Dalam sejarah republik ini, penegakan hukum telah ikut dalam logika lahir dan berkembangnya negeri ini. Awal negara terbentuk, hukum lebih banyak tegak bukan oleh sistem yang rapi, melainkan oleh sosok-sosok pembaru yang beritikad menegakkan hukum.
Kita tentu paham dengan baik, di awal negara terbentuk belum terpikir untuk membangun sistem dengan mapan. Yang ada adalah lintasan pemikiran untuk memiliki mekanisme berkaitan dengan penegakan hukum.
Mulai dari UUD 1945 hingga pelbagai aturan perundang-undangan mengalami pergantian dan upaya perbaikan. Namun, lahir orang-orang tertentu yang menegakkan hukum dengan semangat dan etika. Namanya tentu saja sudah terpatri dalam lintasan sejarah penegakan hukum kita.
Kini, seharusnya semua sudah berubah. Membangun sistem adalah kewajiban yang mustahil hanya mengandalkan orang semata. Kita sudah merdeka lebih dari 73 tahun. Dihitung dari era Reformasi pun kini sudah berselang lebih dari 20 tahun. Substansi hukum kita tentu mengalami perbaikan.
Namun, jika dihitung hingga kualitas penegakan hukumnya, belum menunjukkan harapan yang dibayangkan. Tentu banyak problem, yang tak sesederhana tulisan di ruang yang terbatas ini. Akan tetapi, setidaknya ada beberapa indikasi yang kelihatannya menjadi pemicu dari kondisi itu.
Beberapa indikasi
Pertama, kita senang bermain pada konsep, tetapi rajin meninggalkannya. Terkadang dengan alasan mau membangun sistem kita sendiri, tetapi yang terjadi adalah bangunan lucu yang tercipta dengan mengangkangi konsep yang dicita-citakan. Semisal perihal penguatan sistem presidensial.
Pengakuan itu hanya di angan-angan ketika dihadapkan pada sistem yang terbangun. Fajrul Falakh (2003) menjulukinya sebagai "parlementarisme lewat pintu belakang". Saldi Isra (2006) menuliskan dengan istilah "parliamentarism heavy".
Walau dengan kondisi aneh tersebut, kita tetap senang-senang saja dan menganggap itu bukan masalah. Bahkan, usulan menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) akan membawa kita melangkah semakin jauh memasuki konsep parlementarisme.
Lebih mengherankan, baik presiden maupun DPR kelihatannya tidak ada masalah dengan ide menghidupkan GBHN ini. Padahal, presiden-lah yang pertama-tama akan tergerus kewenangannya sebagaimana layaknya dalam sistem presidensial.
Sederhananya, jika GBHN hidup, bagaimana pertanggungjawaban presiden atas pelaksanaan GBHN? Apabila kembali presiden bertanggung jawab ke parlemen (DPR dan DPD atau sebagai MPR), selamat datang konsepsi parlementarisme. Bukan karena tak boleh ada parlementarisme, tetapi seyogianya ubahlah kesepakatan dasar dahulu tatkala beritikad untuk penguatan presidensialisme.
Perihal ini bukan hanya masalah sistem presidensialisme dan parlementarisme semata, tetapi masuk hingga semua hal yang berkaitan dengan itu. Semisal bagaimana presiden dikontrol dalam melaksanakan kebijakan dan bagaimana konsep pengawasan. Pelizzo dan Stapenhurst (2014) menggambarkan betapa tak lazimnya negara dengan sistem presidensial lebih kuat pengawasannya daripada sistem parlementer.
Indonesia menunjukkan itu. Begitu pun dalam legislasi, Saldi Isra (2008) menuliskan tentang praktik legislasi yang lebih dekat dengan model parlementer dibandingkan presidensial.
Kedua, kita gemar membangun kelembagaan yang kemudian diberi fungsi jauh dari harapan dan bayangan kelembagaan tersebut. Lihatlah kondisi compang-camping Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD dihadirkan sebagai pengganti utusan daerah dan merupakan representasi ruang, pengimbang representasi politik melalui DPR.
DPD merupakan representasi ruang. Titik! Namun, kehadiran DPD jadi seakan tak diharapkan. Nyaris jadi "pengangguran terselubung". Bukan salah DPD, tetapi konstruksi Pasal 22D UUD 1945 yang melenceng cukup jauh dari sejatinya pembagian dua kamar parlemen. "Odd combination betwen high legitimacy and very low authority" dalam bahasa Sthepen Sherlock (2008).
Dan, konstruksi Pasal 22D yang sudah "kecil" itu semakin dikerdilkan di UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPD, DPR—saat ini UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD)—yang makna pembahasan pada rancangan UU tertentu pun hanya dibatasi hingga tahapan tertentu yang menuju ke persetujuan UU. Selebihnya perannya adalah "rekomendasi", yang boleh ada dan boleh tidak, serta diperlakukan sebagai masukan semata—mau diikuti atau tidak sama sekali tidak jadi masalah.
Tak berhenti di situ, kehadirannya pun semakin dibonsai oleh tindakan membiarkan parpol memasuki ruang DPD. Untung Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan yang meluruskan logika itu. Namun, kita tahu, hal itu masih dilawan—lebih mengherankan—oleh anggota DPD sendiri.
Soal membangun kelembagaan ini juga tidak hanya di DPD. Cobalah hitung berapa banyak lembaga yang kita bangun, tetapi tak kunjung kita rapikan secara kelembagaan. Banyak, bahkan yang dibiarkan tumpang-tindih. Semisal, di wilayah kelautan kita biarkan begitu banyak lembaga yang ada di sana sehingga menjadi tumpang-tindih dan tidak terkoordinasi, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Angkatan Laut, Bakamla, dan polisi air.
Pemberantasan korupsi setali tiga uang. Kita biarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian dan kejaksaan bertarung di wilayah yang sama dalam penyidikan kasus korupsi. Alih-alih mendapatkan koordinasi dan penguatan, malah menjadi kompetisi dan saling menegasi.
Ketiga, kita nyaris tidak memiliki politik hukum yang kuat dan memadai dalam mengonsep politik hukum sebagai landasan pengambilan kebijakan peraturan perundang-undangan. Setidaknya jika parameter yang dituliskan Mahfud MD (2011) tentang konsep politik hukum suatu perundang-undangan yang terukur dari tiga hal, yakni cetak biru hukum yang diharapkan, tarik-menarik kepentingan politik dalam pembahasan, dan kemampuan untuk memastikan implementasinya, dapat dilakukan.
Ketiganya tak berimbang. Lebih banyak pada tolok ukur kedua yang merupakan tarik-menarik kepentingan politik sehingga menguatkan pandangan orang-orang yang mengatakan bahwa di republik ini UU tidak lebih hanya merupakan resultante kepentingan politik semata.
Lihatlah substansi perundang-undangan kita. Mulai dari daftar Prolegnas 2018 yang ada 50 RUU, ada berapa sesungguhnya yang "pantas" menjadi UU dan sebenarnya materi muatannya haruslah UU. Begitu juga pertanyaan sama untuk Prolegnas 2019 yang berisi 55 RUU. Wajar jika legislasi kita jadi semacam "nafsu kuda, tenaga ayam".
Tak banyak yang terselesaikan untuk masa waktu yang pendek, bahkan dengan reses DPR yang semakin diperbanyak. Kinerja buruk kemudian didaku sebagai akibat dari persiapan tahun politik meski sesungguhnya tidak bisa menjadi alasan karena tahun-tahun sebelumnya juga menunjukkan kinerja legislasi yang kurang lebih sama.
Masih di sekitar politik hukum, mari bicarakan politik hukum pemberantasan korupsi kita. Sederhananya, apa sesungguhnya sikap kita terhadap pemberantasan korupsi? Apakah kita mau membedakan konsep penanganan petty corruption atau korupsi-korupsi sederhana oleh karena datang by needs, dengan korupsi besar-besaran yang datang by greeds.
Sampai saat ini kita tak satu kata, bahkan tak terurus kebijakan yang mau diambil sesungguhnya apa dari pilihan-pilihan itu. Semacam memikirkan derajat pemidanaan korupsi. Mana sebenarnya korupsi "terjahat" dan mana yang paling kecil derajat jahatnya. Hal itu tidak kita lakukan sehingga wajar di beberapa daerah kemudian terjadi kecurigaan besar akan penanganan korupsi "kecil-kecil" dan pembiaran korupsi "besar-besar".
Termasuk soal konsepsi. Kita sudah meratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Convention Against Corruption) melalui UU Nomor 7 Tahun 2006, tetapi begitu banyak konsepsi yang tak diperbaiki. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kita biarkan tetap seperti adanya. Korupsi swasta, illicit enrichment, dan memperdagangkan pengaruh hanya merupakan tiga dari sekian banyak hal yang tak kita perkaya di UU kita.
Akhirnya, yang kita dapatkan cuma orangnya. Menjadi tahanan di penjara yang kemudian, dengan kapasitas uang banyak, bisa mengubah penjara menjadi tempat "mewah", bahkan jalan-jalan keluar penjara seenak hati.
Kita bisa memperdebatkan soal konsep pemenjaraan kita yang tak manusiawi dan lain-lain, tetapi di situ ada isu ketidaksamaan perlakuan akibat kapasitas membeli kemewahan tersebut. Sekali lagi, dalam beberapa kasus, kita cuma dapat tahanan, sedangkan negara lainlah yang "memanen" uang dengan menerapkan denda yang besar oleh karena swasta asing tersebut melakukan penyuapan terhadap pejabat Indonesia.
Lebih dalam kita pun tak punya politik hukum yang terang di wilayah penguatan pemberantasan korupsi hingga level apa. Apakah penghukuman yang kuat, maksimalisasi asset recovery, atau pada apa? Kita mau tahan orang atau pengembalian aset negara yang hilang pun kita belum punya cetak birunya.
Namun, sekali lagi, semua tenang-tenang saja. Pembentuk kebijakan kelihatannya lebih asyik berpikir teknis, dengan quick wins dibandingkan dengan konsepsi. Dengan demikian, konsep-konsep mendasar tak kunjung diletakkan dan cetak biru tak terhamparkan.
Dualisme
Keempat, penegakan hukum juga seakan-akan mandek oleh karena perilaku dari aparat penegak hukum itu sendiri. Hakim yang silih berganti ditangkap tak kunjung membuat Mahkamah Agung (MA) kembali duduk bersama dengan Komisi Yudisial (KY) untuk memperbaiki wilayah-wilayah pengawasan, pembinaan, hingga perekrutan hakim.
Hakim-hakim malah sibuk mempersoalkan dan menolak kewenangan KY yang terlibat dalam seleksi hakim sebagaimana yang ada pada beberapa UU yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman melalui uji meteri (judicial review) di MK. Kualitas putusan hakim nyaris tak terurus.
Kita bisa bayangkan, bagaimana mungkin UU yang telah dicabut MK malah dijadikan sandaran untuk suatu putusan? Bahkan, justru dilanjutkan dengan putusan soal uji materi dan PTUN atas konsepsi dan tindakan Komisi Pemilihan Umum atas pencalonan anggota DPD yang berasal dari parpol.
MA malah mengangkangi putusan MK. Bukan sekadar mengangkangi, MA seakan mengatakan MK telah keliru meletakkan dasar soal putusan berlaku ke depan (prospektif). MA sudah bertindak seakan-akan menjadi lembaga banding atas putusan MK.
Problem ini sebenarnya datang dari cara dualisme membangun MK dan MA. Jika kita membuka lembaran sejarah, dualisme itu sebenarnya bisa jadi datang dari sebuah pemikiran hukum yang kuat, tetapi juga bisa jadi karena ego yang tak terselesaikan.
MA menginginkan kuasa judicial review seluruhnya berada di bawah MA, mirip di Amerika. Sementara para pendiri MK berharap dipisahkan karena tak percaya dengan MA, sekaligus mendorong model Austria. Titik komprominya, MA jadi court of justice dan MK adalah court of law, tetapi sebagian judicial review diletakkan di bawah MA.
Maka, yang terjadi adalah seperti yang sekarang. Dualisme yang menyambung hingga saling menegasi. Dalam kondisi seperti ini pun, kita tetap santai-santai saja seakan semua persoalan itu hanyalah bumbu-bumbu dari penegakan hukum. Ide menjadikan satu atap judicial review sudah sekian lama ada, tetapi tak kunjung terbahas dengan baik.
Di sini kita juga baru bicara mengenai hukum publik, belum hukum privat. Bahkan, batasan antara keduanya pun sering jadi masalah. Hal ini mengingatkan kita bahwa kita memiliki masalah untuk mengurai problem besar yang sering disebutkan oleh Lawrence Friedman sebagai problem pada tataran substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum.
Tiga hal yang bak jentera bagi bergeraknya suatu kincir. Tanpa tegaknya ketiganya, mustahil kincir penegakan hukum bisa bergerak secara normal. Dan, selama ini kita membiarkan ketaknormalan itu. Kita letakkan anomali itu, secara sadar atau tidak, sementara pada saat yang sama belum kunjung ada itikad kuat untuk memperbaiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar