Pada 31 Oktober 2018, DPR menetapkan Program Legislasi Nasional 2019. Salah satu undang-undang yang akan diubah adalah UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Masuknya revisi UU Ormas dalam Prolegnas 2019 diharapkan akan jadi pintu masuk dalam memastikan pengaturan tentang ormas yang menghormati prinsip negara hukum dan hak asasi manusia.

Sebagaimana diketahui, lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas, yang kemudian disahkan menjadi UU No 16/2017, telah menimbulkan kontroversi dan penolakan dari publik. Perppu Ormas secara substansi mengancam kebebasan berserikat karena alasan-alasan pembubarannya karet dan multitafsir, serta mekanisme pembubarannya dilakukan pemerintah secara langsung tanpa melalui peradilan. Berbeda dengan UU No 17/2013 tentang Ormas yang mekanisme pembubaran ormas dilakukan melalui peradilan sejak awal.

Sejarah UU Ormas

Dalam lintas sejarah Indonesia, aturan tentang organisasi kemasyarakatan telah mengalami beberapa kali perubahan. Dinamika politik di setiap rezim kekuasaan sangat memengaruhi karakter produk hukum yang mengatur tentang ormas. Meski sebenarnya istilah dan aturan spesifik tentang ormas lebih kental dimensi politiknya ketimbang dimensi hukumnya, mengingat aturan spesifik tentang ormas pertama kali lahir pada masa rezim otoritarian Orde Baru  dengan menerbitkan UU No 8/1985 tentang Ormas.

Di masa Orde Lama, aturan spesifik tentang ormas yang berbentuk UU Ormas sesungguhnya tidak ada. Pada masa itu, aturan yang ada adalah  aturan tentang organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum atau yang lebih dikenal dengan istilah perkumpulan. Pengaturan tentang organisasi kemasyarakatan mengacu pada Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum. Aturan yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda tersebut tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan di dalam UUD 1945, sepanjang belum dibentuk aturan pengganti yang baru.

Dalam aturan ini, pembubaran organisasi dapat dilakukan melalui sebuah putusan pengadilan dengan alasan bahwa ormas tersebut dianggap melanggar ketertiban umum, yakni dengan menghilangkan sifat badan hukum dari ormas tersebut. Sementara untuk organisasi-organisasi yang bertujuan sosial atau yang lebih dikenal dengan yayasan, diatur melalui Burgelijk Wetboek (KUH Perdata) sebelum kemudian diubah dengan UU tentang Yayasan (Tim Yappika, 11 Alasan Menolak UU Ormas, 2018).

Ketika rezim Orde Lama tumbang dan rezim Orde Baru berkuasa, dibuatlah aturan spesifik yang mengatur tentang ormas dalam bentuk UU Ormas, yakni UU No 8/1985. Lahirnya UU itu tentu tidak bisa dilepaskan dari motif rezim otoritarian Orde Baru untuk melakukan kontrol ketat terhadap ruang gerak masyarakat. Pemerintah Orde Baru berupaya melakukan pembatasan atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Oleh karena itu, berbagai kelompok masyarakat sipil melakukan penolakan atas hadirnya UU Ormas ini.

Dengan dasar UU No 8/1985 tentang Ormas, pemerintahan Orde Baru bisa membubarkan organisasi kemasyarakatan secara langsung tanpa melalui proses peradilan jika ormas tersebut di anggap bertentangan dengan Pancasila atau alasan karet lainnya. Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) ditetapkan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Orba. Alasan pembubaran kedua organisasi tersebut karena tidak melakukan penyesuaian terhadap asas tunggal Pancasila.

Ketika rezim Orde Baru tumbang dan era Reformasi di mulai tahun 1998, tuntutan masyarakat akan kebebasan menjadi sebuah keniscayaan sehingga desakan masyarakat agar pemerintah menghapus UU Ormas deras disampaikan berbagai kelompok masyarakat. Sebagai produk politik, UU No 8/1985 tentang Ormas dianggap sebagai bentuk produk hukum yang represif dan membatasi kebebasan sehingga negara seharusnya mencabutnya dan bukan merevisinya.

Pada saat revisi UU No 8/1985 tentang Ormas dilakukan DPR, tuntutan masyarakat kepada DPR adalah agar DPR mencabut UU itu dan segera membahas RUU Perkumpulan. Namun, pemerintah dan DPR menilai UU Ormas tersebut masih diperlukan sehingga yang dibutuhkan adalah perbaikan substansi dalam UU Ormas agar tidak berdimensi represif lagi.

Setelah mengalami perdebatan yang panjang antara pemerintah, DPR, dan organisasi kemasyarakatan, akhirnya RUU perubahan atas UU No 8/1985 tentang Ormas disahkan dan berlaku menjadi UU pada 22 Juli 2013 (UU No 17/2013 tentang Ormas). Secara substansi, mekanisme pembubaran ormas menurut UU No 17/2013 ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Dalam UU ini, mekanisme pembubaran dilakukan melalui peradilan dan itu pun merupakan pilihan yang terakhir setelah semua tahapan telah dilalui: mulai tahapan persuasif, peringatan, penghentian sementara, hingga pembubaran melalui peradilan.

Meski demikian, belum lama UU No 17/2013 berlaku, tiba-tiba pemerintah mengeluarkan Perppu tentang Ormas, yakni Perppu No 2/2017 tentang Perubahan UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Saat ini, Perppu Ormas itu sudah sudah sah menjadi UU, yakni UU No 16/2017.

Berdasarkan Perppu Ormas, pemerintah dapat membubarkan ormas secara langsung dan tanpa melalui proses peradilan (Pasal 61 Ayat 3 poin a dan b jo Pasal 80A Perppu). Dikembalikannya otoritas pembubaran ormas kepada pemerintah dan tidak melalui pengadilan tentu merupakan langkah mundur karena hal itu sama dengan pembubaran ormas pada masa Orde Baru yang diatur dalam UU No 8/1985, yang pada saat itu ditolak masyarakat karena menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah.

Dinamika politik saat ini memang tidak sama seperti zaman otoriter Orde Baru, tetapi tetap saja pemberian otoritas kepada pemerintah dalam membubarkan ormas pada masa kini akan membuka ruang yang sangat besar untuk terjadinya potensi abuse of power dan kesewenang-wenangan rezim, mengingat pembubaran itu penilaiannya sangat subyektif oleh pemerintah. Berbeda jika melalui peradilan, ruang pertimbangan obyektivitasnya akan lebih tersedia sejak awal. Bisa saja tuduhan negara terhadap ormas itu benar, tetapi bisa juga tidak. Karena itu, untuk mengujinya dan untuk menghindari kesewenang-wenangan negara, ruang peradilan yang terbuka perlu disediakan sejak awal sehingga pihak yang disangkakan dapat melakukan pembelaan.

Dalam konteks itu, saya percaya niat baik Presiden Joko Widodo yang memiliki keinginan kuat untuk menghadapi kelompok intoleran dan radikalisme yang mengganggu sendi-sendi negara saat ini. Namun, Jokowi memiliki batas waktu untuk menduduki kursi presiden. Pertanyaannya adalah bagaimana jika presiden yang terpilih suatu saat nanti "bertangan besi". Maka, dengan mudahnya pemerintah dapat sewenang-wenang membubarkan organisasi kemasyarakatan, semisal pada kelompok yang kritis terhadap kekuasaan, melalui UU Ormas ini dengan dalih mengancam Pancasila, seperti masa Orde Baru dulu.

Melindungi kebebasan

Pembubaran organisasi oleh pemerintah, apa pun alasannya, selalu dikonotasikan negatif. Munculnya persepsi itu tentu tidak sepenuhnya salah. Selain pengalaman politik masa rezim otoritarian Orde Baru, ketika pembubaran organisasi menjadi cara rezim masa itu untuk membungkam oposisi dan kelompok kritis, hal itu juga dinilai tidak lagi selaras dengan konteks politik demokrasi saat ini yang mestinya menjamin kebebasan dan partisipasi politik warga negara.

Sebagai bagian dari hak asasi, negara tentu memiliki kewajiban untuk menjamin setiap warga negara, tanpa terkecuali, bisa menikmati haknya untuk berserikat atau berorganisasi. Apalagi, jaminan penikmatan atas kebebasan ini sudah ditegaskan di dalam sejumlah legislasi. Dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 dinyatakan "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".

Lebih dari itu, hak atas kebebasan berserikat bukan hanya esensial bagi individu dan masyarakat, melainkan juga menjadi komponen politik penting bagi berjalan baiknya demokrasi di sebuah negara. Bahkan, kebebasan ini disebutkan sebagai jantung dari demokrasi. Kebebasan ini sangat terkait erat dengan kebebasan dan hak asasi lainnya, seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul, berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Lebih jauh, kebebasan ini juga berfungsi sebagai sarana bagi setiap orang dan kelompok untuk menjalankan dan memperjuangkan hak-hak asasinya, baik itu hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Dijadikannya revisi atas UU Ormas dalam Prolegnas perlu menjadi pintu masuk bagi DPR dan pemerintah di dalam membentuk regulasi tentang organisasi kemasyarakatan yang sesuai dengan tata sistem negara hukum dan HAM. Idealnya, pemerintah dan DPR mencabut UU Ormas dan membahas RUU tentang perkumpulan. Akan tetapi, jika pembahasan terhadap UU Ormas tetap dilakukan, pemerintah dan DPR perlu mengubah pasal-pasal tentang alasan-alasan pembubaran yang karet dan multitafsir, serta mekanisme pembubarannya harus melalui proses peradilan sejak awal dan tidak dilakukan oleh pemerintah secara langsung. Semoga proses perubahan atas UU Ormas ini dapat dilakukan sebelum Pemilu 2019 berakhir.