KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Sejumlah pakar hukum yang menjadi anggota Panitia Kerja (panja) RUU KUHP dari Pemerintah mengikuti Rapat Panja RUU KUHP Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (16/1). Rapat ini membahas detail satu persatu pasal dalam RUU KUHP.

Kemacetan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP, yang kemudian berganti nama menjadi RUU Hukum Pidana, RUU HP) di DPR saat ini, antara lain, akibat perbedaan pendapat sporadis atas beberapa masalah substansial yang sudah di ujung penyelesaian. Hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa masyarakat hukum (pidana) Indonesia masih cenderung mencintai produk KUHP warisan kolonial Belanda, yang  berlaku di negeri ini sejak 1 Januari 1918, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan  UUD 1945 dan UU Nomor 1 Tahun 1946.

Pemikiran untuk melakukan rekodifikasi hukum pidana materiil nasional untuk menggantikan turunan KUHP  (Wetboek van Strafrecht) Belanda 1886, yang berlaku di Indonesia melalui asas konkordansi disertai adaptasi secara masif dan sistematis terhadap doktrin dan yurisprudensi pengadilan Belanda, mulai bergaung  tahun 1963 dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang.

Beberapa  naskah RKUHP yang selalu dimutakhirkan, bermunculan selama masa jabatan tujuh  Presiden RI, 13 Menteri Kehakiman atau Menteri Hukum dan HAM. Dalam kurun waktu tersebut di atas, tujuh guru besar hukum pidana senior dan 10 ahli yang terlibat dalam pembahasan  telah meninggal. Yang tersisa tinggal beberapa orang (lebih kurang lima orang), termasuk  penulis yang terlibat aktif sejak tahun 1984.

Sudah  dua kali naskah diajukan ke DPR, yakni semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo. Naskah RUU HP terakhir dikirim oleh pemerintah ke DPR pada 5 Juni 2018, kemudian secara maraton dibahas di Panja Komisi III secara serius dan profesional, melibatkan  anggota-anggota DPR lintas fraksi, serta unsur-unsur strategis pemerintah (Kemenkumham, Mahkamah Agung, Polri, Kejaksaan Agung,  KPK, BNN, dan sebagainya). Selain itu, juga  melibatkan   para guru besar dan ahli hukum pidana (teoretisi dan praktisi), ahli hukum lain yang relevan,  serta beberapa guru besar  hukum pidana Belanda  sebagai pembanding.

Misi rekodifikasi

RUU HP merupakan usaha rekodifikasi hukum pidana materiil,  bukan sekadar amandemen yang bersifat fragmentaris atau bersifat tambal sulam semacam kain perca. RUU HP membongkar secara  menyeluruh asas atau bangunan tiga permasalahan pokok hukum pidana: perumusan perbuatan yang dikriminalisasikan atau criminal acts; pertanggungjawaban pidana atau criminal responsibility; dan sanksi yang  diancamkan, baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).

Semua dilakukan atas dasar filosofi baru yang  berbeda dengan filosofi hukum pidana warisan kolonial, yakni  dengan  menggunakan batas-batas pembenaran (margin of qppreciations) yang mengacu pada nilai-nilai  Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia (HAM), dan asas-asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab.

Dalam  misi rekodifikasi tersebut termasuk di dalamnya sub- sub misi  dekolonialisasi, harmonisasi, aktualisasi, demokratisasi, konsolidasi, modernisasi, dan partikularisasi.

Sub-misi dekolonialisasi bermaksud untuk meniadakan aspirasi kolonial. Sub-misi harmonisasi dilakukan untuk menyesuaikan dengan berbagai konvensi internasional. Sub-misi aktualisasi bertujuan untuk menyesuaikan terhadap perkembangan teori hukum pidana baru.

Sementara sub-misi demokratisasi berhubungan dengan promosi dan perlindungan HAM. Sub-misi konsolidasi berkaitan dengan usaha pengendalian atas dasar asas-asas kodifikasi baru (Buku I) akibat  perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi  yang sangat luas, yang tidak jarang menyimpang dari asas umum  kodifikasi.

Sub-misi modernisasi bertujuan menampung perkembangan modern dalam  hukum pidana. Lalu, sub-misi partikularisasi bertujuan mengadopsi aspirasi dan perkembangan hukum pidana atas dasar nilai-nilai ideologi Pancasila, UUD 1945, dan hukum yang hidup  dalam masyarakat  Indonesia.

Beberapa perubahan mendasar

Perubahan mendasar tersebut mencakup, antara lain, mengubah  sifat hukum pidana perbuatan (Daadstrafrecht) menjadi hukum pidana yang juga berorientasi pada pelaku (Daad-daderstrafrecht)selain perhatian pada korban kejahatan (victim of crime). Selanjutnya adopsi terhadap nilai-nilai keadilan restoratif untuk melengkapi nilai keadilan retributif yang sulit dihindari, khususnya pengaturan dalam hukum pidana anak.

Kemudian  pengaturan tentang filosofi, tujuan, dan pedoman pemidanaan. Hal lain adalah perumusan tentang alternatif pidana kemerdekaan, pertanggungjawaban pidana korporasi, dan pengakuan terhadap the living law atau hukum pidana adat dengan syarat tertentu. Ketentuan tentang pidana mati bersyarat sebagai Indonesian Way,   yang merupakan  jalan tengah antara kelompok yang ingin mempertahankan pidana mati (retensionis) dan kelompok yang cenderung ingin menghapuskannya (abolisionis).

Tentu saja juga aspirasi tentang pengaturan tindak-tindak pidana  yang jadi polemik  di masyarakat, misalnya tentang delik susila—termasuk LGBT—dan penghinaan presiden yang telah dianulir Mahkamah Konstitusi.

Tindak pidana khusus

Salah satu yang krusial adalah pengaturan beberapa tindak pidana khusus (narkotika, korupsi, pelanggaran HAM berat, pencucian uang , dan terorisme), yang memiliki karakter khusus dalam RUU HP. Karakter khusus tersebut berkaitan dengan konvensi internasional, viktimisasinya yang luas, adanya pengaturan hukum acara tersendiri dan hukum materiil yang menyimpang, adanya kelembagaan penegak hukum khusus (BNN, KPK, Komnas HAM, PPATK, BNPT),  pendayagunaan teknologi canggih dalam modus operandinya, di samping kutukan masyarakat (people condemnation)  nasional dan internasional yang besar.

Pemerintah dalam diskusi internal terakhir sudah sepakat dan hal ini akan dikomunikasikan dengan DPR, untuk sama sekali tidak akan  mengadakan perubahan atas UU khusus terkait.

Melalui tulisan ini, saya mengajak masyarakat hukum pidana, baik yang  berada di lembaga-lembaga  eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun masyarakat madani, tanpa membedakan identitas  dan aspirasi politik, agar tidak melewatkan kesempatan menciptakan KUHP baru yang monumental dalam sisa-sisa periode DPR saat ini.  Menunggu pemerintahan baru dan DPR  baru sangat berisiko  karena istilah carry over  tidak lazim.