KOMPAS/ALIF ICHWAN (AIC) 31-07-2018

Perbaikan Daftar Calon Caleg di KPU – Komisioner KPU Ilham Saputra (kanan) memberikan semangat kepada karyawan KPU saat memantau pendaftaran bakal calon anggota DPR di gedung KPU, Jakarta, Selasa (31/7). KPU masih membuka pengajuan perbaikan daftar dan syarat calon anggota DPR untuk Pemilu Tahun 2019 hingga tengah malam.

Terasa ironis ketika partai politik tetap mengajukan bekas narapidana korupsi sebagai calon anggota legislatif. Padahal, korupsi adalah salah satu penyakit bangsa.

Ikhtiar KPU melarang bekas napi korupsi menjadi caleg memang ditentang sejumlah elite partai politik. Mereka berargumen, tidak ada aturan hukum yang melarang bekas napi korupsi menjadi caleg. Tidak ada juga putusan pengadilan yang telah mencabut hak politik bekas napi korupsi untuk menjadi caleg. Ada juga argumen bahwa melarang bekas napi korupsi menjadi caleg adalah pelanggaran hak asasi manusia.

Namun, Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tetap melarang bekas napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba. Bahkan, pimpinan partai politik harus menandatangani pakta integritas soal tidak adanya napi bekas korupsi yang diusulkan sebagai caleg.

Meski tidak sepenuhnya bersesuaian dengan UU Pemilu, diskresi KPU itu adalah proses awal dalam proses seleksi untuk menghadirkan lembaga perwakilan yang bersih dan berintegritas. Fakta menunjukkan, jumlah anggota DPR/DPRD yang tersangkut kasus korupsi cukup banyak. Ini memprihatinkan.

Namun, nyatanya, masih ada sejumlah partai politik yang mengajukan bekas napi korupsi sebagai bakal caleg dengan sejumlah argumen. Menurut harian ini, ada 186 bakal calon anggota legislatif yang terindikasi korupsi. Namun, fakta politiknya, pakta integritas ditandatangani pimpinan partai politik yang menyatakan tidak ada bakal caleg yang pernah menjadi napi korupsi. Situasi ini tentu bermasalah secara etis dan moralitas, khususnya kejujuran partai politik itu sendiri.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sampai harus mengimbau pimpinan partai politik untuk mengganti bakal caleg yang terindikasi korupsi per 31 Juli 2018. Surat itu urung disampaikan. Setelah batas waktu terlewati, tidak ada ruang bagi parpol untuk mengganti bakal caleg. Bahwa ada sejumlah bakal caleg menggugat peraturan KPU ke Mahkamah Agung (MA) adalah hak bakal caleg. Biarlah MA memutuskan perkara ini. Di sinilah, komitmen antikorupsi lembaga negara akan diuji.

Peraturan KPU No 20/2018 adalah sinyal untuk menghadirkan legislator yang berintegritas, jujur, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Itulah semangat reformasi yang melahirkan Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Harapan senada kita sampaikan. Tidak ada keuntungan politik apa pun bagi partai politik yang nekat mengajukan bakal caleg bekas napi korupsi menjadi caleg. Bahkan, kita menyebut langkah itu sebagai bunuh diri politik. Sebaiknya partai politik mengganti saja bekas napi korupsi yang diajukan partai politik sebagai anggota DPR dan DPRD. Kita bersyukur langkah itu mulai dikoreksi oleh sejumlah parpol dengan mengganti caleg bermasalah.

Sebaliknya, jika partai politik tidak mencoret nama bakal caleg bermasalah, kita mendorong KPU untuk mencoret saja bekas napi koruptor menjadi caleg. Gugatan hukum yang diajukan haruslah dihadapi oleh KPU dan Bawaslu.

Kompas, 1 Agustus 2018