Ambang Batas Presidensial
Persyaratan ambang batas presidensial 2019 yang menggunakan hasil Pemilu DPR 2014 (Kompas, 10 Juli 2018, halaman 3) merupakan peraturan yang memanipulasi atau membohongi rakyat. Sebab, saat Pemilu DPR 2014, kita tidak tahu bahwa hasilnya akan dihitung sebagai bagian dari ambang batas presidensial pada Pemilu 2019.
Sebagai bukti bahwa peraturan tersebut membohongi rakyat (memanipulasi suara saya) seperti berikut ini. Seandainya waktu itu (2014) saya tahu, pilihan partai saya bukan kepada partai yang peluang dukungannya terbesar ke calon presiden X (Partai A).
Saya akan memilih "partai terbaik" di antara partai yang mendukung calon presiden X (Partai C) walaupun dukungan bukan yang terbesar. Ini berarti, seandainya dulu saya tahu kalau suara saya akan digunakan untuk Pemilu 2019, saya akan memilih (mencoblos) Partai C.
Berhubung saya tidak tahu, saya saat itu mencoblos Partai A. Jadi, jelas bahwa rakyat (saya) telah dibohongi dan dimanipulasi dengan peraturan tersebut.
Seyogianya bila peraturan tersebut ingin diterapkan, tidak untuk Pemilu 2019, tetapi untuk Pemilu 2024 sehingga saat Pemilu 2019 nanti kita telah tahu bahwa suara kita akan digunakan untuk ambang batas presidensial Pemilu 2024. Kalau diterapkan sekarang, sudah jelas itu membohongi rakyat (membohongi saya), dan itu berarti saya mengalami kerugian konstitusional.
Seyogianya Mahkamah Konstitusi membatalkan peraturan tersebut karena rakyat akan mengalami kerugian konstitusional.
Indragung Priyambodo
Bumi Sentosa Blok A1 No 6, Nanggewer Mekar,
Cibinong, Bogor, Jawa Barat
Renungan di Hari Proklamasi
Belakangan ini liputan media tentang kasus-kasus korupsi semakin marak. Itu pertanda korupsi masih luas di berbagai bidang, dalam bermacam tingkat, dan beragam besaran.
Menjelang ulang tahun ke-73 Proklamasi, di tengah upaya gencar dan keras Komisi Pemberantasan Korupsi, kita teringat akan amanat Presiden Soekarno pada ulang tahun pertama Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1946 di Yogyakarta.
Pada peringatan satu tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu, di era revolusi yang kuyup kekacauan, kekalutan, kerusakan, kesulitan (meminjam istilah-istilah Presiden Soekarno sendiri) yang menimbulkan penderitaan, Bung Karno menggambarkan betapa berat kesulitan di bidang ekonomi dan keuangan.
Bung Karno menyerukan, "Rantjangan untuk menjelenggarakan kemakmuran rakjat, atau sedikitnya meringankan penderitaan rakjat, pun difikirkan." Maka dari itu, lanjut Bung Karno, yang harus menjadi prioritas adalah "pembersihan uang" dan "pembersihan ekonomi".
Yang menarik, dalam amanat tersebut, Bung Karno sudah mengingatkan bahwa "Kesulitan keuangan-masjarakat dan keuangan-pemerintah maha- hebat, dan sebelum hal keuangan ini dapat disehatkan, belum dapatlah diusahakan perbaikan kemakmuran negeri, belum dapat dibasmi tukang tjatut, belum dapat diberantas korupsi dengan sempurna". ("Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1946 di Jogjakarta", dalam Ir Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Cetakan Kedua, 1965, hlm 11).
Lebih dari 70 tahun lalu, Bung Karno—dan para Pendiri Republik yang lain—sudah mengingatkan keharusan membasmi "tukang catut" dan memberantas korupsi demi mencapai "kemakmuran negeri". Amanah Para Pendiri Republik itulah yang sekarang antara lain ada di pundak KPK. Menjadi harapan kita agar amanah itu dapat diwujudkan dengan memberantas "tukang catut" dan korupsi.
Eduard Lukman
Jl Warga, RT 0014 RW 003, Pejaten Barat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar