AP PHOTO/US NAVY/PETTY OFFICER 2ND CLASS DIANA QUINLAN

Dalam foto tanggal 13 Oktober 2016 yang dirilis Angkatan Laut Amerika Serikat ini, kapal perusak USS Decatur tampak sedang beroperasi di Laut China Selatan, sebagai bagian dari Grup Serangan Ekspedisi Bonhomme Richard. Armada Pasifik AS, Selasa (2/10/2018), menyebut, kapal perusak China bermanuver sangat dekat dengan kapal AS sehingga kapal itu harus berupaya untuk menghindari tabrakan.

Ketegangan hubungan China dan Amerika Serikat bertambah. Kapal perang milik kedua negara beradu manuver yang saling berdekatan di Laut China Selatan.

Insiden tersebut menegaskan bahwa persaingan AS dan China di kawasan Indo-Pasifik, yang di dalamnya meliputi Laut China Selatan, terus menajam. Adu pengaruh kedua negara di kawasan Indo-Pasifik, yang membentang dari Samudra Pasifik hingga Afrika, tidak bisa tidak merupakan kenyataan yang harus diperhitungkan oleh negara-negara di kawasan tersebut.

Bagi AS, prinsip kebebasan navigasi harus berlaku di Laut China Selatan. Komando Indo-Pasifik AS secara rutin mengerahkan patroli udara ataupun perairan ke wilayah Laut China Selatan untuk memastikan kebebasan navigasi tidak terganggu. Sebaliknya, bagi China, kedatangan kapal dan pesawat militer AS di pulau-pulau yang diklaim Beijing di Laut China Selatan merupakan pelanggaran kedaulatan. Tak ada pilihan selain memperingatkan dan mengusir kapal serta pesawat militer AS agar menjauh dari wilayah yang diklaim oleh Beijing.

Situasi ini tidak jelas akan berakhir kapan. Selama Beijing terus mengklaim Laut China Selatan sebagai teritorialnya berdasarkan sembilan garis putus-putus, ketegangan serta insiden yang terjadi antara kapal perusak USS Decatur dan Luyang pada Minggu (30/9/2018) akan terulang pada masa mendatang.

Laut China Selatan sangat penting. Kapal barang dalam jumlah sangat besar serta pasokan gas dan minyak melintasinya secara rutin. Suplai energi dari Timur Tengah menuju China dan kawasan Asia Timur harus melewati perairan ini. Mengingat makna strategis Laut China Selatan, Beijing dan Washington terus berupaya menghadirkan kekuatan militer di perairan itu. AS datang atas prinsip kebebasan navigasi perairan internasional, sedangkan China hadir lewat penempatan infrastruktur militer di pulau buatan bagi keamanan teritorial.

Klaim kedaulatan China di perairan Laut China Selatan bertumpang tindih dengan klaim empat negara ASEAN: Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia. China telah mengabaikan putusan peradilan internasional dalam kasus sengketa dengan Filipina. Di Vietnam, sentimen anti-China dilaporkan cukup kuat sebagai dampak dari sengketa kedua negara.

Menguatnya kehadiran China di Laut China Selatan merupakan konsekuensi dari perkembangan dahsyat negara itu setelah berpuluh-puluh tahun membangun. Kekuatan ekonomi dan militer China kini sangat besar. Tak hanya di Laut China Selatan, persaingan AS dengan China juga terjadi di bidang perdagangan dan teknologi. Perang dagang kedua negara terjadi lewat pemberlakuan tarif. Di bidang teknologi, China mati-matian berusaha menjadi negara penghasil semikonduktor agar tidak lagi bergantung pada cip buatan perusahaan AS.