Dalam buku The Death of Expertise (2017), Thomas M Nichols menunjukkan paradoks masyarakat digital. Kelimpahruahan informasi di era digital ternyata tidak berbanding lurus dengan kedewasaan masyarakat dalam bertindak atau mengambil keputusan.

Kemudahan-kemudahan berkomunikasi yang tercipta tidak otomatis membuat masyarakat semakin terbuka nalar kritisnya, semakin selidik terhadap fakta-fakta dan semakin rasional dalam bersikap.

Epidemi irasionalitas

Alih-alih limpah ruah informasi dan kemudahan-kemudahan itu justru menjerumuskan masyarakat dalam epidemi irasionalitas. Epidemi ini ditandai dengan hilangnya penalaran yang rasional dan pudarnya kesadaran atas pentingnya proses verifikasi sebelum sampai pada suatu kesimpulan. Orang menjadi serba terburu- buru, spontan, instan, dan senantiasa terdorong untuk menjadi yang pertama dalam berujar atau bersikap tanpa memikirkan kebenaran dan kepantasan yang melandasinya.

Disebut epidemi karena penyakit itu tak hanya menyerang satu-dua orang, tetapi menjangkiti banyak orang, tanpa pandang bulu. Bukan hanya orang awam yang kehilangan daya kritis, sikap selidik, dan kehati-hatian bersikap, melainkan juga kaum intelektual, pemuka masyarakat, dan pemimpin bangsa.

Begitu berhadapan dengan teknologi informasi, semua orang seperti luruh— menggunakan istilah Martin Heidegger— ke dalam status das man. Orang-orang kebanyakan yang miskin kesadaran reflektif, larut dalam sikap acuh-tak-acuh, dan kurang bertanggung jawab. Orang-orang yang tak merasa perlu membedakan mana yang palsu mana yang asli, mana yang bohong dan mana yang jujur.

Keterbatasan pengetahuan tentang suatu kejadian tak menghalangi mereka untuk dengan lantang menyuarakan pendapat atau meluapkan amarah. Persis orang- orang "di pinggir jalan" yang karena bukan siapa-siapa dan anonim bebas berbicara apa saja. Kebohongan Ratna Sarumpaet (RS) perlu dicermati dari perspektif ini. Yang lebih penting untuk dikaji bukanlah mengapa RS berbohong, melainkan bagaimana masyarakat merespons kebohongan itu. Ucapan terima kasih mungkin justru perlu diberikan kepada RS karena dia telah membantu kita untuk mengenali lebih dini epidemi yang sedang melanda negeri ini seiring dengan histeria masyarakat terhadap tren digitalisasi dengan semua dampaknya.

Kabar bohong (hoaks) tentu bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Namun, mesti diakui, belum pernah terjadi kabar bohong yang seheboh dan sedramatis kabar bohong tentang RS. Dalam 20 tahun ke depan sekalipun, rasanya sulit menemukan hoaks dengan tingkat kekonyolan dan kepandiran separah itu.

Hanya butuh waktu 24 jam, orang- orang berbalik arah dari mengafirmasi kebohongan tersebut, bersimpati kepada RS sebagai korban dan mengutuk kekerasan yang dibayangkan, menuju sikap yang sebaliknya, mengutuk kebohongan itu, menarik simpati yang sudah diberikan, dan meminta maaf kepada publik karena telanjur ikut menyebarkan kebohongan.

Tidak tanggung-tanggung, RS sendiri yang secara terbuka mengakui kebohongan itu, hanya selang satu hari setelah kebohongan meledak.

Drama yang sangat mencengangkan tergelar. Masyarakat tentu sulit melupakan konferensi pers Selasa, 2 Oktober 2018. Di sana berkumpul orang-orang besar di negeri ini: mantan ketua DPR, calon presiden, mantan menteri, dan lain-lain. Mereka menyampaikan simpati untuk RS dan mengutuk kekerasan yang kemudian terbukti hanya halusinasi. Di layar media, beberapa tokoh penting negeri ini melakukan hal yang sama.

Pertanyaannya, mengapa mereka tidak sedikit pun menaruh curiga terhadap pengakuan RS? Mengapa mereka tidak berpikir untuk melakukan verifikasi? Mereka mengamini begitu saja kebohongan itu, bahkan menjadikannya sebagai sarana untuk mengkritik pemerintah, menekan aparat, dan memojokkan lawan politik. Mereka tidak memperhitungkan dampak buruk terhadap mereka sendiri jika ternyata RS berbohong.

Lebih dramatis lagi, hujan permintaan maaf terjadi di media sosial dan media daring. Mereka yang sebelumnya tanpa pikir panjang menyampaikan opini, simpati, kritik pedas, celaan, kutukan, dan umpatan terkait kebohongan RS,
ramai-ramai meminta maaf kepada publik. Suasananya seperti hari raya, para pemimpin meminta maaf kepada masyarakat.

Pudarnya kemampuan komunikasi

Kita bersyukur kebohongan itu telah layu sebelum berkembang. Apa jadinya jika kebohongan itu tidak segera terungkap, lalu diamplifikasi sedemikian rupa sehingga kemudian dipersepsi sebagai kebenaran dan menimbulkan dampak-dampak politis yang sistemik?

Oleh karena itu, kekonyolan, kebohongan, dan kehebohan yang melingkupi kasus RS hendaknya menjadi pijakan untuk menangani sesuatu yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita saat ini: epidemi irasionalitas.

Dalam konteks studi komunikasi, masyarakat kita sedang menghadapi pudarnya kemampuan berkomunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication). Yang membedakan manusia dengan binatang adalah binatang bertindak murni berdasarkan naluri, sedangkan manusia mampu bertindak berdasarkan pertimbangan hati nurani, norma, dan etika. Manusia adalah makhluk yang mampu menunda tindakannya untuk berpikir tentang dampak dan konsekuensi.

Pada era media sosial hari ini, kemampuan berkomunikasi intrapersonal ini menghilang pada begitu banyak orang. Tiba-tiba saja pengguna media sosial, tidak peduli latar pendidikan dan status sosialnya, begitu mudah untuk menyebarkan pesan yang tidak diketahui benar kebenaran dan kelayakannya untuk dikonsumsi oleh orang banyak.

Bangsa Indonesia sedang mabuk kepayang dengan segala bentuk media digital. Alih-alih memaksimalkan sisi-sisi baiknya, kita justru banyak berkutat kemudaratannya. Media sosial hadir dengan kredo "setiap orang adalah subyek yang berbicara", "setiap orang adalah wartawan". Media sosial membawa dampak demokratisasi dan deliberasi dalam hal ini. Namun, yang juga terjadi kemudian adalah orang lupa bahwa berbicara di ruang publik mesti tetap bertolak dari etika dan tanggung jawab.

Orang lupa bahwa siapa pun yang mendaku diri sebagai citizen journalist wajib menaati etika jurnalistik. Hal ini menjelaskan mengapa media sosial kemudian tidak hanya berkembang sebagai sarana diskusi, tetapi juga sarana untuk memamerkan sikap apriori dan intoleran kepada orang lain.

Kekuatan media sosial dan media konvensional telah menyilaukan banyak orang. Mereka begitu mudah mendapatkan popularitas, pengikut, dan sorak-sorai melalui ruang media. Orang seperti RS mungkin sudah terbiasa dimanjakan media dalam pengertian ini. Apa pun yang dikatakannya akan dibaca netizen dan dikutip media daring. Semakin keras pernyataan RS, semakin besar perhatian netizen dan wartawan.

Banyak politisi juga berpikir dalam kerangka yang sama. Setiap hari mereka menargetkan mesti ada pernyataan publik yang tersebar di media sosial atau media daring. Untuk sebagian dari mereka, lama- lama tidak penting lagi apakah yang disebarkan benar atau salah, baik atau kurang baik. Yang penting telah hadir di ruang publik dengan pernyataan yang menarik perhatian khalayak.

Silau media telah membuat banyak pihak berpikir partikularistik menghadapi media dan masyarakat. Begitu ada kasus yang hangat, yang dipikirkan adalah bagaimana segera melakukan konferensi pers untuk memanfaatkan kasus tersebut demi tujuan publisitas. Namun, keadaan seperti ini juga merupakan andil dari komunitas pers. Bersamaan dengan maraknya serangan gelombang hoaks, media jurnalistik (online) justru ikut terbawa arus. Sebagian dari mereka menjadi pengikut (follower) media sosial, dalam pengertian terbiasa menyebarkan kabar yang belum diperiksa betul akurasi dan kelayakannya. Media jurnalistik belum sepenuhnya hadir sebagai alternatif yang lebih baik dari media sosial.

Hal yang perlu diantisipasi benar dalam konteks ini adalah keadaan nihilistik
dalam ruang publik. Keadaan yang ditandai dengan ketidakmampuan kolektif untuk membedakan mana yang bohong dan mana yang jujur, mana yang layak mana yang abal-abal. Dalam ruang publik yang sedemikian dibanjiri simpang siur informasi, masyarakat kehilangan referensi untuk memahami persoalan secara jernih. Masyarakat kesulitan membedakan antara gosip, spekulasi, informasi, dan berita. Maka yang terjadi kemudian adalah yang bohong dianggap kebenaran, yang benar dipahami sebagai fitnah, dan seterusnya. Inilah habitat yang kondusif bagi para provokator dan spekulan politik.