Proses pencalonan anggota legislatif pada Pemilu 2019, salah satunya, ditandai dengan maraknya kader pindah partai politik. Sejumlah kader partai memilih meninggalkan partai lama tempat bernaung dan mencari rumah baru yang menerimanya. Fenomena itu bahkan diselingi munculnya isu adanya biaya transfer di belakangnya. Bagaimana membaca perpindahan kader partai ini?
Dalam persiapan menghadapi pemilu, setiap partai kontestan akan melakukan seleksi dan memutuskan siapa yang layak untuk dicalonkan mewakili partai untuk jabatan di parlemen nasional maupun lokal. Proses seleksi ini jadi salah satu pekerjaan yang menentukan, mengingat siapa yang dicalonkan akan ikut memengaruhi kinerja partai di pemilu. Untuk pemilu tahun depan, partai juga menghadapi tantangan dengan dipatoknya ambang batas parlemen sebesar 4 persen, lebih tinggi dibandingkan pemilu sebelumnya dengan ambang batas 3,5 persen.
Pencalonan inklusif
Proses seleksi memperlihatkan partai cenderung menempuh pencalonan inklusif. Pilihan ini memberikan kesempatan terbuka bagi siapa saja untuk dimajukan sebagai caleg. Dengan kata lain, partai tak membatasi bahwa caleg harus berasal dari internal partai. Langkah ini membuat persyaratan menjadi calon tidak terlalu ketat, seperti lamanya keanggotaan partai minimal sebelum pencalonan dan janji kesetiaan kepada partai, demi sebuah pencapaian partai di pemilu (Hazan dan Rahat, 2006).
Karena tak ada persyaratan ketat, terutama lama keanggotaan minimal, partai bisa dengan mudah menerima atau mengajak siapa pun yang dinilai mampu meningkatkan suara partai. Selama figur calon memenuhi syarat ini, partai tak banyak mempersoalkan pertimbangan lain.
Pilihan partai membuka kesempatan seluasnya bagi siapa pun untuk jadi caleg juga tidak bisa dilepaskan dari orientasi partai yang tidak menyoal hal mendasar seperti ideologi kepartaian. Antara satu partai dan partai lain tidak cukup memiliki perbedaan yang mencolok mengenai ideologi. Hasilnya, seorang kader partai yang sebelumnya berumah di partai tertentu dengan mudah berpindah partai tanpa mempersoalkan latar belakang diri dan partai asalnya. Hal ini barangkali akan berbeda, misalnya, dengan partai yang cenderung ideologis, yang akan menerapkan batasan eksklusif bagi siapa pun yang hendak maju sebagai caleg. Penerapan syarat eksklusif tidak diambil karena batas-batas ideologi partai terlihat masih kabur.
Melalui cara seleksi terbuka, partai memang berupaya menampung banyak orang untuk diajukan sebagai caleg. Sering kali cara ini dipilih sebagai langkah antisipasi adanya kelangkaan kader dari internal partai. Ketakmampuan partai dalam membangun institusionalisasi, salah satunya lewat kaderisasi, akan terasa ketika harus berhadapan dengan momentum yang mengharuskan partai menempatkan banyak calonnya untuk jabatan legislatif. Ketika ini tidak terpenuhi, partai akan mudah menempuh jalur cepat dengan cara—salah satunya—melirik kader-kader potensial dari partai lain yang berkemungkinan bersedia pindah dan mendapatkan peluang atau posisi strategis di partai yang baru nanti.
Selain karena pilihan cara melakukan seleksi, perpindahan kader partai bisa juga didorong oleh situasi internal partai lama, seperti adanya konflik internal atau faksionalisasi yang akut. Konflik atau faksionalisasi di partai adalah keniscayaan karena partai bukanlah organisasi yang hanya terdiri atas suara tunggal. Beragam pendapat, gagasan, ide, masing- masing bisa saling bersinggungan di partai (Boucek, 2009).
Dalam sudut pandang itu, konflik internal atau faksionalisasi merupakan salah satu konsekuensi yang siap ditanggung partai. Kemampuan partai mengelola konflik internal bisa menentukan seberapa kuat kohesi internal. Konflik yang tak terkelola bisa menyebabkan keretakan atau perpecahan partai.
Konflik internal yang tidak tertangani dan berujung perpecahan bisa membuat kader, faksi, atau kelompok di partai yang saling berlawanan akan saling meminggirkan. Kondisi ini bisa membuat mereka yang terpinggirkan memilih keluar, bergabung dengan partai lain, atau mendirikan partai baru. Mereka yang memilih maju caleg lewat partai lain juga berkemungkinan mengalami situasi seperti itu. Karena konflik dan sejenisnya, peluang untuk maju di pemilu lewat partai lama kecil, sementara tawaran dari luar atau kesempatan yang lebih besar datang dari partai lain. Maka, pilihan kalkulasi pragmatis akan membawanya menerima peluang tersebut. Jejak di partai lama dengan mudah terhapus untuk membuat jejak di partai yang baru.
Pindah partai terang memunculkan implikasi yang perlu diantisipasi. Salah satunya yang perlu mendapat perhatian adalah potensi munculnya dinamika atau persaingan internal yang baru. Bagaimanapun kader yang baru pindah partai dan langsung menjadi caleg adalah pendatang baru yang dapat rute khusus tanpa melalui pengaderan berjenjang. Kebijakan partai seperti ini akan membuka peluang mengikisnya kader partai yang loyal. Dalam pandangan Hazan dan Rahat, adanya penyetaraan seleksi calon bisa merusak insentif selektif dalam partai ketika kader partai yang lama disamakan dengan orang baru, yang belum tentu setia. Bagaimanapun partai juga perlu kader yang loyal untuk membantu bagi kepentingan pemilu dan organisasi.
Internalisasi nilai
Implikasi lain yang bisa tumbuh adalah adanya jarak pengetahuan atau internalisasi nilai-nilai partai pada kader baru yang menjadi caleg. Kader baru akan butuh tempo pendalaman seluk-beluk partai untuk bisa diperjuangkan ke publik. Kandidat partai akan mengartikulasikan, menafsirkan catatan atau program, serta janji-janji partai untuk masa depan (Katz, 2001). Internalisasi nilai-nilai kepartaian bisa memerlukan waktu yang tidak pendek, seperti dalam hal penjelajahan medan atau kemampuan menangkap berbagai aspirasi di bawah, dan relasinya baik di internal maupun eksternal. Barangkali partai bisa mengandalkan figur yang baru pindah dengan bekal popularitas atau jejaring lamanya, tetapi untuk membawanya sebagai calon dari partai barunya bisa memerlukan waktu lebih.
Selain itu, yang juga harus perlu dicermati adalah terkait relasinya dengan rakyat jika terpilih, seperti bagaimana performa dan akuntabilitas sebagai wakil di parlemen. Apalagi jika benar perpindahan dari partai ke partai diselingi dengan adanya isu biaya transfer kader. Bukan tak mungkin kepentingan rakyat tak menjadi prioritasnya. Munculnya isu biaya transfer telah membuat demokrasi perwakilan tergerus sebagai proses transaksional semata. Upaya membendung gerusan tersebut perlu dilakukan, salah satunya melalui perbaikan pada regulasi pemilu dan atau regulasi partai politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar