Penembakan terhadap para pekerja konstruksi jalan Trans-Papua di Nduga, Papua, Minggu (2/12/2018) lalu, secara langsung maupun tak langsung memicu lahirnya Resolusi Maranatha pada Sabtu (8/12/2018) pekan lalu. Genta peringatan berdentang sudah. Ada yang tidak pas dalam proses panjang merangkul Papua ke haribaan Pertiwi.
Mengambil momen Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada tanggal 10 Desember 2018, resolusi tersebut pantas diberi tempat layak pada pentas sosial-politik nasional. Mereka yang bersuara memenuhi syarat sebagai perwakilan sebagian masyarakat Tanah Papua.
Kebetulan suara datang dari Papua yang datang dari beragam unsur perwakilan dan pemimpin dari: masyarakat adat Papua, organisasi masyarakat sipil dan agama. Mereka bersepakat akan pelanggaran negara pada empat hal utama yaitu pada hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta permasalahan tanah dan hutan.
Seluruh persoalan tersebut mengerucut pada persoalan ruang hidup warga Papua yang secara turun temurun telah berdiam di Tanah Papua. Mereka menegaskan kembali kepada pemerintah, korporasi, dan berbagai pihak yang berkepentingan bahwa tanah bagi mereka adalah perempuan atau "Mama". Mama adalah sumber kehidupan dalam berbagai aspeknya.
Ada yang tidak pas dalam proses panjang merangkul Papua ke haribaan Pertiwi
Mama adalah tanah, adalah bumi yang merupakan identitas, martabat, dan harga diri. Mama ada bukan untuk generasi sekarang saja namun juga generasi mendatang. Sebab tanah dan hutan bagi masyarakat adat Papua adalah sumber pangan, sumber adat, spiritual, dan budaya, serta sumber pengetahuan yang hanya dapat mereka pahami dan hidupi. Pemahaman dan pengetahuan yang hanya mereka yang mengetahuinya. Bukan orang luar, bukan juga pemerintah.
Jika kita memakai nalar dan akal budi kita, mereka tak perlu lagi menjelaskan seperti ditegaskan dalam resolusi ini. Bahwa, mereka kehilangan hutan dan desa sumber pangan. Bahwa, mereka kehilangan sungai dan sumber air bersih. Bahwa, mereka kehilangan pengetahuan budaya akan pengelolaan sumber daya alam.
Jika saja kita membuka hati dan jujur kepada diri sendiri. Mungkin pemerintah dan aparat-aparatnya melihat hal-hal itu namun tidak memperhatikan (secara seksama).
Mereka menegaskan kembali kepada pemerintah, korporasi, dan berbagai pihak yang berkepentingan bahwa tanah bagi mereka adalah perempuan atau "Mama"
Masyarakat adat Papua belajar dari leluhur mereka, mereka belajar melindungi alam, memanfaatkan tanah secara adil dan bijaksana, damai dan tanpa menimbulkan rasa permusuhan, serta menggunakan pengetahuan dan hukum-hukum masyarakat adat.
Itulah yang mereka jelaskan secara lugas dalam resolusi mereka. Padahal, di banyak seminar dan diskusi, hal-hal itu terus menerus dimunculkan. Pemerintah mungkin sudah mendengar, namun mereka tidak mendengarkan.
Terobosan Presiden Jokowi
Kita percaya bahwa Presiden Joko Widodo bermaksud sepenuh hati dan sebenar-benarnya membumikan Pancasila dalam UUD 1945. Pada kasus Papua, dengan berpegang pada UU Otonomi Khusus mungkin bisa dimulai dengan memberikan toleransi terhadap pengetahuan masyarakat adat. Biarkan mereka maju dengan caranya sendiri.
Ketika anak sedang belajar merangkak jangan suruh dia berlari-itu yang kita terapkan pada anak-anak kita sendiri. Kebijakan perhutanan sosial adalah bertujuan baik, namun prosesnya tidak cukup cepat untuk menandingi kecepatan terbitnya izin-izin HGU dan konsesi lainnya.
Jika argumentasinya adalah kesejahteraan. Perlu ditanyakan, apa sebenarnya makna kesejahteraan bagi masyarakat adat Papua? Hitungan pendapatan domestik brutto (PDB)? Penguasaan kapital? Bisa jadi mereka memiliki ilmu ekonominya sendiri, yang khas dan membawa mereka pada kesejahteraan sesuai ajaran leluhur mereka.
Kesejahteraan batin yang bebas dari perasaan terintimidasi, terancam, dan menjadi korban kekerasan fisik dan verbal seperti selama ini mereka alami. Merasa ditinggalkan karena tak pernah dimintai persetujuan atau diberitahu di awal sebelum sebuah keputusan diberlakukan, dan merasa diperlakukan tidak adil. Kita tidak perlu paham, kita hanya perlu membuka diri dan hati.
Resolusi ini tak semata berisi tuntutan namun juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk menuju pada jalan keluar. Mereka meminta perlindungan dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Mereka meminta penyelesaian masalah HAM berat, peningkatan kapasitas masyarakat adat, aktivitas dan keterlibatan TNI/Polri, melaksanakan moratorium dan evaluasi izin hak guna usaha (HGU) kelapa sawit, dan mendesak korporasi menghormati hak-hak masyarakat adat.
Yang terakhir, mereka meminta pemerintah daerah untuk menata kebijakan kependudukan karena arus dari luar telah menimbulkan keresahan sosial.
Rasanya, sudah tiba saatnya pemerintah membangun Papua dengan menggunakan "mata Papua", nilai-nilai Papua, tanpa perlu penyeragaman. Sebenarnya ide negara tentang hal itu telah tertuang dalam UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (sebelum lahir Provinsi Papua Barat). Jangan sampai negara dipandang sebagai "monster" oleh warganya.
Saat ini merupakan momen tepat untuk mewujudkan ide Pastor Neles Tebay tentang Dialog Jakarta-Papua. Kebijakan untuk mewujudkan dialog ini bisa menjadi puncak dari semua kebijakan Presiden Jokowi di Papua. Kebijakan Jokowi yang seringkali bersifat terobosan karena tak pernah hal-hal itu disentuh oleh semua presiden pendahulunya.
Menyamakan harga barang di Papua dengan daerah lainnya misalnya. Ini baru terjadi di era Presiden setelah 49 tahun Papua bergabung dengan Indonesia. Presiden Jokowi pun dikenal tak suka berumit-rumit, berlarut-larut. Penyamaan harga barang-barang misalnya.
Satu langkah lagi yaitu mengadakan Dialog Jakarta-Papua, rasanya bukan hal mustahil bagi Presiden Jokowi. Dia amat dikenal dengan prinsipnya "kerja-kerja-kerja", "cepat-cepat-cepat". Kebijakan bisa segera diambil dalam kondisi krusial seperti saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar