Dalam pertemuan dengan jajaran BUMN industri pertambangan awal September 2018, Menteri BUMN Rini M Soemarno berkata, "Urusan divestasi PT Freeport Indonesia harus selesai akhir September ini." Budi G Sadikin, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium, induk BUMN perusahaan industri tambang, tersenyum.
Saya menerka senyum Budi adalah usaha meringankan beban psikologis. Sebab, walau Menteri Rini menyampaikannya dengan tersenyum, tenggat penyelesaian telah ditetapkan! Jumat, 28 September 2018, Kompas memuat gambar Rini tersenyum ketika ─bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyaksikan Budi G Sadikin dan Direktur Freeport McMoran Inc, induk usaha PT Freeport Indonesia (FI), Richard Adkerson, menandatangani divestasi 51,23 persen saham perusahaan tambang terbesar dunia itu kepada Indonesia.
Sejarah, nasionalisme, dan"absennya" mekanisme pasar
Dalam tulisan sebelumnya, "Jokowi dan Divestasi Freeport" (Kompas, 5/10/2017), telah saya sebutkan bahwa Budi G Sadikin sengaja dipilih Rini memimpin PT Inalum untuk tujuan sangat khusus: membangun BUMN induk untuk industri pertambangan dan mencari dana membeli saham mayoritas PT FI. Kini, dengan penandatanganan divestasi PT FI itu, saya menafsirkan bahwa penunjukan Budi G Sadikin dan pembentukan BUMN industri tambang merupakan satu "paket" kebijakan Menteri Rini. Keperluan dana sebesar 3,85 miliar dollar AS (Rp 55,4 triliun) untuk divestasi itu tak mungkin dicapai tanpa peningkat daya pengungkit finansial (financial leverage).
Financial leverage tersebut tak mungkin dicapai tanpa penanganan seseorang yang cakap untuk tujuan itu. Maka, dari segi aksi korporasi, sementara financial leverage baru dicapai dengan pembentukan induk, upaya teknikal finansial hanya bisa dilakukan oleh orang yang "sangat" mengerti dunia itu. Dengan latar belakang seorang bankir dan mantan direktur utama Bank Mandiri, Budi G Sadikin adalah tokoh yang tepat untuk tujuan itu.
Dalam perspektif dramatik, penandatanganan divestasi, Kamis, 27 September 2018, itu seakan-akan "mengakhiri" polemik sejarah politik-ekonomi Indonesia yang dimulai pada 1949. Mengapa 1949? Sebab, dalam catatan RC De Jong dalam "West Irian Confrontation" (dimuat dalam JK Tan [ed], Sukarno's Guided Indonesia [1967]), terdapat Klausul 2 Bab "Penyerahan Kedaulatan", hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda di Den Haag pada 1949.
Klausul tersebut menyatakan bahwa status Irian Barat (kini Papua) tidak diputuskan pada saat itu "until there could be further negotiation on the status of the area" (sampai ada perundingan lanjutan atas kedudukan wilayah itu). Hasil KMB yang ─juga mengakui kepemilikan asing atas aset dan perusahaan yang diinvestasikan dan dibangun sebelum kemerdekaan Indonesia ini mengandung "bom politik". Dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, dukungan negara-negara peserta tentang hak Indonesia atas Irian Barat diteguhkan sebagai salah satu keputusannya. Pada 13 Desember tahun itu juga, Presiden Soekarno telah meneriakkan bahwa perang atas Irian, seperti dikutip Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1964), "akan dimenangkan bukan di Den Haag atau New York, melainkan di Indonesia".
Semua ini mendorong "ledakan politik" akhir 1957 dan awal 1958 ketika dukungan KAA dan pidato Presiden Soekarno itu diterjemahkan dengan sikap anti-kapitalisme oleh massa dan dilanjutkan dengan aksi konkret: nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Kita ketahui, oleh proses administratif dan legal, dengan kawalan ABRI di bawah Jenderal AH Nasution, hasil nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing itulah yang kemudian menjelma menjadi BUMN dewasa ini.
Di sini kita melihat gelombang sejarah berkelindan dengan gerak politik untuk mencapai hasil atau tingkat ekonomi nasional tertentu. Dalam arti kata lain, politik negara dalam kebijakan ekonomi distrukturkan oleh semangat nasionalisme semata. "Amarah" kaum nasionalis ekonomi Indonesia atas kontrol ketat aktor-aktor asing dalam usaha pertambangan beberapa tahun setelah kemerdekaan telah mendorong seorang Aceh, Teuku Hasan, membuat mosi apa yang disebut Ralph Anspach—dalam Underdevelopment and Economic Nationalism in Southeast Asia (1969)—sebagai "Teuku Hasan Motion".
Mosi yang dikukuhkan parlemen pada 2 Agustus 1951 ini menitahkan pemerintah membentuk Komisi Negara tentang Bidang Pertambangan guna menyusun draf undang-undang (UU) pertambangan Indonesia berdasarkan, tulis Anspach, the principle of a national economy (prinsip ekonomi nasional). Sementara proses penyusunan draf UU tersebut berlangsung, mosi Teuku Hasan ini meminta penundaan pemberian konsesi pertambangan kepada pihak asing.
Seperti yang kita lihat, sejarah, politik, dan derap kebijakan ekonomi yang distrukturkan nasionalisme ekonomi pasca- KMB ini relatif mengabaikan mekanisme pasar, yaitu sebuah impersonal rule of the game (aturan perilaku bersifat umum) dalam pengalokasian sumber-sumber daya produktif. Sesuai dengan sifatnya, pasar mengakomodasikan partisipan dalam pengalokasian sumber daya produktif tanpa pilih bulu, agama, etnis, dan bangsa.
Secara teoretis, kemenangan seseorang di dalam mekanisme impersonal rule of the game ini ditentukan sikap inovatif, keterampilan teknologis dan, sebagai akibatnya, efisiensi. Kemajuan perekonomian sebuah bangsa, dengan demikian, harus diraih dengan kemampuan teknikal sesuai dengan mekanisme pasar. Maka, pengabaian mekanisme pasar dalam proses penguasaan aset niscaya mengandung risiko tersendiri. Walaupun benar tujuan penguasaan sumber daya ekonomi tercapai sepanjang percaturan kekuasaan politik-ekonomi setelah 1949 itu, efek politik yang diakibatkannya bersifat "destruktif".
Ini terutama karena dua hal. Pertama, karena gelora politik-ideologis lebih dominan memengaruhi jagat pikiran publik. Kedua, karena aset atau kekayaan yang telah dimiliki melalui jalan "non-pasar" itu tak dikelola sesuai dengan mekanisme pasar. Sementara akibat yang pertama membuat Indonesia terisolasi dari dunia modal, yang kedua mengakibatkan kekayaan menjadi tak produktif.
Tokoh-tokoh "Jokowinomics" dan nasionalisme ekonomi "pasar"
Perkembangan kedua hal itu dapat dimaklumi, terutama karena absennya, pada waktu itu, kemampuan teknikal di kalangan Indonesia yang mengakrabi mekanisme pasar global ─sebagaimana yang dirumuskan di atas.
Maka, "bom politik" hasil KMB itu berlanjut hingga beberapa saat lalu. Meski benar bahwa sejak tahun 1969 Irian Barat telah "kembali" ke pangkuan Ibu Pertiwi, kekuasaan hampir mutlak PT Freeport atas hasil tambang yang dikelolanya secara kontinu menjadi polemik politik.
Tanpa ada rumusan resmi tentang apa yang sebenarnya terjadi, dengan perlindungan aktor-aktor kapital raksasa Amerika, ada kesan bahwa PT Freeport secara tidak langsung telah menjadi "tandingan" negara. Jika pada masa Orde Baru (1967-1998) korporasi tambang raksasa ini mampu memobilisasikan ABRI untuk memproteksinya dari gangguan keamanan, rezim-rezim di masa Reformasi tak pernah sepenuhnya bisa menciptakan regulasi yang membuatnya tunduk.
Dalam arti kata lain, PT Freeport adalah entitas "merdeka" di wilayah kedaulatan Indonesia. Situasi inilah menjelaskan mengapa polemik politik menjadi dominan dalam eksistensi PT Freeport.
Hemat saya, dalam perspektif inilah peristiwa penandatanganan pengalihan 51,23 persen saham PT FI pada Kamis, 27 September 2018, tersebut harus kita lihat, yaitu pengakhiran polemik politik dengan menegakkan kedaulatan ekonomi atas sumber daya alam Indonesia. Ketika peristiwa ini berlangsung, "Jokowinomics", yaitu pandangan dan rancangan serta program ekonomi Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi), telah berumur empat tahun.
Berbeda dengan narasi politik-ekonomi produk KMB yang absen dari mekanisme pasar, narasi "Jokowinomics" telah diperkuat tokoh-tokoh yang mampu mengakrabi mekanisme the impersonal global market rule of the game (aturan umum pasar global) itu.
Sosok-sosok seperti Ignasius Jonan, Sri Mulyani Indrawati, Rini M Soemarno, Budi G Sadikin, dan Deputi Menteri Badan Usaha Milik Negara Bidang Pertambangan Harry Fajar Sampurno bukanlah reproduksi pasca-KMB, melainkan generasi baru Indonesia yang jauh lebih mengakrabi dan menguasai mekanisme kerja pasar global daripada sekadar permainan politik. Mereka inilah yang memberikan bobot teknikal-profesional terhadap "Jokowinomics".
Maka, tanpa mengerahkan energi politik, semua tokoh di atas memberi isi pelaksanaan semangat nasionalisme "Jokowinomics" dalam proses divestasi PT Freeport Indonesia itu dengan jalan "pasar", yaitu mengikuti logika pasar yang bisa diterima aktor-aktor ekonomi global.
Dengan demikian, sementara kedaulatan ekonomi mampu ditegakkan, efek destruktif politik (seperti pengisolasian dari dunia) bisa dihindari. Pada tingkat domestik, polemik politik pasca-KMB pun bisa diakhiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar