KOMPAS/PRIYOMBODO

Ilustrasi _ Petugas memeriksa dollar AS di tempat penukaran valuta asing PT Ayu Masagung, Jakarta Pusat, Jumat (9/11/2018).

Akhirnya, rupiah pun menikmati hari-hari terbaiknya belakangan ini. Dalam satu bulan terakhir, rupiah menguat dari Rp 15.200 per dollar AS menjadi Rp 14.252 per dollar AS (menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate 3/12/2018). Pertanyaannya, apakah penguatan rupiah ini bersifat permanen hingga tahun depan, atau fenomena sesaat yang masih rawan terkoreksi? Pada titik ekuilibrium berapakah rupiah kelak akan permanen dan stabil?

Faktor eksternal yang paling menonjol di balik penguatan rupiah adalah bekerjanya tiga faktor. Pertama, berlanjutnya penurunan harga minyak dunia yang berakibat berkurangnya tekanan terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia, dari sisi inflasi dan subsidi. Kedua, kian kuatnya indikasi perekonomian AS mulai normal, yakni inflasi yang sudah "jinak" sehingga kenaikan suku bunga acuan tidak perlu agresif. Ketiga, kesepakatan "gencatan senjata" perang dagang antara Amerika Serikat dan China dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Buenos Aires, Argentina.

Faktor pertama adalah soal harga minyak dunia yang kini turun ke 60 dollar AS per barel (Brent) dan 50 dollar AS per barel (WTI). Mengapa? Penjelasannya amat sederhana. Ketika harga minyak dunia mencapai titik tertinggi, 85 dollar AS per dollar (Oktober 2018), maka dua produsen terbesar dunia, Arab Saudi dan Rusia, tergoda untuk menaikkan produksinya. Masing-masing berproduksi di atas 11 juta barel per hari yang merupakan rekor baru. Satu produsen terbesar lainnya, Amerika Serikat, sudah lebih dulu menggenjot produksi di atas 11 juta barel per hari. Produksi shale oil di AS memang sedang terus memuncak.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

A. Tony Prasetiantono

Presiden AS Donald Trump sering menyampaikan, bahwa dia ingin harga minyak yang rendah, 60 dollar AS per barel, agar dapat menstimulus perekonomian. Di sisi lain, Arab Saudi menginginkan harga minyak tinggi, 80 dollar AS per barel, agar menolong neraca perdagangan dan cadangan devisanya. Saat ini cadangan devisa Arab Saudi tergerus menjadi 500 miliar dollar AS, dari posisi tertingginya 800 miliar dollar AS.

Dunia kini kelebihan pasokan minyak. Produsen terlalu agresif menggenjot pasokan demi mengejar kinerja perekonomian negaranya. Namun, di sisi lain permintaan minyak justru tertekan turun karena perekonomian dunia masih lesu. IMF bahkan mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen.

Jika harga minyak dunia mau naik, para produsen harus bersedia memotong produksinya, sekitar 2 juta barel per hari. Tugas ini hanya bisa dilakukan Arab Saudi dan Rusia, karena AS sudah jelas tidak mau. Pertemuan OPEC pada 6 Desember 2018 di Vienna, Austria, kalaupun sepakat memangkas produksi, maksimal hanya 1 juta barel. Jadi masih perlu 1 juta barel lagi, yaitu dari Rusia yang bukan anggota OPEC. Maukah Rusia? Rasanya sulit. Jadi, yang paling realistis adalah menahan harga minyak agar tidak turun lebih jauh, bukannya berharap kembali naik.

Faktor kedua adalah suku bunga AS. Data terbaru inflasi AS adalah 2,5 persen (Oktober) dan 2,3 persen (September). Dengan inflasi yang kian menuju ideal 2 persen ini, tugas The Fed untuk menaikkan suku bunganya menunjukkan tanda-tanda bakal segera berakhir. Semula Ketua The Fed, Jerome Powell, mencanangkan suku bunga normal baru AS adalah 3,25 persen, karena waktu itu inflasi 2,9 persen. Namun dengan inflasi sekarang bisa ditekan menjadi 2,3-2,5 persen, suku bunga acuan yang diperlukan hanya maksimal 2,75 persen. Saat ini suku bunga acuan 2,25 persen, sehingga tinggal perlu 1-2 kali lagi menaikkan suku bunga acuan lagi agar menuju ekuilibirum normal yang baru.

Ini berita bagus bagi rupiah dan Bank Indonesia. Dengan suku bunga acuan saat ini 6 persen, BI paling-paling hanya perlu menaikkan suku bunga sekali lagi ke depannya. Itu pun belum tentu juga, tergantung perkembangan terakhir. Investor asing kini tengah melihat Indonesia sebagai lahan investasi yang menarik, sebagaimana tercermin dari IHSG yang mencapai 6.136 (3/12/2018). Bila tren ini bisa dipertahankan, ditambah cadangan devisa yang saya perkirakan terus naik jadi 116 miliar dollar AS, maka suku bunga acuan BI tidak perlu naik.

Faktor ketiga adalah tentang meredanya perang dagang AS-China. Dalam 90 hari ke depan, kedua negara akan kembali berunding. Dengan demikian, AS akan menunda menaikkan tarif dari 10 persen menjadi 25 persen terhadap barang-barang China senilai USD 200 miliar yang semula akan diberlakukan mulai 1 Januari 2019. AS juga menandatangani perjanjian NAFTA yang baru, bersama Kanada dan Meksiko. Artinya, AS mengakui kembali skema perdagangan bebas tersebut, sesudah menggelorakan proteksionisme yang sesungguhnya kontra-produktif.

Semua dinamika eksternal itu bermuara pada menguatnya rupiah secara signifikan, bahkan terkuat di Asia. Rupiah agaknya sedang bergerak ke ekuilibrium baru, yang lebih "normal". Tempo hari, tatkala mencapai Rp 15.200 per dollar AS, level itu diyakini terlalu rendah (undervalued). Lalu, berapa kurs rupiah seharusnya bertengger?

Tidak mudah menentukan kurs rupiah yang ideal, karena tidak hanya ditentukan oleh faktor fundamental yang kuantitatif (inflasi, neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan, aliran modal masuk, cadangan devisa). Masih ada faktor kualitatif yang berperan, yakni sentimen dan psikologi. Jika iklim politik bisa dijaga dengan baik hingga pemilu 17 April 2019, rupiah akan kembali ke level normal, sangat boleh jadi pada level Rp 13.000-an per dollar AS.