Pemerintah menyusun sejumlah langkah untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan melalui peningkatan ekspor dan pengurangan impor.
Sejak Januari 2018 nilai tukar rupiah terus terdepresiasi. Dari kisaran Rp 13.300-an per dollar AS pada Januari nilai tukar terus tergerus. Jumat pekan lalu, nilai tukar menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) adalah Rp 14.483 setelah pada 20 Juli sempat mencapai Rp 14.520.
Sepanjang setengah tahun ke depan, nilai tukar rupiah berpeluang terus melemah jika keadaan tidak berubah. Penyebabnya, defisit transaksi berjalan Indonesia yang negatif sejak tahun 2012 menyebabkan kebutuhan devisa lebih besar daripada pasokan.
Tekanan terhadap rupiah menjadi sangat terasa ketika Bank Sentral Amerika Serikat mulai menormalkan kembali kebijakan keuangan dengan menaikkan suku bunga acuan di dalam negerinya mulai tahun ini. Kebijakan itu menyebabkan dana dari pasar keuangan banyak negara, termasuk negara dengan ekonomi bertumbuh seperti Indonesia, berpindah ke AS.
Tekanan terhadap negara berkembang semakin bertambah ketika AS menjalankan kebijakan keseimbangan neraca perdagangan dengan mitra dagangnya melalui pengenaan tarif impor. China menjadi salah satu sasaran kebijakan tersebut dengan akibat guncangnya perdagangan global yang saat ini didominasi sistem rantai pasok.
Tekanan terhadap rupiah kemungkinan besar terus terjadi. Bank Sentral AS masih akan menaikkan suku bunga acuannya setidaknya satu kali lagi, diperkirakan pada September. Kita juga perlu bersiap menghadapi reaksi Bank Sentral China yang akan membiarkan mata uangnya melemah, dan membuat produk China menjadi lebih murah.
Di tengah tekanan tersebut, pemerintah menyusun bauran kebijakan untuk membalikkan keadaan. Langkah jangka pendek, antara lain, menaikkan jumlah kunjungan wisatawan asing, menekan impor barang konsumsi, mengevaluasi proyek nasional yang berpotensi menggerus devisa, dan mempercepat penggunaan biodiesel 20 persen dari minyak sawit.
Dalam meningkatkan ekspor diupayakan mengisi peluang akibat perang dagang AS-China. Perlu diperhatikan, Pemerintah AS menginginkan kita membuka pasar untuk produk AS karena neraca perdagangan negara itu defisit terhadap Indonesia. Menaikkan ekspor ke AS dapat berdampak naiknya impor dari AS.
Di tengah berbagai upaya itu, kita diingatkan kembali pada 16 paket kebijakan stimulus ekonomi yang dikeluarkan sejak 9 September 2015. Ada baiknya pemerintah mengevaluasi pelaksanaan ke-16 paket tersebut sebelum membuat keputusan dan insentif baru. Dalam situasi seperti saat ini, konsistensi dan koherensi berbagai kebijakan kian menjadi penting untuk meningkatkan kepercayaan dunia usaha yang menjadi tumpuan mendatangkan devisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar