KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto dan jajaran Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2018 di kawasan Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (4/12/2018). Dalam kesempatan itu presiden menyampaikan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus menjadi gerakan bangsa yang dilakukan oleh institusi penegak hukum, pemerintah dan masyarakat.

Hingga Oktober 2018, setidaknya ada 19 kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus korupsi.

Kasusnya beragam, mulai dari menjual jabatan, suap pelaksanaan proyek, dan suap meloloskan APBD. Setidaknya tiga modus perkara di atas yang paling banyak dilakukan. Bahkan, di satu daerah, ada 41 dari 45 wakil rakyat melakukan korupsi berjemaah bersama kepala daerah.

Kondisi ini tentu dapat dilihat dari banyak perspektif, seperti ongkos politik yang mahal, moral pemimpin yang bobrok, dan budaya masyarakat yang tidak mendukung. Tulisan ini akan melihatnya dari sistem pengawasan yang lemah.

Inspektorat adalah salah satu lembaga yang saat ini memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan atas pelaksanaan pemerintahan di tingkat daerah. Konteks pengawasan sekaligus pembinaan ini menjadikan wewenang inspektorat bukan hanya melakukan tindakan represif, melainkan juga preventif, dalam artian inspektorat adalah mitra pemerintah daerah.

Memang ada situasi dilema yang menjadikan inspektorat antara ada dan tiada, yaitu kelembagaan yang tidak independen, baik secara keorganisasian maupun finansial. Realitas ini menjadikan inspektorat sangat bergantung pada kepala daerah, bahkan di banyak daerah berkongkalikong dengan kepala daerah yang bersangkutan.

Inspektorat adalah lembaga internal pemerintahan, di mana laporan hasil temuan yang diperoleh inspektorat di lapangan diserahkan ke masing-masing kepala daerah agar ditindaklanjuti. Namun, hampir di seluruh daerah, temuan yang dilaporkan itu tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh kepala daerah.

Hal ini tentu dapat dimaklumi karena semua kepala daerah ingin jajaran pemerintahannya terlihat "baik-baik" saja tanpa masalah. Bahkan, jika ditelisik lebih jauh, temuan inspektorat ini sesungguhnya melibatkan kepala daerah itu sendiri. Akibatnya, tidak sedikit temuan yang hanya berada di atas kertas, tetapi tidak pernah ada tindakan lanjutan. Pejabat inspektorat yang dianggap terlalu "semangat" dan berani harus siap-siap dipindahtugaskan ke daerah lain di pelosok negeri. Lagi-lagi, ketentuan pemindahan tugas yang tidak jelas ini menjadi dilema bagi pejabat inspektorat.

Berkaca pada masalah di atas, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam konteks perbaikan peran, fungsi, dan tanggung jawab inspektorat. Pertamakeorganisasian inspektorat tidak boleh bergantung pada pemerintah daerah. Tentu sangat ironi, apabila inspektorat melakukan pengawasan terhadap pemerintahan daerah, tetapi secara keorganisasian sangat bergantung pada pemerintah daerah. Akibatnya, banyak laporan temuan lapangan tidak ditindaklanjuti. Laporan temuan ini sebaiknya diserahkan kepada lembaga lain yang punya wewenang untuk mengawasi pemerintahan daerah.

Kedua, bagaimanapun, finansial dibutuhkan oleh inspektorat untuk menjalankan kewajibannya. Jika finansial bergantung pada internal pemerintah daerah, situasi ini memaksa pejabat inspektorat untuk menjadi lunak di hadapan pemerintah daerah.

Ketiga,syarat dan prosedur pemindahan jabatan yang jelas agar pejabat inspektorat yang bersuara keras tidak terancam dipindahtugaskan di tempat lain, atau bahkan dibebastugaskan untuk sementara waktu.

Saat ini, ada dua wacana yang digulirkan oleh pemerintah sebagai solusi atas kebuntuan pengawasan ini, yaitu pembentukan inspektorat nasional atau pembentukan inspektorat quasi-nasional. Pembentukan inspektorat nasional tentu akan menjadikan inspektorat sebagai lembaga yang benar-benar independen, lepas dari campur tangan pemerintahan daerah, baik secara keorganisasian maupun finansial.

Namun, dengan demikian, akan menjadikan inspektorat kehilangan perannya sebagai mitra pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan atau langkah preventif, juga menjadikan inspektorat tumpang-tindih kewenangan dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang saat ini juga sebagai pengawas eksternal. Selain itu, ketentuan ini juga bertentangan dengan UU lain, misalnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memosisikan pengawasan sebagai lembaga internal.

Wacana kedua, pembentukan inspektorat sebagai lembaga yang quasi-nasional juga bisa disebut quasi-independen. Laporan temuan tidak lagi diserahkan ke pemerintah daerah setempat, tetapi ke lembaga lain yang lebih tinggi tingkatannya meski anggaran tetap dari APBD. Dengan model ini, tentu keberadaan inspektorat menjadi lebih aman karena, selain tidak bertentangan dengan UU lain, inspektorat juga masih tetap bisa melakukan tindakan preventif lain sebagai mitra pemerintah daerah.