Awalnya, plastik hadir untuk membuat hidup lebih mudah. Kini, dia sekaligus mendikte gaya hidup sekaligus membelenggu kita dengan ratusan juta ton sampah. Gerakan pun tumbuh di berbagai belahan Bumi untuk keluar dari ketergantungan itu. Dimulai dengan menyapih sedotan.
Tidak pakai sedotan plastik. Itu kalimat Hendra Yuniarto, menutup pesanan minumannya kepada seorang pramusaji. Hendra adalah seorang eksekutif bidang pemasaran. Berkemeja putih lengan pendek, lelaki berambut ikal, berperawakan sedang, berkulit terang, dengan pembawaan ceria itu menyenderkan punggungnya ke sofa yang empuk.
Dia telah terlambat sekian puluh menit dari janji pertemuan di sebuah restoran kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Malam itu, Kamis, 8 November 2018, sejumlah jalan utama Jakarta memang direkat kemacetan parah. Tampaknya, ini imbas pentas grup musik rock Guns N Roses di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan.
Sedotan plastik. Inilah tema besar sigeneral manager marketing itu di kantornya. Tema itu semula dia harapkan menjadi program kerja ringan, menjadi jeda bagi rutinitas harian. Tak terbayangkan, benda berdiameter kurang dari setengah sentimeter yang panjangnya hanya sejengkal tangan itu kemudian malah menjadi pergulatannya lebih dari 18 bulan terakhir. Dan, ini bukanlah ujung dari perjalanan.
Keinginan Hendra dan tim kerjanya di PT Fast Food Indonesia (FFI) sederhana. Stop menyediakan sedotan plastik di gerai-gerai Kentucky Fried Chicken (KFC), restoran keluarga milik FFI. Kotak-kotak dispenser sedotan di area makan dihilangkan.
Dalam beberapa bulan pertama sejak Mei tahun silam, enam gerai di Jakarta menjadi "kelinci percobaannya". Di akhir 2017, aksi itu diterapkan pada 233 gerai. Program tanpa sedotan plastik akhirnya diterapkan di ke-630 gerai KFC di seluruh Indonesia, sejak Mei silam.
Program itu sesungguhnya lahir jauh dari gerai restoran yang sejuk. Awal 2017, kantor tempat Hendra bekerja menggelar program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), berupa kegiatan bersih pantai dan pesisir dari sampah. Sejumlah pantai dan pulau kecil di banyak daerah didatangi. Sampah-sampah dikumpulkan dan diangkut.
Dan, Hendra pun merasa aktivitas bersih-bersih pesisir dari sampah—khususnya plastik—yang timnya laksanakan ibarat menjaring angin. Berapa pun sampah didapat, pesisir tak akan pernah bebas dari plastik dan limbah padat lainnya. Mereka terus datang terdampar dari hari ke hari.
Limbah adalah bagian dari keberadaan manusia. Seiring peradaban, manusia mengerahkan segala daya menghasilkan segala hal guna meningkatkan kualitas hidupnya. Hasil sampingannya: limbah yang juga kian canggih.
Alam kian sulit menerima, tak lagi mampu menguraikannya kembali. Limbah cair—dari larutan detergen hingga sisa cairan pewarna buatan—menggelontor ke saluran air. Aki serta oli bekas dan limbah bahan berbahaya dan beracun lainnya terus menjadi persoalan.
Limbah padat (termasuk yang berbentuk bubur atau lumpur) atau sampah adalah "produk" sisa yang terbanyak jumlahnya di keseharian kita.
Di antara semua, sampah plastik sesungguhnya tak banyak. Program Lingkungan PBB, UNEP (UN Enviromental Programme), menghitung, plastik hanya menyumbangkan 7-12 persen sampah perkotaan di seluruh dunia. Semakin tinggi rata-rata pendapatan warga sebuah kota, persentase sampah plastik cenderung semakin tinggi.
Namun, ini belum menghitung sampah tekstil yang kini sebagian besar seratnya juga sintetis, alias masuk dalam keluarga plastik.
Meski secara bagian tak banyak, plastik adalah sampah yang "bandel". Tak begitu saja dia mau diurai oleh alam. Itu karena tubuhnya terdiri dari rantai-rantai molekul panjang (oleh karena itu plastik disebut polimer). Sebagian bahkan jalin-menjalin.
Dicacah-cacah pun plastik tetaplah plastik; entah sebelumnya dia dibuat dari bahan alam, seperti tetumbuhan, atau sintetis (minyak bumi dan gas alam). Plastik abadi.
Bahkan ,(sampah) plastik yang tak lagi berwujud karena telah menjadi sedemikian kecil kini menjadi momok yang amat ditakuti. Berbagai penelitian mengungkap begitu mudahnya mikroplastik masuk dalam tubuh ikan, misalnya.
Lalu, jika pangan hewani itu dikonsumsi manusia, berpindah pulalah si mikroplastik seperti virus yang tak bisa mati. Dia mengendap dalam tubuh, mengancam kesehatan manusia.
Atau, dia mengendap bersama garam yang diproduksi dari air laut. Maka, mikroplastik menjadi "virus atau bakteri" sintetis yang masuk ke dalam sistem pencernaan kita, menumpang lauk nan sedap.
Mikroplastik adalah bahaya yang nyata. WWF Indonesia misalnya merilis temuan tim Universitas Murdoch, Australia, dan Universitas Udayana pada 2016. Hasilnya, lokasi-lokasi penelitian di perairan Nusa Penida, Bali, rata-rata mengandung 0,48 potong mikroplastik per meter kubik air. Di perairan Taman Nasional Komodo 1,11 potong per meter kubik.
Tahun ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bersama yayasan lingkungan Divers Clean Action (DCA) juga melakukan penelitian serupa di 40 lokasi di laut pesisir keliling Bali. Kesemuanya mengandung mikroplastik. Menurut Direktur Eksekutif DCA Swietenia Puspa Lestari, besaran kandungan mikroplastik tersebut kini tengah diteliti LIPI.
Secara global, ancaman mikroplastik itu ternyata jauh amat menyeramkan. Dalam konferensi kelautan yang digelar PBB di New York tahun lalu disimpulkan, sebanyak 51 triliun potong mikroplastik telah mencemari laut di seluruh dunia. Itu 500 kali lebih banyak dibandingkan dengan seluruh bintang yang ada di Galaksi Bimasakti, tempat tata surya kita berada.
Inovasi berkelanjutan
Plastik adalah temuan dan inovasi berkelanjutan dari para ahli sejak pakar pencipta asal Inggris membuat parkesine, polimer sitentis pertama, pada 1856. Sejak itu, beragam jenis polimer sintetis diciptakan dan membuat revolusi industri melaju lebih kencang. Namun, tak semua penemu dan pembaru materi plastik senang atas karyanya.
"Hmm, ini semacam sebuah kecelakaan karena plastik bukanlah sesuatu yang ingin saya ciptakan," ujar ahli kimia Belgia, Leo Hendrik Baekeland (1863-1944).
Pada 1909, Baekeland secara tak sengaja menciptakan material mirip resin saat mencampurkan formaldehyde dan phenoldengan bubuk kayu. Materi itu dia namakan bakelite, bentuk plastikthermosetting pertama (polimer dengan rantai molekul saling berkait).
Bakelite kemudian berkembang menjadi plastik yang digunakan membentuk kotak sakelar, badan telepon seluler, mainan, peralatan dapur, sampai aksesori pakaian.
Plastik memang beragam jenis dan sangat membantu, lalu berbalik menguasai kehidupan manusia. Namun, Baekeland pasti kian terperangah atas dampak hasil kerja dia dan koleganya.
Pada 2015, sebuah studi menghitung, manusia menggunakan plastik sebanyak 300 juta ton per tahun di seluruh dunia. Agaknya ini kalkulasi yang paling ramah.
Jika mengacu pada perhitungan UNEP bahwa seluruh perkotaan dunia memproduksi sekitar 10 miliar ton sampah per tahun, sampah plastik dari perkotaan saja (yang 6-12 persen) jumlahnya jauh melebihi 300 juta ton.
Sampah plastik tak hanya mencemari daratan. Mereka mengalir sampai jauh. Ke samudra. Setiap tahun, sekitar 8 juta ton sampah plastik tergelontor ke laut. Kini, lautan di seluruh penjuru bumi telah menampung 150 juta ton sampah plastik. Seberapa banyak itu?
Dengan meneliti berbagai data, DCA yang berfokus pada penanganan sampah di pesisir dan pulau kecil di Indonesia sampai pada angka yang mengejutkan. DCA yang dimotori segelintir generasi milenial menyimpulkan, ada sekitar 5 triliun potongan sampah plastik berada di laut seluruh dunia saat ini.
Ini jumlah yang tak main-main. Jika Anda berusia antara 15 tahun dan 64 tahun, pergilah ke pantai, atau bersampan di pesisir sejauh yang Anda mampu. Kumpulkanlah semua sampah plastik yang ditemui: botol, sedotan, kemasan saset, dan sebagainya hingga 1.020 potong.
Dan, jika seluruh penduduk bumi dalam rentang usia tersebut (sekitar 4,9 miliar jiwa) melakukan hal yang sama dan berhasil, barulah laut di bumi kita bersih dari sampah plastik.
Tanda-tanda bencana ekologis telah disodorkan di sana-sini oleh alam kepada kita. Pengujung pekan ketiga November misalnya, The Guardian, BBC, Deutsche Welle, dan berbagai media di dunia—tak cuma Indonesia—ramai-ramai memberitakan temuan seekor koteklema (paus sperma, Physeter macrocephalus) yang mati terdampar di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Dalam lambung bangkai mamalia raksasa itu ditemukan sekitar 1.000 buah sampah plastik dengan berat total 5,9 kilogram. Satwa laut memang tidak seperti kita. Apa yang bergerak, berpendar, sangat mungkin dianggap sebagai mangsa. Bukankah para pehobi pancing ikan di samudra menggunakan umpan karet, kayu, atau plastik warna-warni yang berkilau?
Kasus bangkai koteklema Pulau Kapota bukanlah satu-satunya tanda sampah plastik "memangsa" makhluk samudra. Koteklema itu hanya satu di antara 100.000 mamalia laut (paus, lumba-lumba, anjing laut) dan penyu yang mati setiap tahun akibat memakan atau terjerat sampah plastik. Bersama mereka, 1 juta burung laut juga mati dengan cara serupa.
Membendung plastik
Sudah banyak, beranak pinak pula. Rasa pusing itu pula yang menghantam kepala Hendra. Dia merenung. Perusahaannya tak bakal mampu berbuat banyak dalam menyelesaikan persoalan sampah plastik di laut dan pesisir.
Namun, ada aksi yang bisa diperbuat untuk tidak menambah sampah plastik yang tergelontor ke segara. Dan, itu bisa dilakukan dalam gerai-gerai restoran perusahaannya, bukan mencegat limbah di pesisir-pesisir pantai.
"Membersihkan sampah di pantai adalah pekerjaan penting. Tapi, sampah-sampah itu datang dari darat, dari tangan-tangan kita. Kami berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk menghentikan 'produksi' sampah plastik. Dari kami sendiri," tutur Hendra.
DCA pun memberikan wawasan kepada Hendra dan timnya. Selama tiga tahun bergiat menangani persoalan sampah di laut dan pesisir, organisasi nirlaba itu banyak menyusun data. Ikhtisar yang mereka susun dari 40 lokasi pesisir yang dibersihkan DCA di Bali, sekitar 4,4 ton dari total 40 ton sampah yang terkumpul adalah sedotan plastik.
Di Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, misalnya, sampah plastik menyusun 63 persen dari total sampah yang tercecer. "Kebanyakan berupa sedotan, plastik-plastik kemasan, dan plastik saset," ujar Swieteniai (23), salah satu aktivis DCA.
Gadis manis berkulit sawo matang ini memang baru 23 tahun usianya. Namun, kiprahnya dalam memerangi sampah plastik di pesisir tampak telah jauh melebihi banyaknya musim yang telah dia lalui.
Lebih dari tiga tahun silam, bersama sesama peselam, Tenia—begitu dia disapa—giat menjalankan aksi bersih sampah sambil mendata. Kini, dengan DCA telah menjadi yayasan sejak 2017, sarjana teknik lingkungan ITB itu menyandang predikat lebih formal di yayasannya, direktur eksekutif.
Di antara sampah barang plastik, sedotan sesungguhnya tidak banyak secara statistik. Dari total 8 juta ton yang menggelontor ke laut setiap tahun, sedotan hanya sebanyak 0,025 persen. Namun, dari segi jumlah, banyaknya mencengangkan.
National Geographic edisi Australia lewat situs beritanya, Juni lampau, menyebut sebuah studi, ada sekitar 8,3 miliar batang sampah sedotan plastik yang kini mencemari laut dan pantai-pantai di seluruh dunia. Ini jauh lebih banyak dari populasi manusia sedunia yang sekitar 7,7 miliar jiwa. Selera global terhadap pipa polimer kurus yang berlubang itu memang luar biasa.
Penduduk Amerika Serikat diperkirakan menggunakan sekitar 500 juta batang sedotan plastik setiap hari. Orang Inggris "mengonsumsi" sekitar 12,9 juta batang per hari. Di Indonesia, kita semua memakai 93 juta batang per hari. Di seluruh dunia, diperkirakan hanya 9 persen sampah sedotan plastik yang didaur ulang.
Meski sama-sama dibuat dari plastik, rupanya kasta sedotan—bersama kantong keresek—jauh lebih rendah dibandingkan dengan botol plastik minuman, kecap, minyak makan yang terbuat dari polyethylene therepthalate (PET), atau plastik keras pengembangan bakelite.
Sedotan plastik tidak laku di bursa industri daur ulang sampah. Tak ada pemulung, pengepul, atau pabrik daur ulang yang mau menerima sedotan-sedotan bekas tersebut.
"Sampah sedotan sangat tidak ekonomis. Kumpulkanlah sampai satu gerobak besar. Bobot totalnya paling hanya 1 kilogram," tutur Tenia.
Selain itu, mutu plastik sedotan pun rendah. Sampah sedotan segerobak yang 1 kilogram itu kalau dibeli oleh pengepul hanya akan dihargai Rp 1.000. Dengan jati dirinya yang remeh itu: tipis, kecil, tak kentara, dan tak ada harganya, sedotan adalah plastik yang paling mudah terabaikan.
Dilempar semena-mena oleh siapa saja: mereka yang baru menyeruput teh dalam botol, kelapa dari batoknya, pedagang minuman, hingga para pemulung. Lalu, sedotan yang terlunta-lunta itu memulai perjalanan panjangnya. Tertimbun di tanah, terseret air hujan ke selokan, lalu mengalir sampai jauh ke samudra.
Bagi Hendra, sedotan plastik adalah langkah paling realistis dalam memulai kampanye mengurangi sampah di laut dari kubu pertahanannya sendiri: restoran-restoran KFC di seluruh Indonesia. Lagi pula, manusia sehat tak rugi apa pun tanpa sedotan dalam hidupnya.
Tanpa sedotan, air toh tidak akan tumpah dari wadahnya, tidak akan menguap, dan yang terpenting, manusia tetap dapat meneguk air dengan menempelkan bibir gelas ke mulut.
Alasan penting lainnya, setiap bulan penggunaan sedotan di seluruh gerai KFC di negeri ini ternyata aduhai banyaknya: 12 juta batang. Jumlah sebanyak itu sesungguhnya hanya berkontribusi sebesar 0,5 persen dari penggunaan sedotan plastik di Indonesia per harinya.
"Kami tidak melarang konsumen untuk menggunakan sedotan. Yang dilakukan adalah tidak menyediakannya di kotak dispenser seperti biasa. Jadi bagi yang memerlukan, tetap dapat memintanya kepada petugas di kasir. Namun, dari yang semula mudah untuk memperoleh sedotan, kini harus ada usaha lebih. Apalagi kalau harus antre lebih dulu," tutur Hendra.
Secara statistik, kampanye ini tampaknya efektif. Sejak memberlakukan gerakan itu di ke-630 gerai sejak sekitar tujuh bulan silam, jumlah penggunaan sedotan di KFC merosot 54 persen, menjadi sekitar 5,5 juta batang per bulan.
Hendra dengan KFC-nya tidaklah sendiri dalam bertarung melepaskan diri dari kebergantungan kita pada sedotan plastik. Sejumlah jaringan restoran di negeri ini tampak memulai langkah yang sama tahun ini. Bahkan, gerakan "katakan tidak pada sedotan" merupakan kampanye global.
Jaringan restoran McDonald's telah "mencoret" sedotan plastik dari semua gerai mereka di Inggris dan Irlandia, pertengahan tahun ini. Sementara jaringan rumah makan itu di Indonesia telah menyusul pada pertengahan November lalu.
Maskapai penerbangan AS Alaska Airlines juga menerapkannya tahun ini dan menjadi maskapai pertama yang menghapus sedotan plastik dari bagian layanan mereka di kabin.
Tak kurang, produsen kemasan minuman dan pangan cair global asal Swedia Tetra Pak juga ikut "pusing" dengan urusan sedotan plastik ini. Meski Tetra Pak sangat bangga atas pilihan material kemasan mereka yang terbuat dari kertas karton—dari bahan baku yang diseleksi ketat dari kayu hutan lestari, sedotan plastik tetaplah menjadi bagian dari produk mereka, terutama sebagai pelengkap bagi kotak minuman ukuran kecil.
Oleh karena itulah, tutur Manajer Komunikasi Tetra Pak wilayah Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Filipina, Gabrielle Angriani, perusahaannya bakal segera mengganti sedotan plastik dengan yang berbahan kertas. "Akhir tahun ini sudah diterapkan di berbagai region, tetapi untuk Indonesia memang belum," ujarnya.
Gerakan tanpa sedotan juga digaungkan oleh pemerintahan di berbagai belahan bumi. Oktober silam, Pemerintah Inggris telah mulai menyodorkan rancangan legislasi untuk melarang penggunaan sedotan plastik—bersama pengaduk plastik dan kapas pembersih, cotton buds—di negeri itu.
Rancangan aturan yang kabarnya telah disetujui oleh Ratu Inggris itu bakal memberikan waktu satu tahun ke depan hingga ketiga barang plastik itu benar-benar hilang dari negara pulau tersebut.
Di AS, ibu kota Negara Bagian Washington, Seattle, menjadi kota besar pertama di negara tersebut yang melarang penggunaan sedotan plastik. Sementara pada September silam, Negara Bagian California menerbitkan peraturan untuk mengurangi sampah sedotan.
Mulai tahun depan, seluruh restoran di negara bagian itu dilarang menyediakan sedotan plastik untuk konsumen yang makan di tempat, tetapi tetap diperbolehkan jika konsumen meminta.
Jakarta tampaknya juga sudah mengambil ancang-ancang. Menurut Staf Teknis Ahli Suku Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Seribu Riza Lestari Ningsih, Pemerintah Provinsi DKI sedang menggodok langkah dalam membatasi penggunaan lima barang plastik, yaitu kantong plastik, sedotan, saset, botol plastik dan styrofoam. Direncanakan, aturan tentang hal itu diterbitkan tahun depan.
Melawan gaya hidup
Gerakan masif membendung dominasi sedotan plastik atas gaya minum kita tidaklah sesederhana bentuk barangnya. Bagaimanapun budaya menggunakan sedotan telah ada ribuan tahun.
Bukti arkeologis menunjukkan, bangsa Sumeria kuno yang hidup di lembah Sungai Eufrat dan Tigris telah menggunakan sedotan, 5.000 tahun silam. Bangsa itu membuat sedotan dari logam mulia untuk menyedot fermentasi bir dari dalam kendi-kendi besar.
Manusia modern pun sudah mulai dimanja oleh sedotan sejak sekitar 130 tahun silam. Itu dimulai ketika pengusaha kertas rokok Marvin Stone mematenkan sedotan minuman pada 1888 di AS. Kabarnya, ide membuat sedotan itu sudah muncul di benaknya pada 1880 ketika Stone menyeruput minuman beralkohol aroma mint, menggunakan batang rumput yang berongga.
Walau awalnya sedotan dibuat dengan bahan dasar kertas, dia lahir tak lama setelah plastik ditemukan pada 1860 dan dengan segala keunggulannnya, cepat berkembang memasuki dunia industri.
Sedotan menjadi alat sederhana yang membuat hidup manusia kian lebih mudah ketika Joseph Friedman kasihan melihat putrinya berjuang menyedot tetes-tetes terakhir milkshake menggunakan sedotan biasa. Maka, pada 1930-an, Friedman menciptakan sedotan yang dapat ditekuk.
Alat ini pun populer digunakan di berbagai rumah sakit, sangat membantu pasien untuk minum tanpa harus bangkit dari posisi tidur.
Sejarah panjang keakraban kita dengan sedotan yang membuat langkah Hendra dan timnya tak seindah teori. Dia mengakui ada saja konsumen yang mengeluh dan memprotes karena tak lagi gampang memperoleh sedotan.
"'Kentucky pelit amat sih. Berapa sih, saya bayar deh sedotannya?'" kata Hendra menirukan satu keluhan konsumen. Tentu saja, bukan sang general manager yang menghadapi langsung keluhan itu.
Namun, justru karena yang harus menghadapi konsumen adalah karyawan di kasir, medan "pergulatan" Hendra dan timnya menjadi berganda: harus meyakinkan konsumen, sekaligus menguatkan sesama karyawan di bagian lain bahwa gerakan yang dicanangkan merupakan langkah yang benar.
Hendra juga menampik bahwa gerakan ini secara tidak langsung justru menguntungkan keuangan perusahaan tempat dia bekerja. Tanpa harus menyediakan sedotan cuma-cuma (yang jumlahnya jutaan batang), tentu jadi ada dana yang tak perlu dikeluarkan.
"Enggak. Sebelum gerakan ini, pengeluaran kami untuk sedotan itu Rp 2 miliar per tahun. Menghemat Rp 1 miliar, tidaklah besar untuk skala bisnis kami. Sebaliknya, kami jadi harus menyediakan gelas kertas yang lebih tebal dari sebelumnya. Karena kami harus meyakinkan konsumen, gelas itu kokoh untuk diangkat dan isinya diminum langsung. Pengeluaran untuk itu malah lebih besar dari dana yang kami hemat dari sedotan. Ini murni kontribusi sosial kami," kata Hendra.
Kampanye katakan tidak pada sedotan plastik menerbitkan harapan indah bagi masa depan Bumi, masa depan kita. Namun, sedotan adalah satu dari sekian banyak produk plastik dengan fungsi "sepele", tetapi telah mengungkung gaya hidup kita.
Masih ada pengaduk gelas plastik setebal lidi yang biasa hadir dalam ruang-ruang perjamuan seminar di hotel-hotel. Juga ada piring dan gelas plastik tipis sekali pakai yang amat meringkaskan kerja kita ketika menggelar acara riungan di rumah.
Lalu, masih ada kantong plastik keresek yang umumnya juga tak berharga dalam rantai industri daur ulang sampah. Kebersamaan manusia dengan plastik keresek belumlah selama seperti dengan sedotan, baru 56 tahun. Kantong tipis ringkas tetapi relatif kokoh ini temuan perancang kemasan asal Swedia, Sten Gustaf Thulin, pada 1962.
Swedia, negeri berpenduduk jarang yang sekarang hanya dihuni sekitar 9 juta jiwa, memang rumah para pencipta. Sabuk pengaman tiga titik di kendaraan bermotor, retsleting, kemasan karton, dan ukuran suhu celsius adalah sedikit dari penemuan bangsa Swedia yang membentuk gaya hidup umat manusia. Berbeda dari yang lain, agaknya kantong plastik menjadi inovasi sekaligus aib bagi bangsa yang amat gandrung dengan kelestarian alam itu.
Sesungguhnya, Indonesia sempat melangkah maju dengan uji coba kantong keresek berbayar selama tiga bulan di tahun 2016. Penggunaan kantong plastik pun menurun hingga 30 persen di kurun itu. Sekitar 90 persen warga pun dikabarkan siap untuk mengubah kebiasaan mereka: dengan membawa sendiri kantong belanjaan dari rumah.
Sayang, Indonesia tidak siap dengan peraturan tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas pengelolaan dana pungutan kantong plastik berbayar itu. Uji coba pun dihentikan.
Namun, hikmah yang kita dapatkan: gerakan tanpa sedotan dan uji coba kantong plastik berbayar menunjukkan, kita mampu melepaskan diri dari ketergantungan akan sebagian barang plastik. Seiring peradaban, kita memang memerlukan barang-barang plastik. Hanya saja, kita tak boleh dikendalikan oleh benda polimer tersebut.
Memilah barang plastik apa yang sesungguhnya kita perlukan dan kapan akan menjadi pembeda bagi masa depan Bumi. Masa depan umat manusia.
Referensi:
United Nations Environment Programme,Global Waste Management Outlook 2015
Badan Pusat Statistik, Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2016
Adam Hart-Davis, "The Age of Plastics" dalam Science, Dorling Kinderley Limited 2012
Nationalgeographi.com.au/nature/a-brief-history-of-how-plastic-straws-took-over-the-world
Theguardian.com/environment/2018/oct/22/ban-on-plastic-straws-stirrers-and-cotton-buds-pollution-could-come-into-force-by-2019
Businessinsider.sg/plastic-straw-ban-why-are-there-so-many-2018-7
Kompas, 2 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar