Penembakan 31 pekerja proyek jalan Trans-Papua di Nduga, Papua, pada 2 Desember 2018 adalah pengulangan modus serangan kelompok bersenjata terhadap orang-orang sipil yang bertugas membantu pembangunan ekonomi Papua.

Sebelumnya, serangan serupa terjadi di Nduga dan Puncak Jaya pada Juni 2018, yang menewaskan beberapa warga sipil, termasuk anak-anak, setelah mereka menembaki pesawat Trigana Air yang mengangkut personel Brimob.  Pada November 2017, kelompok serupa menyandera 1.000 orang lebih di Kampung Kimbely dan Banti, Mimika. Tahun 2016, mereka juga menewaskan empat pekerja pembangunan jalan Trans-Papua.

Pada setiap peristiwa tersebut memang ada penyebab taktisnya, seperti pembunuhan 31 pekerja yang berdekatan dengan peringatan 1 Desember dan pengibaran bendera Bintang Kejora. Kejadian tersebut juga dapat bermotif pembalasan penangkapan aktivis politik Papua. Adapun kejadian Juni 2018 terkait pilkada.

Akan tetapi, pada level strategis, kelompok bersenjata di Papua mempunyai tujuan atau motif dan strategi yang serupa dan konsisten. Keberadaan motif politik dan gangguan keamanan terlihat konsisten dari berbagai serangan kelompok tersebut.

Dilihat dari beberapa situsnya, tujuan kelompok bersenjata tersebut adalah memisahkan seluruh wilayah Papua, yang disebutnya Papua Barat—untuk membedakan dengan wilayah timur yang menjadi Papua Niugini—dari Indonesia. Mereka konsisten menyatakan tidak menerima hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, padahal hasil tersebut telah disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, November 1969.

Selain separatisme yang tergolong motif politik, serangan bersenjata di Papua bertujuan mengganggu proses pilkada, pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia, terutama pendidikan dan kesehatan. Ada upaya sistematis untuk menggagalkan Pemerintah RI membangun Papua menjadi lebih sejahtera dan relatif setara dengan kawasan Indonesia barat. Semua ini menunjukkan serangan kelompok itu memenuhi dua dari tiga motif yang termasuk definisi terorisme dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kedua motif itu adalah motif politik dan gangguan keamanan.

Adanya dua motif yang membedakan perbuatan kekerasan oleh kelompok ini dengan kelompok kriminal bersenjata biasa. Meski sama-sama menggunakan kekerasan, seperti senjata api atau senjata tajam, dan sama-sama menimbulkan ketakutan atau korban jiwa, motif politik dan gangguan keamanan dapat menciptakan kekerasan berkelanjutan serta suasana teror berkelanjutan hingga tujuan tercapai. Fasilitas publik, seperti jalan dan jembatan, menjadi sasaran meskipun korbannya tidak ikut menentang kelompok tersebut.

Strategi komprehensif

Selama ini, kekerasan bersenjata di Papua dan ancaman potensialnya didekati secara taktis. Membentuk pasukan gabungan dari TNI dan Polri, lalu melakukan pengejaran dan tindakan tegas. Sebagian dilumpuhkan, tetapi selalu ada personel dan kelompok yang melarikan diri. Sekian bulan berlalu terjadi serangan kembali dan siklus pendekatan taktis itu pun berulang.

Pendekatan taktis yang bertumpu pada daya paksa (hard power) kinetik mematikan itu perlu meski harus dilaksanakan hati-hati dan menjadi pilihan terakhir. Namun, dengan wilayah jelajah kelompok bersenjata yang sangat luas dan lebih mengenal medan pegunungan, efektivitas daya paksa perlu dibantu strategi yang lebih komprehensif.

Apabila pemerintah tegas menyatakan kelompok tersebut sebagai organisasi teroris, pemberlakuan UU Terorisme akan mengurangi atau mematikan risiko serangan tersebut di masa depan. Jika keputusan politik dirasakan kurang memadai, pemerintah (polisi) dapat mengajukan kelompok-kelompok bersenjata di Papua yang telah dan masih melakukan serangan ke pengadilan negeri untuk ditetapkan sebagai organisasi (korporasi) teroris.

Dengan UU Terorisme yang baru, pascapenetapan oleh pengadilan terdapat dasar hukum bagi aparat untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap mereka yang menjadi pendiri, pemimpin, pengurus, atau pengendali korporasi, termasuk perekrut dan anggota. Pencegahan serangan akan efektif. Dalam kasus penetapan Jamaah Ansharut Daulah (Tauhid) yang berlangsung sepekan, terbukti tidak satu pun serangan terorisme yang terjadi, termasuk saat perhelatan Asian Games dan Asian Para Games.

Terorisme dan separatisme

Penetapan pengadilan sebagai korporasi terorisme juga memperkuat implementasi UU No 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Melalui kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta badan intelijen finansial luar negeri, para penyalur dana kepada kelompok kekerasan di Papua dapat diadili atau minimal mereka akan menghentikan pendanaan karena khawatir identitas dan alamatnya diketahui. Hal ini mengurangi risiko serangan di masa depan karena pembelian serta penggunaan senjata dan amunisi selalu perlu dana berkelanjutan.

Penetapan pengadilan dapat memperkuat legitimasi Indonesia, baik di mata publik domestik maupun internasional. Kerja sama internasional diperlukan, baik karena kelompok tersebut diketahui mendapat dukungan individu dan entitas di luar negeri, tetapi juga karena terorisme adalah musuh bersama negara-negara anggota PBB.

Saat ini strategi yang komprehensif menemukan momentum setelah Uni Eropa menolak mendukung separatisme di Catalonia, Spanyol. Mereka khawatir separatisme di Eropa akan menjalar, seperti di Korsika, Perancis, atau Flanders dan Wallonia di Belgia. Karena itu, mereka juga sulit mendukung kelompok separatis lain, apalagi yang telah melakukan terorisme.

Peraturan presiden tentang pelaksanaan operasi TNI dalam mengatasi terorisme juga perlu diselesaikan. Meskipun UU membolehkan aturan itu dibuat paling lama setahun setelah pengesahan UU No 5/2018 pada 21 Juni 2018, semangat Presiden Joko Widodo adalah kerja cepat dan tepat. Terlebih sudah banyak korban yang jatuh sehingga negara harus hadir selangkah di depan kurva serangan.