mekanisme penyampaian keluhan yang jelas dan ajeg, 3) transparansi hasil laporan audit. Selain itu restriksi terhadap aktivitas deforestasi, konversi lahan gambut, emisi gas rumah kaca, hak guna lahan, kerja paksa dan buruh anak masih lemah.
Keenam, lemahnya persyaratan, standar dan tata kelola sertifikasi ISPO potensial memunculkan risiko pelanggaran integritas dalam sistem sertifikasi ISPO itu sendiri. Risiko pelanggaran integritas dapat terjadi pada proses akreditasi maupun sertifikasi. Risiko pelanggaran integritas berkaitan dengan probabilitas terjadinya suap, gratifikasi, pemberian uang pelicin, dan lain-lain. Kalau tidak ada mekanisme kontrol publik atau pemangku kepentingan (stakeholder), manajemen konflik kepentingan, dan manajemen anti suap, yang memadai, maka Lembaga Sertifikasi, potensial menyuap asesor dalam proses akreditasinya. Sebaliknya juga dapat terjadi di mana lembaga akreditasi memperjual belikan hasil akreditasinya.
Dalam proses sertifikasi juga demikian. Lembaga Sertifikasi berisiko menyuap dalam upaya dapat pengakuan dari Komisi ISPO. Sebaliknya juga bisa terjadi komisi ISPO memperjualbelikan sertifikat ISPO. Auditee (badan usaha pemohon sertifikat ISPO) juga potensial menyuap auditor dari Lembaga Sertifikasi dalam proses audit.
Tak ambil pelajaran dan hikmah
Pada tingkat sistem (sertifikasi), mengapa kita membangun sistem sertifikasi ISPO yang masih banyak kelemahannya? Padahal, kita sudah punya pengalaman membangun Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sudah bisa diterima UE. Sistem ini produk dari Multistakehoder Forestry Program (MFP), di bawah payung kerja sama Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLGT-VPA) antara Indonesia dan UE. Skema kerja sama ini sukses mengakhiri kegaduhan dagang kayu Indonesia-UE. Jadi sebenarnya gaduh perdagangan CPO Indonesia-UE saat ini bukan yang pertama.
Ada banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari program tersebut terkait dengan proses akreditasi dan sertifikasi. Mengapa tidak diambil dan dirujuk sewaktu mendesain sertifikasi ISPO ? Kalau butuh studi banding, bukankah tinggal jalan kaki saja dari Kantor Kementerian Pertanian ke Kantor Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Pada tingkat komisi, mengapa kita membangun komisi ISPO yang tata kelola, independensi dan integritasnya diragukan? Padahal kita jago dan berpengalaman dalam membangun banyak komisi dengan integritas yang baik dan sangat baik. Kita punya KPK, KPU, KPPU, Ombudsman, dan lain-lain. Sebenarnya dengan pengalaman dan keterampilan itu kisa bisa merancang Komisi ISPO dengan tata kelola, independensi dan integritas tinggi.
Besar kemungkinan kuatnya kepentingan sempit (vested interest), inward-looking orientation dan ego sektoral di tubuh Kementerian Pertanian yang memengaruhi proses penyusunan desain sertifikasi ISPO sehingga seperti demikian.
Morotarium dan perombakan sertifikasi ISPO
Industri minyak sawit sangat penting bagi ekonomi Indonesia sebagai penghasil devisa nomor satu, penyerap banyak tenaga kerja dan lain-lain. Karena itu rencana UE menghentikan penggunaan CPO untuk biofuel harus disikapi dengan serius dan tepat. Pertama, pemerintah harus memperbaiki integritas sertifikasi ISPO. Caranya, hentikan sementara sertifikasi ISPO sampai desain ISPO versi 2.0 selesai dan diimplementasikan. Sampai Desember 2017, baru 346 perusahaan atau 20,49 persen dari total perusahaan sawit sudah memiliki sertifikat ISPO. Dilihat dari produksi, baru 8,76 juta ton (atau 24 persen dari total produksi) minyak sawit mentah yang sudah tersertifikasi ISPO.
Komponen yang paling penting dari ISPO versi 2.0 di antaranya : 1) tata kelolanya diperbaiki supaya lebih partisipatif, akuntabel dan transparan (termasuk mewajibkan perusahaan/kelompok tani membuka dokumen hasil audit) , 2) memperbaiki keanggotaan, postur, kewenangan, integritas, kebebasan dan kemandirian Komisi ISPO, 3) memperjelas dan mengajeg-kan fungsi Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebagai lembaga akreditasi yang bebas dan mandiri, 4) memperjelas dan meng-ajeg-kan lembaga sertifikasi dalam mengeluarkan sertifikat ISPO.
Kemudian, 5)menaikkan standar dan persyaratan sertifikasi ISPO termasuk di dalamnya memperlakukan pekebun kecil/swadaya lebih baik dan adil, 6) meningkatkan restriksi terhadap aktivitas deforestasi, konversi lahan gambut, emisi gas rumah kaca, 7) adopsi dan implementasi SNI ISO 37001 tentang manajemen anti suap oleh lembaga sertifikasi. Implikasinya nanti KAN dalam mengakreditasi lembaga sertifikasi bukan hanya menilai manajemen mutu dan manajemen lingkungan tetapi juga manajemen anti suap. Terakhir, 8) Peraturan Menteri Pertanian No.11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang sertifikasi ISPO tidak memadai lagi mengatur perombakan yang diusulkan. Beleid baru tentang sertifikasi ISPO dalam bentuk peraturan presiden mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan perubahan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar