Awal Oktober lalu, sebuah aplikasi bernama Instagram genap berusia sewindu. Usia yang untuk ukuran sebuah media sangatlah muda, tetapi ini adalah aplikasi yang memang berkembang dengan pesat. Tanggal 6 Oktober 2010, aplikasi ini diluncurkan Kevin Systrom  dan  Mike Krieger  (Burbn, Inc).

Tiga tahun setelah Instagram diluncurkan, jumlah penggunanya masih baru 90 juta orang sedunia. Namun, belakangan ini, Instagram menjadi makin populer dan, menurut statista.com, jumlah pengguna Instagram pada Juni 2018 sudah mencapai 1 miliar orang di dunia. Sebagai gambaran saja, pengguna Facebook saat ini di dunia sudah 2,23 miliar orang.

Di dunia, Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai pengguna terbesar Instagram. Peringkat pertama diduduki Amerika Serikat dengan jumlah pengguna 121 juta orang, kemudian India dengan 71 juta pengguna, Brasil di peringkat ketiga dengan 64 juta orang, dan jumlah pengguna Instagram di Indonesia mencapai 59 juta orang (statista.com).

Apabila Anda berselancar di platform bernama Instagram ini, Anda pasti akan punya gambaran tertentu terhadap dunia di sekitar Anda ataupun dunia yang ditampilkan teman-teman Anda: makanan enak, baju bagus, pemandangan indah di sejumlah tempat—baik di dalam maupun luar negeri—momen indah yang terekam, dan aneka permainan cahaya yang memanfaatkan fitur- fitur yang ada dalam Instagram tersebut.

Dunia begitu tersenyum. Dunia begitu nyaman. Ada kesenangan, terkadang kemewahan, dan paling penting adalah keindahan. Jika mau diringkaskan, dunia ala Instagram atau kenyataan yang hendak disodorkan dari mereka para pengguna Instagram adalah: makan enak, bepergian ke tempat unik (dalam dan luar negeri), berfoto dengan teman atau keluarga, berfoto dengan idola—apakah dia itu penyanyi, politisi, selebritas—dan aneka kebahagiaan lainnya. Sungguh dunia yang indah bukan?

Instagram adalah aplikasi yang ditemukan pada tahun 2010 oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger. Awalnya, aplikasi ini pada gawai Iphone, dan pada tahun 2012 Instagram sudah bisa diakses lewat program Android. Dalam jangka satu bulan sejak didirikan, Instagram memiliki 1 juta pengguna, dan pertengahan tahun 2018 jumlah pengguna Instagram di seluruh dunia lebih dari setengah miliar orang.

Delapan puluh persen pengguna Instagram berasal dari luar Amerika. Dalam masa satu windu ini tercatat tak kurang dari 40 miliar foto dan video telah dibagikan lewat Instagram ini. Tercatat ada 4,2 miliar tombol "like" (yang diwakili gambar hati) yang ditekan per hari.

Modal awal pendirian perusahaan ini "hanya" bernilai Rp 7 miliar (500.000 dollar AS), dan pada tahun 2012—saat diakuisisi Facebook—nilai Instagram adalah Rp 14 triliun (1 miliar dollar AS). Kini Instagram menjadi pesaing besar dua aplikasi media sosial lainnya: Facebook dan Youtube.

Sisi lain Instagram

Dalam kenyataannya, dunia tak seindah gambar-gambar di Instagram. Dunia tidak sesempurna pengaturan cahaya yang mungkin dilakukan lewat fitur-fitur di Instagram. Dunia dalam kenyataannya tak semudah kita memberi lambang hati kepada foto yang dipasang teman-teman kita.

Kini Instagram pun banyak dimanfaatkan penggunanya untuk berbagi informasi. Fitur teks dan video yang melekat di dalamnya memudahkan orang yang ingin mengabarkan tentang sesuatu hal.

Ada sejumlah akun dalam Instagram yang kini berupaya hendak menjadi jurnalis warga (citizen journalist), yang tak lagi membutuhkan media massa konvensional untuk menjadi kanal penayangannya. Tinggal disebar di Instagram, nanti kita akan melihat bahwa konten yang menjadi viral. Terkadang sejumlah konten ini pun dimanfaatkan media massa konvensional untuk diterbitkan kembali.

Dalam tayangan para jurnalis warga ini, realitas yang hendak ditayangkan pun sangat beragam. Ada yang melaporkan soal lalu lintas, ada yang menayangkan rekaman dari kamera pemantau (CCTV) soal berbagai kejadian kriminal, ada pula yang menampilkan pelbagai drama kehidupan sehari-hari.

Kita pun tahu ada akun tertentu yang sangat terkenal khusus untuk menampilkan aneka gosip terbaru tentang seorang artis atau aktor yang sedang menjadi sorotan media. Akun ini bahkan menjadi tamu istimewa di sebuah tayangan infotainment di televisi setiap pagi hari.

Di sini kita berhadapan dengan konten Instagram yang tak selalu menunjukkan keindahan dunia. Kita sering melihat konten apa pun dalam Instagram memudahkan orang menaruh komentar di bawahnya.

Ada komentar positif, tetapi tidak kurang komentar yang
isinya negatif. Dalam beberapa hal, terkadang komentar-komentar tersebut jauh lebih seru daripada unggahan (posting) awalnya.

Dunia yang (hanya) memperhatikan diri sendiri?

Seorang kawan (Suwandi Ahmad) pernah menuturkan bahwa pada dasarnya media sosial adalah ajang untuk narsis. Tinggal masalahnya seberapa tingkat narsis yang ditunjukkan masing- masing pemilik media sosial itu pada jaringannya? Ada yang pada tingkat biasa-biasa saja, ada pula yang sampai pada tingkat norak.

Dunia yang ditampilkan dalam Instagram memang sangat berfokus pada diri sendiri, dan dalam hati memohon dengan sangat untuk semakin banyak orang yang memberi lambang hati, atau syukur-syukur ikut berkomentar. Terkadang kita pun tergoda untuk menghitung: berapa banyak yang memberi "hati".

Dunia yang hanya melihat pada diri sendiri (inward looking) itulah yang memang ditampilkan dalam Instagram. Secara umum, mungkin inilah karakter khas dari media sosial yang kita kenal saat ini: di satu sisi ia memberikan semacam demokratisasi atau ruang partisipasi yang demikian luas kepada mereka yang memanfaatkannya, tetapi pada sisi yang lain kita lalu mengabaikan hal lain yang lebih bernilai publik.

Banyak hal yang cukup menghebohkan di Instagram. Misalnya, beberapa waktu lalu sempat ada fenomena "pelakor" (perebut lelaki orang) yang kemudian digambarkan bagaimana penyerangan dilakukan pada perempuan yang dianggap berselingkuh dengan suami seseorang. Foto aksi penyerangan direkam, baik oleh yang berkepentingan langsung maupun pun para netizen yang berada di sekitar lokasi.

Ada juga akun-akun Instagram yang isinya hanya memuat ulang posting dari akun lain yang umumnya menggambarkan kekerasan di sekitar kita: tawuran siswa, massa yang menghakimi copet, pencuri motor, konflik antara pengemudi ojek berbasis aplikasi (daring) dan ojek pangkalan. Kekerasan yang demikian terbuka ditampilkan, dan jarang ada yang memberikan sensor ataupun peringatan atas kekerasan yang eksplisit dalam video tersebut.

Lardellier, seperti yang dikutip Haryatmoko (2007, p.119), mengatakan bahwa kekerasan bisa didefinisikan sebagai prinsip tindak yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam berbagai bentuknya: fisik, verbal, moral, psikologis, atau melalui gambar (Haryatmoko 2007, p.119-120).

Dalam rumusan itu, maka Instagram pun berpotensi menyebarluaskan kekerasan, yang artinya mengumbar dominasi kelompok atau aktor tertentu kepada pihak lain. Untuk itu, kekerasan yang terpublikasi mencerminkan adanya kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa adanya persetujuan dari pihak yang menjadi korban.

Butuh etika khusus?

Akhir Juni lalu The Economist menurunkan laporan khususnya yang mereka beri judul "Fixing the Internet" (The Economist, 30 Juni 2018). Inti laporan itu merepresentasikan kegelisahan majalah itu dan sejumlah tokoh yang dulu mendirikan dan mengembangkan internet pertama kali.

The Economist mewawancarai sejumlah tokoh, seperti Sir Tim Berners-Lee, penemu world wide web (www), yang juga adalah dosen di Christ Church College, Oxford. Tim Berners-Lee berpendapat bahwa internet telah gagal, tak gagal sepenuhnya, tetapi internet telah gagal menyampaikan hal yang berguna untuk masyarakat yang positif dan konstruktif yang tadinya kami harapkan.

Internet sekarang sudah menjadi sedemikian terpusat dibandingkan kondisi 10 tahun lalu. Demikian Economist menyimpulkan kondisi ini, dan pendapatnya didukung Niall Ferguson, sejarawan yang juga menulis buku The Square and The Tower.Ia berpendapat bahwa internet telah disusupi hierarki baru yang terbentuk dari kekuasaan sejumlah perusahaan raksasa. Ini fenomena yang bukan saja terjadi di negara Barat, melainkan juga di China.

Dari sisi etika, kini makin banyak orang bertanya: apakah dibutuhkan etika baru dalam dunia digital saat ini? Esensi yang terkait dengan masalah penyebaran informasi masih terkait dengan etika soal kebenaran informasi, keberimbangan informasi, pengecekan kembali informasi, dan sebagainya.

Namun ranah media sosial yang sering mengacak-acak dunia informasi membuat kita banyak bertanya, di mana batas privasi, bagaimana mengatur soal ujaran kebencian, bagaimana membuat hal memalukan di masa lalu bisa dihapus (the right to be forgotten), dan lain sebagainya.