Penandatanganan berbagai perjanjian, termasuk jual beli saham (sale and purchase agreement),antara PT Indonesia Asahan Aluminium dan Freeport McMoran dan Rio Tinto pada 27 September lalu merupakan peristiwa bersejarah. Bersejarah tak hanya karena sekarang Indonesia—lewat PT Inalum (Persero)—telah memiliki 51 persen saham di PT Freeport Indonesia (PT FI). Terpenting adalah penandatanganan berbagai dokumen menandai berakhirnya rezim kontrak karya (KK) PT FI dengan Pemerintah Republik Indonesia.
KK telah digantikan dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sehingga kedudukan pemerintah menjadi lebih tinggi dibandingkan PT FI. Di samping itu, Freeport McMoran (FM) tidak lagi berkedudukan sejajar dengan pemerintah melalui kepemilikan mayoritas di PT FI. FM kini sejajar dengan Inalum.
Berakhirnya KK PT FI merupakan sebuah titik balik (turning point) mengingat atas dasar KK inilah FM berargumentasi bahwa kedaulatan negara RI di bidang perpajakan diikat. Kesucian kontrak (sanctity of contract) selalu didengungkan ketika pemerintah menjalankan kedaulatan perpajakannya yang berdampak negatif pada FI dan FM. Oleh karena itu, pemerintahan Joko Widodo sangat layak mendapatkan apresiasi. Pemerintahan ini telah secara konsisten memperjuangkan agar PT FI dan FM kembali ke khitah menjadi pelaku usaha.
Meski semua pemerintahan dari waktu ke waktu memiliki andil ketika menghadapi FM, di era pemerintahan Jokowi mulai mencatatkan sejarah. Ini berawal ketika Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017. PP ini intinya memberikan opsi kepada pemegang KK, termasuk PT FI, atas dua hal. Pertama, tetap memegang KK tetapi melakukan pemurnian 100 persen di Indonesia. Atau tetap melakukan ekspor tetapi mengubah KK menjadi IUPK.
Para pemikir dan perancang PP No 1/2017 sungguh sangat pandai dan strategis dalam memanfaatkan momentum dilarangnya pemegang KK untuk melakukan ekspor. Berdasarkan Pasal 170 UU Mineral dan Batubara ditentukan, "Pemegang kontrak karya … wajib melakukan pemurnian… selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang- Undang ini diundangkan".
Awalnya FM resisten atas pemberlakuan PP No 1/2017. Bahkan, Freeport mengancam Pemerintah RI untuk bersengketa ke forum arbitrase. Namun, perlahan FM menyerah. FM akhirnya mau menerima IUPK tetapi pada saat yang bersamaan tak bersedia segera meninggalkan KK. Pemerintah pun secara sabar meladeni dengan mengeluarkan IUPK sementara.
Momentum muncul kembali ketika FM menghendaki perpanjangan masa kontrak yang segera habis di 2021. Kali ini pemerintah berhasil membuat kesepakatan dengan FM. Pada 29 Agustus 2017, pemerintah bersedia untuk memperpanjang izin PT FI 2×10 tahun hingga 2041 tetapi dengan empat syarat. Dua syarat terpenting adalah landasan hukum yang mengatur hubungan pemerintah dengan PT FI diubah dari KK menjadi IUPK. Kedua, FM harus melakukan divestasi saham kepada kepemilikan Indonesia sebesar 51 persen.
Banyak pihak yang mempertanyakan apakah Indonesia diuntungkan dengan perubahan KK ke IUPK dan divestasi 51 persen? Pertanyaan ini muncul karena apabila pemerintah tidak memperpanjang izin PT FI ke 2041, maka Indonesia akan segera menguasai PT FI pada 2021. Belum lagi mengapa Indonesia atau PT Inalum harus membayar 3,85 miliar dollar AS. Angka ini dianggap terlalu mahal daripada membeli aset setelah berakhirnya kontrak pada 2021.
Tentu berbagai pertanyaan itu bisa dimengerti, tetapi belum tentu menguntungkan Indonesia. Ada tiga alasan untuk ini. Pertama, karena yang kita hadapi adalah FM yang memiliki ambisi untuk tetap berada di Indonesia hingga 2041 dan karenanya akan melakukan berbagai hal itu. Kedua, kekuatan finansial dari FM tidak boleh diremehkan. Kekuatan finansial berarti FM dapat mengeluarkan biaya investasi tanpa batas, bahkan menyewa para profesional yang pintar dan cerdas. Terakhir, lobi dan orang- orang yang berpengaruh yang berpihak pada FM, baik di Amerika Serikat maupun Indonesia, bisa digerakkan untuk membuat pejabat di Indonesia kerepotan.
Anak perusahaan
Saat ini keputusan telah diambil oleh pemerintahan Jokowi dan keputusan itu merupakan keputusan yang terbaik dari berbagai opsi yang ada. Kini PT FI telah menjadi anak perusahaan Inalum. Sebagai anak perusahaan, maka PT FI diperlakukan sebagai korporasi. PT FI sejajar dengan PT Antam, PT Timah, dan PT Bukit Asam yang semuanya adalah anak perusahaan dari PT Inalum.
Selanjutnya sebagai korporasi tentu PT FI akan tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk peraturan daerah yang berlaku di Papua. Sebagai anak perusahaan Inalum berarti PT FI wajib diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hingga saat ini, kepemilikan Indonesia yang kurang dari 10 persen seolah menjadi penghalang bagi BPK untuk memeriksa PT FI.
Terakhir, sebagai anak perusahaan dari Inalum, maka uang PT FI adalah uang negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Huruf (g) UU Keuangan Negara. Oleh karena itu, manajemen PT FI wajib untuk ekstra hati-hati dalam pengelolaannya. Apabila tidak, aparat penegak hukum akan bergerak berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi.
Terjerembap dua kali
Meski telah ditandatangani berbagai perjanjian dengan FM dan Rio Tinto, manajemen Inalum mengatakan perjanjian baru efektif saat pembayaran dilakukan pada akhir tahun ini. Saat ini telah disampaikan oleh manajemen Inalum ada sejumlah bank asing yang bersedia memberikan pinjaman kepada Inalum untuk melakukan pembelian saham di PT FI. Hanya saja perlu diwaspadai oleh manajemen Inalum ketika mencari pinjaman ini. Jangan sampai seperti tamsil keledai yang bisa terjerembap untuk kedua kali.
Ini berkaitan dengan asal bank yang akan memberikan pinjaman kepada Inalum. Sedapat mungkin bank tersebut bukanlah bank pelat merah/BUMN asal China. Ada empat alasan untuk ini. Pertama, China saat ini sedang melakukan dominasi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ekspansi ini dilakukan dengan kekuatan finansialnya. Kekuatan finansial dapat membuat ketergantungan sebuah negara sehingga kedaulatan negara itu mudah diintervensi. Situasi ini tentunya berlaku bagi kekuatan finansial China terhadap Indonesia. Pengalaman seperti ini bukan hal baru bagi Indonesia. Di masa lalu, negara-negara donor, seperti AS, Eropa, bahkan lembaga keuangan internasional, kerap melakukannya.
Kedua, bank pelat merah dari China tentu akan mengikuti apa yang diinginkan oleh Pemerintah China. Dalam konteks demikian, jangan sampai bunga yang rendah dan tak adanya agunan dikompromikan dengan kepentingan Pemerintah China terhadap Indonesia. Ketiga, sensitivitas publik di Indonesia juga harus diperhatikan. Belakangan berbagai isu berkaitan dengan China telah mengganggu perasaan publik di Indonesia. Meski harus diakui hubungan China-Indonesia penting, jangan sampai hubungan itu mengganggu kondusivitas publik Indonesia.
Keempat, pembiayaan asal bank pelat merah China dapat berdampak pada Indonesia karena adanya perang dagang antara AS dan China. Bukannya tak mungkin pemerintahan Donald Trump bersikap negatif kepada Indonesia karena menganggap China melalui bank pelat merahnya berhasil menyingkirkan FM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar