Serba singkat jabatan direktur utama pada BUMN raksasa migas Indonesia masih menyisakan pertanyaan besar meskipun mantan Dirut Pertamina Elia Massa Manik menyerukan agar tak dijadikan polemik. Namun, tetap perlu diklarifikasi pemerintah. Faktanya, Pertamina adalah alat politik energi sepanjang negara ini berdiri dan juga misteri pernyataan kerugian BUMN tersebut karena menjalankan perintah penugasan
Justru lantaran ada Pertamina kredibilitas pemerintah terjaga karena harga BBM tidak dinaikkan, distribusi sampai ke pelosok pulau, dan jaminan keamanan energi. Namun, di sisi lain, yang selalu tidak disingkap pemerintah adalah transparansi keuangan BUMN tersebut.
Pernyataan potensi rugi Pertamina seolah selalu tidak dipercaya karena berbagaitrade- off subsidi APBN dan hak pengelolaan yang ujung-ujungnya adalah pencopotan direktur utama karena dianggap tidak mampu.
Pada pencopotan Elia Massa Manik, terembus tiga sebab utama: gagal dalam mendistribusikan BBM premium dan kenaikan harga BBM pertalite; perkembangan modernisasi kilang yang sangat pelan; dan pencemaran lingkungan di Teluk Balikpapan. Rapor merah itu membuat kepemimpinan Manik disudahi pada RUPSLB 20 April 2018.
Politik energi
BUMN Pertamina pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dengan politik subsidi energi setiap tahun. Dari subsidi energi, Pertamina memiliki porsi terbesar, mencapai 69 persen. Namun, sejak 2015, dominasi penerima subsidi energi terbesar sudah bergeser ke PLN.
Sejak 2015 sampai tahun lalu, proporsi subsidi energi yang diterima Pertamina 45,34 persen, sementara sisanya dinikmati oleh PLN. Pada APBN 2018, kuota subsidi energi Pertamina sedikit lebih tinggi, mencapai 49,63 persen, sementara sisanya PLN.
Jadi, jika Pertamina pada tahun lalu untung Rp 28,83 triliun, padahal menerima subsidi dari APBN Rp 47 triliun, inilah sebetulnya konkret politik energi tersebut. Sudah dapat dipastikan jika subsidi 2017 tidak diterimakan kepada Pertamina, BUMN tersebut sebetulnya rugi Rp 18,17 triliun.
Artinya, nilai kredibilitas pemerintah dalam menjaga politik energi yang merupakan indikator utama elektabilitas pemerintah dijaga oleh Pertamina dengan biaya operasional Rp 18,17 triliun pada tahun lalu.
Namun, bagaimana jika politik energi bersikeras dijalankan pemerintah karena momentum politik, padahal APBN jelas-jelas salah asumsi. Pada tahun ini, ketika harga rata-rata impor minyak mentah mencapai 60 dolar AS per barrel, sementara asumsi masih 44 dolar AS per barrel, hasil penjualan BBM premium dan solar subsidi sudah merugikan Pertamina Rp 3,9 triliun hanya dalam dua bulan.
Disimulasikan setahun, kerugian Pertamina akan mencapai Rp 24 triliun karena terdiferensiasi dengan kewajiban menyediakan tambahan stok BBM 5-7 persen konsumsi rata-rata harian. Ini dengan harga minyak mentah 60 dolar AS per barrel. Jika harga minyak meningkat, potensi kerugian Pertamina akan bertambah secara incremental.
Pada kasus ini, pemerintah menyatakan sudah menyiapkan kebijakan trade-off, yakni hak pengelolaan tambang migas yang terminasi. Dari Blok Mahakam, BUMN migas tersebut akan memperoleh tambahan pendapatan bersih Rp 7 triliun- Rp 8 triliun setiap tahun. Pertamina juga mendapatkan pengelolaan delapan blok baru terminasi dengan potensi tambahan pendapatan Rp 1 triliun-Rp 2 triliun. Perhitungan kasar dengan pemberian hak-hak pengelolaan khusus, maka Pertamina seharusnya mendapatkan tambahan pendapatan minimal Rp 10 triliun.
Jika trade-off masih potensi mendapatkan tambahan pendapatan Rp 10 triliun per tahun, sementara kerugian di depan mata Rp 24 triliun, meskipun hak-hak konsesi migas berlangsung selama 20 tahun, sudah sangat jelas Pertamina akan menjadi tumbal politik energi.
Belum lagi berkaitan dengan kepedulian lingkungan, pemerintah juga tidak konsisten dalam bersikap. Mendekati pelaksanaan Asian Games 2018, pemerintah menugaskan Pertamina untuk menyalurkan BBM Euro 4. Di sisi lain juga keharusan mendistribusikan premium yang notabene BBM kualitas RON 88 yang setara dengan kelas Euro 2.
Politisasi
Jika melihat situasi Pertamina yang demikian kompleks, tak ada yang menghalangi premis bahwa perombakan Direktur Utama Pertamina adalah aksentuasi politisasi dalam tubuh BUMN.
Pada era Dirut Dwi Soetjipto, situasi internal Pertamina meruncing karena dualisme kepemimpinan dan menyebabkan Dwi Soetjipto terpental pada masa singkat. Saat ini, pada era Elia Massa Manik, politik energi menyudahi kepemimpinan Manik.
Maka, saat ini menjadi Direktur Utama Pertamina bak kursi panas yang amat ditakuti. Tugas direktur utama akan sangat berat karena ditekan pemerintah dan Kementerian BUMN, pada sisi lain direktur utama juga ditekan oleh karyawan Pertamina yang notabene pasti menuntut kenaikan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Melihat tugas Pertamina yang sangat kompleks, sejak produktivitas, penyiapan infrastruktur migas, proyek-proyek strategis, dan kini penyiapan holding BUMN migas, sudah selayaknya pekerja Pertamina menuntut pengharkatan yang lebih baik. Capaian kinerja lifting sampai dengan 94,9 persen (2017) atau lifting 77.500 barrel per hari (bph) dari target 81.600 bph adalah bukti keandalan pekerja Pertamina.
Tekanan pekerja yang merupakan politik hubungan industrial akan berinterseksi dengan politik energi dan akan menyebabkan citra Pertamina sebagai BUMN menjadi sangat dinamis. Siapa pun pengganti Elia Massa Manik ke depan memang akan menyandang tugas sangat berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar