Salah satu staf di kantor adalah seorang wanita muda yang baik, rajin, pandai, dan gesit untuk menolong orang lain. Satu-satunya hal yang membuat saya geleng kepala, ia justru tak suka ditolong. Semua pekerjaan atau semua aktivitas yang dilakukan dikerjakannya sendiri.

"Ogah" ditolong

Sudah beberapa kali saya berusaha untuk menolong, tetapi tak diizinkannya. Awalnya mungkin ia sungkan karena saya pemimpinnya, tetapi lama-kelamaan saya melihat bahwa ia tak senang kalau ditolong. Saya mengambil kesimpulan pertolongan itu buatnya bukan soal berutang pada kebaikan orang, tetapi memang dasarnya tak mau ditolong, karena malah membuat panik.

Kalau saja pada suatu hari Anda memergoki saya sedang berjalan dengan seorang wanita muda yang bahu kirinya menenteng tas tangan yang berat, bahu kanannya menenteng laptop, tangan kirinya menenteng tas berisi dokumen, dan tangan kanannya memegang tumpukan majalah, maka itu adalah wanita muda yang saya sedang ceritakan di atas.

Semua beban ia letakkan pada dirinya sendiri. Sampai saya berpikir, kok, ada manusia yang tak mau ditolong. Selang beberapa hari kemudian saya bertemu dengan teman saya di sebuah acara dan ia menceritakan seorang teman kami yang terlilit utang. Untuk dapat melunasi utangnya sampai didatangi ahli keuangan bagaimana cara agar utangnya dapat diselesaikan.

Salah satu cara yang disarankan adalah untuk beberapa waktu lamanya teman kami itu tidak boleh lagi berbelanja. Kalaupun berbelanja ada batas maksimun per hari yang bisa dilakukan. Gaya hidupnya harus diubah, beberapa asetnya harus dilepas untuk mendapatkan dana. Saran itu hanya tinggal saran semata. Pertolongan yang diberikan tak digubris sama sekali.

Dua cerita yang berbeda, yang membuat saya berpikir bahwa tak semua orang itu mau ditolong apa pun alasannya. Meski pertolongan itu dapat meringankannya, tetapi beberapa orang memilih untuk senang menderita. Kalau saya berpikir bahwa tak ada manusia di dunia ini mau menderita, maka dua kasus di atas telah membuktikan kalau saya keliru.

Kemudian nurani saya langsung menyindir. "Kayak enggak pernah aja. Bukan sana juga pernah enggak mau ditolong?"

Mendengar suara nurani itu berkicau, saya melayangkan pada peristiwa beberapa tahun lalu ketika orang lain mengulurkan pertolongan, tetapi saya memilih babak belur karena cinta.

Enggak kapok

Saya lebih memilih menderita daripada menjadi bahagia. Saya berpikir bahwa kebahagiaan itu mencintai dengan menderita. Di mana ada sebuah perjuangan yang tak menderita, bukan? Dengan pemikiran seperti itu, maka pertolongan yang datang tak saya gubris sama sekali.

Sekarang saya jadi berpikir. Staf saya di atas itu menjadi bahagia justru karena tak mau ditolong. Ia bahagia bahwa bahunya dibebani, tangan kanan dan kirinya dibebani, setiap hari selama nyaris dua tahun bekerja di perusahaan saya. Itu tak memperhitungkan sekian tahun sebelum ia bekerja di perusahaan saya.

Staf saya melihat kebahagiaan dengan memberi beban pada bahu yang mungkin secara kesehatan itu sama sekali jauh dari sehat. Staf saya mungkin tahu bahwa itu tidak sehat, tetapi ia menempatkan kebahagiaan di atas segalanya, bahkan ketika harus mengorbankan kesehatan bahunya.

Ia memilih bahagia bisa mengontrol tas, laptop, dan dokumennya, meski itu membebaninya. Karena dengan demikian, ia tak perlu panik kalau laptopnya ketinggalan di tangan orang yang hendak menolongnya.

Teman saya memilih untuk menderita terlilit utang dan didatangi debt collector, ketimbang harus kehilangan kesempatan untuk berbelanja. Teman saya memilih untuk tidak ditolong karena mungkin semakin terlilit, itu akan semakin membahagiakan.

Sungguh saya tak tahu dan tak bisa saya membayangkan seseorang bisa tidur nyenyak, datang ke pesta dengan riang gembira, sementara utang menggunung dan menepis sebuah pertolongan yang bisa menyelamatkannya.

Di suatu Minggu sore sepulang dari gereja, di dalam taksi yang mengantar saya pulang, sopir taksi bercerita bahwa ia pernah bekerja dengan seorang pengusaha yang tinggal di apartemen yang sama dengan saya. "Saya keluar 6 tahun lalu, Mas. Bos saya bangkrut karena judi. Saya itu heran udah tua udah kayak kakek-kakek masih gak kapok-kapoknya judi."

Mendengar cerita itu saya bertanya pada diri saya sendiri, kapan saya ini kapok menderita? Apakah kebahagiaan yang sejati itu adalah enggak kapok-kapok? Apakah kebahagiaan yang dicari dalam hidup ini adalah yang menyengsarakan diri sendiri dan orang lain? Apakah menderita itu sebuah kebahagiaan?

Apakah tidak mau ditolong itu sebuah perilaku ksatria? Apakah didatangi debt collector itu adalah ksatria? Apakah menyakitkan raga dengan cara apa pun itu sebuah perilaku heroik? Apakah berjudi dan mencintai sampai babak belur itu sebuah perilaku gagah perkasa?

Apakah menyambut sebuah pertolongan itu sebuah perilaku yang memalukan? Apakah menerima pertolongan itu menunjukan kelemahan?