Indonesia berduka. Bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala membuat bangsa ini kembali menundukkan kepala.
Bencana alam sebagai salah satu bentuk ancaman keamanan nontradisional memang menjadi ancaman nyata bagi Indonesia. Bukan kali ini saja Indonesia harus berhadapan dengan persoalan bencana alam.
Tata letak Indonesia secara geografis memang menjadikan negara ini rawan terhadap ancaman bencana alam. Meski sulit memprediksi kapan bencana alam itu terjadi, dampak korban jiwa dan kerusakan yang ditimbulkan diharapkan dapat semakin diminimalkan jika dibangun sistem manajemen bencana alam yang komprehensif.
Di tengah situasi yang tak menentu pascatsunami di Donggala dan Palu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) turut serta berperan memulihkan kondisi pascabencana. TNI Angkatan Udara mengirim beberapa pesawat Hercules untuk membantu penanganan bencana yang terjadi. TNI Angkatan Laut membantu pemulihan pelabuhan dan mengirimkan berbagai bantuan. TNI Angkatan Darat di wilayah Sulawesi Tengah turut membantu upaya penyelamatan korban jiwa dan penanganan bencana.
Sebagai bagian dari operasi militer selain perang, keterlibatan militer dalam menghadapi bencana alam memang dibutuhkan. Di tengah kapasitas sipil yang terbatas dalam hal peralatan dan SDM serta desakan situasi darurat yang membutuhkan respons cepat, pelibatan militer dalam kerangka tugas civic mission sangat dimungkinkan. Keputusan otoritas sipil untuk melibatkan militer dalam menghadapi situasi darurat merupakan praktik umum di negara-negara lain seperti AS.
Sebelumnya, TNI juga pernah terlibat dalam pemulihan bencana alam berskala besar, yaitu tsunami Aceh 2004.
Keamanan dan ancaman
Dinamika ancaman keamanan pasca-Perang Dingin memang lebih didominasi oleh ancaman keamanan nontradisional. Dalam pendekatan nontradisional, konsepsi keamanan lebih ditekankan pada kepentingan keamanan pelaku-pelaku bukan negara (nonstate actors). Secara konseptual, pendekatan ini berkembang setelah menurunnya ancaman tradisional militer yang menggerogoti kedaulatan negara, di mana di sisi lain muncul kecenderungan peningkatan ancaman terhadap keamanan manusia, seperti bencana alam, penyakit menular, dan kerusakan lingkungan.
Dalam konteks itu, referent object dari keamanan yang harus dilindungi dari ancaman tidak lagi tertuju pada "negara" semata, tetapi juga pada pentingnya perlindungan pada keamanan manusia. Dalam situasi krusial, ancaman terhadap keamanan insani dapat bertransformasi jadi ancaman terhadap keamanan nasional (negara) jika ancaman itu secara nyata berpotensi mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial serta keselamatan bangsa dan masyarakat sehingga dibutuhkan kebijakan penanggulangan yang bersifat nasional. Dalam situasi seperti ini, pelibatan militer dimungkinkan.
Namun, dalam situasi normal ancaman terhadap keamanan insani cukup ditangani oleh lembaga-lembaga negara yang berkompetensi dan bertanggung jawab untuk menanggulanginya. Penting dihindari pelibatan militer untuk menangani isu-isu dan ancaman yang sifatnya nirmiliter yang berlebihan. Sekuritisasi isu atas sebuah masalah yang masih normal dapat berdampak tak baik secara eksternal dan internal militer, salah satunya dapat melemahkan profesionalisme militer itu sendiri.
Selain itu, berkembangnya isu komunisme akhir-akhir ini tentu tidak lagi perlu dikhawatirkan, baik oleh militer maupun masyarakat. Sejatinya, pasca-Perang Dingin berakhir, komunisme bukan lagi menjadi ideologi yang menakutkan dan mengancam negara-negara di dunia. Setelah Uni Soviet runtuh, sebagian besar negara-negara-satelit Uni Soviet berubah ideologi dan sistem politiknya dari komunisme menuju demokrasi. Setelah 1990-an, gelombang demokratisasi nyata terjadi di hampir sebagian besar negara di dunia yang mengubah sistem politiknya dari otoritarian dan komunis menjadi sistem politik demokrasi. Hanya sedikit negara yang masih menerapkan ideologi komunisme, seperti China. Namun, sistem ekonomi yang dianut China saat ini sudah terbuka dan bahkan liberal.
Di Indonesia, komunisme juga bukan merupakan ancaman nyata. Saat ini tak ada lagi parpol di Indonesia yang ikut dalam Pemilu 2019 yang mengusung ideologi komunisme di dalam aturan dasar partainya. Bahkan, sampai saat ini, larangan komunisme yang berpijak pada ketetapan MPR masih berlaku. Jadi, bagaimana mungkin komunisme dapat dianggap sebagai ancaman nyata saat ini jika organisasinya saja tak jelas dan dilarang?
Isu komunisme yang berkembang saat ini sejatinya hanya isu yang sifatnya politis. Politisasi terhadap isu komunisme hanya menjadi komoditas politik untuk bertarung memenangi kekuasaan jelang Pemilu 2019. Politisasi isu komunisme itu juga terjadi dalam perhelatan Pemilu 2014. Politisasi terhadap isu komunisme sesungguhnya menunjukkan bahwa kualitas berpolitik kita masih rendah di mana politik digunakan dengan segala cara untuk memenangi kekuasaan dengan berbagai isu dan narasi-narasi yang negatif yang dasar pijakan empirisnya sama sekali rapuh dan tidak berdasar. Begitu pula narasi kebencian atas dasar suku, agama, dan ras juga sesuatu yang sepatutnya dihindari dalam kontestasi politik pemilu.
Sudah sepatutnya narasi-narasi politik dalam kontestasi pemilu lebih mengedepankan adu ide, gagasan, dan program-program konkret yang ditawarkan kepada masyarakat sehingga publik dapat menimbang dan menilai mana program-program yang akan dapat membawa perubahan bagi masyarakat.
Politisasi terhadap narasi-narasi yang negatif dapat menjadi pemicu konflik dan kekerasan internal sebagaimana terjadi di negara lain. Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika itu terjadi di Indonesia. Pemilu hanyalah sebatas mekanisme pergantian kekuasaan sehingga seharusnya kita lebih mengedepankan kepentingan dan keselamatan publik ketimbang merebut kekuasaan dengan berbagai cara.
Profesionalisme
Sebagai alat pertahanan negara, tentu TNI kini sudah jauh lebih profesional di dalam mengidentifikasi ancaman yang berkembang dan dapat memilah dan memilih mana ancaman yang nyata dan yang bukan. Lebih dari itu, meski ancaman keamanan nontradisional berkembang, Indonesia sesungguhnya masih menghadapi kemungkinan ancaman yang sifatnya tradisional seperti sengketa Ambalat dengan Malaysia dan konflik Laut China Selatan. Karena itu, kapasitas
militer tetap harus diletakkan dalam tugas dan fungsi utamanya, yakni untuk menghadapi perang. Militer direkrut, dididik, dilatih dan dipersenjatai dengan fungsi utama untuk menghadapi kemungkinan terjadinya ancaman militer dari negara lain. Tujuan keberadaan militer di berbagai dunia adalah untuk melawan
musuh dalam peperangan. Hal ini merupakan raison d'Être
atau prinsip utama dari peran militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar