Pidato Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi dalam Forum Kontraterorisme Global (GCTF) di New York menjadi signifikan karena data menunjukkan perempuan telah menjadi sasaran perekrutan jejaring terorisme untuk dijadikan pelaku teror. Menlu merujuk pada peristiwa ledakan bom di Surabaya pada Mei lalu di mana pelakunya adalah perempuan dan anak-anak. Hal serupa sudah terjadi di sejumlah negara lain di mana perempuan menjadi dalang serangan.
Latar belakang pelibatan perempuan dalam aksi teror antara lain karena persepsi kolektif bahwa perempuan bisa dipercaya, setia, dan mudah dikendalikan oleh tokoh otoritas. Faktor lainnya, pelaku perempuan tidak mudah dicurigai aparat keamanan sehingga kemungkinan efektivitas serangan lebih besar. Kenyataan ini membuat upaya pemerintah untuk melawan terorisme dan radikalisasi menjadi lebih pelik.
Namun, sebaliknya, perempuan sangat bisa berperan sebagai agen perdamaian dan pencegahan radikalisasi karena perempuan memiliki tempat khusus dalam pendidikan karakter generasi muda sebagai ibu, pendidik, guru, motivator. Sejak bayi hingga menjadi remaja, tokoh-tokoh otoritas utama dalam kehidupan anak adalah perempuan. Dengan kata lain, pemberdayaan perempuan akan menjadi modal sosial besar bagi pemerintah untuk melaksanakan demokratisasi.
Dengan modal inilah pemerintah harus bekerja sama dengan kelompok masyarakat, khususnya kelompok perempuan, untuk melaksanakan program-program deradikalisasi. Penanganan terorisme umumnya dilakukan melalui pendekatan "keras", seperti pendekatan keamanan dan penegakan hukum, serta pendekatan "lunak", seperti penanggulangan kemiskinan, pembukaan lapangan kerja, dan pendidikan. Dalam pendekatan lunak inilah perempuan bisa dioptimalkan perannya.
Saat ini Indonesia memiliki dua organisasi Islam besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang masing-masing memiliki badan otonom yang mengurusi perempuan, yaitu Fatayat NU dan Aisyiah. Fatayat NU, misalnya, memiliki kader jutaan orang dan selama ini telah berkecimpung dalam pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kemiskinan. Pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama bisa menjadi basis pengajaran deradikalisasi.
Sementara Aisyiah antara lain memfokuskan agendanya pada gerakan perempuan, pendidikan, dan kesehatan. Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah untuk semua jenjang pendidikan dan juga rumah-rumah sakit. Kekuatan ini masih belum ditambah dengan ormas-ormas lain yang selama ini tekun membangun komunitas yang toleran.
Indonesia telah memiliki modal besar untuk memerangi terorisme dan radikalisasi melalui peran perempuan. Kini dibutuhkan koordinasi dan program-program terpadu untuk menyatukan kekuatan ini.
Kompas, 29 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar