Setelah nyaris hilangnya ruang fisik khilafah di Suriah dan Irak, kekhilafahan kini muncul dalam dunia maya.

Selama 18 bulan  pemantauan dan pengarsipan propaganda penjihad oleh Chelsea Daymon dan  Mia Bloom—keduanya peneliti terorisme di Georgia State University, AS—ditemukan bahwa media Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)  menghasilkan rata-rata 40 propaganda per hari, sekitar sepertiga darinya adalah pesan positif. Temuan ini berbeda dengan  persepsi selama ini bahwa semua propaganda NIIS itu penuh kekerasan, keji, dan mengerikan. Persepsi yang salah ini ternyata menghinggapi banyak orang.

Bahkan, Chelsea Daymon dan  Mia Bloom (2018: 23) mengingatkan masyarakat domestik dan internasional bahwa banyak dari propaganda positif ini dimaksudkan untuk menarik kaum profesional berpendidikan tinggi yang tinggal di negara-negara Barat untuk bergabung dengan NIIS, sementara jenis pesan NIIS yang lain mampu menarik khalayak dari berbagai latar belakang yang berbeda menuju sebuah kampung virtual baru, kekhalifahan virtual (virtual caliphate).

Jadi,  NIIS tidak mempropagandakan pesan tunggal dan terpadu. NIIS justru menerbitkan berbagai pesan bagi siapa pun dari lapisan dan kelas mana pun sehingga memungkinkan siapa pun yang berminat mencari materi tentang NIIS dapat dan akan menemukan sesuatu, yang secara pribadi boleh jadi menarik.

Propaganda NIIS di Telegram dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori umum: (1) pembangunan negara dan usia negara yang panjang, (2) pencitraan,  (3) ikatan sosial,  (4) kesiapan berkorban, dan (5) pembalasan, yang dengan cara sedemikian rupa, mampu memikat banyak orang bergabung sebagai penjihad (Orbis, Summer 2018).

Propaganda NIIS

Pada awalnya, sebagian besar propaganda NIIS terfokus pada "pembangunan'' negara Islam, secara fisik ataupun kiasan, dengan menawarkan negara supranasional ''Khilafah" sebagai legitimasi dan alasan moral untuk tindakan dan eksistensinya. Proyeksi bangunan negara Islam dimaksudkan untuk menciptakan opsi menarik bagi calon imigran yang siap bergabung ke NIIS, tetapi juga sebagai upaya transisi NIIS dari gerakan pemberontak menuju negara Islam yang khas ala mereka. Propaganda pembangunan negara oleh NIIS dilakukan dengan cara menunjukkan kepada para sasaran dan audiensnya mengenai segala sesuatunya: dari pembangunan bendungan, penggalian sumur, infrastruktur, elektrifikasi desa di bawah kendali NIIS, dan inokulasi anak- anak di rumah sakit NIIS.

Meskipun baru-baru ini NIIS kehilangan wilayah sangat besar dan kehilangan 80 persen basis pendapatannya, 30 saluran NIIS resmi dan semiresmi serta ruang obrolan mereka masih menekankan umur panjang  dan kekuatan NIIS ke depan. Ketimbang fokus pada kerugian di medan perang, propaganda NIIS lebih menekankan ketahanan negaranya dan kekuatan pasukan, sementara branding NIIS disiarkan menggunakan ikonografi, seperti hadiah bendera, stiker, dan meme.

Pencitraan mereka ini memberikan ikon yang dapat dikenalkan ke berbagai kelompok yang tertarik ataupun yang belum terpikat pada NIIS seraya  mempromosikan identitas bersama dan  ikatan sosial di antara mereka. Ikatan sosial adalah elemen kunci dari platform NIIS yang relatif menarik masyarakat internasional. Melalui kelompok dan jaringan, NIIS melakukan langkah eksploitasi, polarisasi, dan penerapan ideologi dominan, yang mana kelompok-kelompok simpatisan dan pendukungnya  memupuk nilai-nilai bersama dan memperluasnya sampai menjangkau individu yang rentan agar ada perasaan memiliki atas kekhalifahan yang hendak mereka bangun dan bina.

Medsos teknologi baru

Elite NIIS menyadari penggunaan media sosial, internet, dan teknologi baru beserta risikonya tak boleh dikesampingkan, terutama mengingat platform terenkripsi menjadi sarana utama untuk radikalisasi, perekrutan, dan perencanaan. Seperti dikatakan Lucas Kello dari Oxford University, dalam ranah maya, operasi strategis yang vital bisa "diselimuti kerahasiaan", menyebabkan kesulitan bagi penelitian ilmiah, aparat keamanan, operator  pertahanan, dan pembuat kebijakan untuk melacaknya.

Elite dan pimpinan NIIS paham bahwa individu membentuk persepsi mereka tentang diri berdasarkan identifikasi dengan kelompok, nilai-nilai inti kelompok, dan emosi mereka. Akibatnya, kehadiran berkelanjutan dalam lingkungan daring dapat mendorong pandangan politik dan agama yang ekstrem, kekerasan berlebihan, dan persaingan di luar kelompok. Bahkan, NIIS juga menciptakan ruang gema (spatial echo) untuk radikalisasi.

Di antara situs media sosial dan internet, aplikasi Telegram makin diminati sebagai platform pilihan untuk kegiatan klandestin kelompok teroris seperti NIIS dan pendukungnya. Keunikan Telegram dalam hal privasi dan sekuriti membuatnya berhasil merengkuh hingga 100 juta pengguna pada 2016.

Telegram sudah biasa dipakai teroris NIIS untuk merekrut dan mengoordinasikan serangan, termasuk  di Brussels, Belgia, 2017. Telegram, antara lain, juga digunakan untuk berkomunikasi oleh pelaku serangan di Paris pada 2015, serangan malam Tahun Baru 2017 di Turki, dan serangan di St Petersburg pada April 2017. Di Indonesia, sejumlah tersangka terorisme yang ditangkap pada Desember 2016 mengaku belajar membuat bom dengan mengikuti arahan lewat Telegram.

Elite NIIS paham Telegram tak bisa dilacak setelah aksi serangan. Dalam hal ini, penggunaan dari pesan terenkripsi peer-to- peer oleh NIIS tak menunjukkan tanda-tanda penurunan meskipun ada prakiraan dini bahwa kelompok NIIS sedang dalam pergolakan terakhirnya. Sebagai media sosial, NIIS paham bahwa platform, seperti Twitter dan Facebook, secara progresif telah diawasi dengan pemantauan dan penghapusan akun yang agresif. Alhasil, Telegram tetap menjadi prioritas utama NIIS menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru.

Para peneliti  AS/Barat kini  tengah menyelidiki bagaimana Telegram digunakan NIIS dan pendukungnya serta menilai jenis ancaman apa dari  penggunaan Telegram di masa depan tatkala  NIIS bertransisi menjadi "Kekhalifahan Virtual". Bangsa Indonesia harus tetap waspada dan antisipatif sebab meski NIIS berubah menjadi "Kekhalifahan Virtual", sejauh ini  aktivitas NIIS ternyata tetap membara dengan militansi politis-ideologisnya meski mereka makin tersudut dan kehilangan banyak wilayah.