JKN dan 45,8 Juta Buruh
Setelah pemerintah terjebak "pikiran pendek: tak ada fiskal", kata Prof Hasbullah di Kompas (3/4/2018), beberapa hari kemudian Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan Rp 3,5 triliun dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional di puskesmas merugikan peserta.
Tampaknya JKN kita, selain mengidap mismatch yang berujung berutang ke rumah sakit, belum berhasil menggunakan dana Jaminan Sosial Kesehatan seperti kapitasi itu. Instruksi Presiden tahun 2017 yang dikenal "8 bauran" berorientasi badan penyelenggara belaka, sambil lebih menekan perusahaan yang diminta patuh melalui aparat penegak hukum di daerah.
Saat ini aparat ikut menyisir kepatuhan perusahaan, termasuk rumah sakit. Peserta pekerja penerima upah ja- uh dari menggembirakan. Dari cakupan peserta JKN 183 juta jiwa: 16.826.511 peserta termasuk sekitar 10 juta karyawan/buruh-K1 pada 136.131 perusahaan (BPJS Kesehatan-2017). Artinya, dari 45,8 juta buruh (BPS-2017), masih lebih dari 25 juta yang belum mendaftar ke JKN.
Saya mengajak pemerintah agar dalam melaksanakan JKN memperhatikan daya saing perusahaan. Bagi sebagi- an besar perusahaan, tingkat iuran 5 persen upah tampaknya cukup berat dan pada beberapa kasus tertentu ku- rang adil. Relatif berat karena, selain untuk iuran JKN, perusahaan harus membiayai kesehatan sesuai perjanjian dengan karyawannya. Itu "kurang adil" bagi perusahaan pemula yang umumnya mempekerjakan buruh bujang.
Odang Muchtar Bintaro,
Jakarta Selatan
Siantar dan Toleransi
Pematang Siantar dinobatkan sebagai kota paling toleran di Indonesia. Saya sebagai warga Siantar, alumnus STT-HKBP Pematang Siantar, jadi bertanya-tanya tentang ini.
Asumsi saya, warga Siantar belum sampai pada tahap toleran, tetapi pada tahap diam, vakum, bahkan tak mau tahu. Menurut saya, toleran tak sekadar jumlah kantor sinode gereja atau patung besar keagamaan di suatu kota. Seharusnya sampai pada karakter warga yang terlihat toleran betul.
Jika Siantar disebut menuju "kota toleran", saya sepakat. Namun, kita perlu lihat apakah pembangunan atau program pemerintah mengarah ke sana. Kota toleran berarti kota cinta damai. Kenyataannya, penataan Siantar masih rawan konflik laten, tertutup, bahkan terbuka.
Siantar minim sekali ruang publik. Ruang publik adalah tempat bertemu semua warga lintas golongan. Baru-baru ini Siantar mulai merenovasi Lapangan Merdeka. Namun, saya ragu apakah renovasi itu dilatari kajian atau hanya penggunaan anggaran saja.
Minimnya ruang publik di Siantar ditandai dengan menjamurnya tongkrongan dan kafe. Keduanya tak membuat warga kota saling berinteraksi, tetapi justru menimbulkan egosektoral masing-masing.
Ruang publik: semua golongan dapat menggunakannya, bertemu, bermain bersama, berinteraksi. Di Lapangan Merdeka, banyak orang tak saling kenal saling sapa, sedangkan di kafe atau tongkrongan orang tak mau saling kenal.
Jika diamati, saat ini warga Siantar butuh ruang publik. Lapangan Merdeka yang sekarang tak pernah sunyi mengisyaratkan bahwa Pemerintah Kota Pematang Siantar harus memperbanyak ruang publik, bukan lagi ruko atau bangunan karena sejatinya pembangunan untuk manusia, bukan sekadar fisik.
Jika pemerintah kota tidak menginisiasi terobosan menciptakan ruang publik, konflik laten segera bertumbuh. Meningkatnya jumlah gangguan jiwa mengindikasikan konflik internal seseorang di kota itu. Konflik tertutup ditandai dengan gejala saling benci, tetapi tak berani mengatakan dan saling membicarakan di belakang. Konflik terbuka berpeluang merebak jika tidak ada ruang bertemu untuk semua golongan.
Saya pikir, Siantar disebut "kota toleran" karena warganya pasif dan tak mau tahu, bukan karena mampu berdampingan secara damai. Diam melihat Siantar seperti hidup di lingkaran gedung/manusia bisu.
Fander Sihite
Sedang menempuh Pascasarjana Kajian Konflik dan Perdamaian Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar