Badan Ekonomi Kreatif bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan World Conference on Creative Economy (WCCE) di Nusa Dua, Bali, awal November lalu.
Konferensi menyepakati Bali Agenda for the Creative Economy, yang isinya antara lain komitmen politik di tingkat internasional untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang terkait berkembangnya ekonomi kreatif. Disepakati juga perlunya keterlibatan PBB dan lembaga internasional lainnya dalam membangun kerja sama di bidang ini. Jamaknya kerja sama internasional, dibutuhkan langkah diplomasi oleh Indonesia.
Ditakar dari potensi pengembangan dan kontribusi ekonomi kreatif bagi ekonomi nasional, Indonesia tidak bisa tidak harus aktif mengembangkan ekonomi kreatif ini, termasuk aktif dalam diplomasinya ketika ia masuk dalam ranah kerja sama internasional.
Potensi dan tantangan
Di Indonesia, kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih dari 7,4 persen dan menyerap lebih dari 17 juta tenaga kerja (14 persen dari angkatan kerja nasional). Yang menarik, dari seluruh tenaga kerja yang bergiat di ekonomi kreatif , 54 persen adalah wanita.
Persentase kontribusi terhadap PDB dan daya serap tenaga kerja sektor ekonomi kreatif Indonesia ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan negara di berbagai kawasan dunia. Menurut data Ernst & Young 2015, rata-rata kontribusi ekonomi kreatif di kawasan Asia Pasifik terhadap PDB hanya 3 persen dan menyerap 12,7 juta tenaga kerja; Eropa: (3 persen dan 7,7 juta); Amerika Utara (3,3 persen dan 4,7 persen); Amerika Latin (2,2 persen dan 1,9 juta); dan Afrika Timur Tengah (1,1 persen dan 2,4 juta). Dari data tersebut. terlihat jelas, Indonesia memang unggul dalam ekonomi kreatif.
Fakta itu tidak begitu mengejutkan jika kita mengenal baik negeri ini. Ekonomi kreatif sering juga disebut industri berbasis budaya. Dengan keragaman budayanya, industri semacam ini bukan barang baru bagi Indonesia. Dunia pun tahu, Indonesia adalah kampiun dalam keragaman adat, tradisi, dan budaya.
Akan tetapi, yang jadi persoalan adalah bagaimana kekayaan tradisi dan budaya itu bisa dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga memberi tambahan nilai bagi pendapatan nasional. Atau, dengan kata lain, bagaimana upaya komodifikasi keragaman budaya itu dikembangkan sehingga selain menambah pendapatan nasional juga menciptakan kesempatan kerja.
Tantangan bagi ekonomi kreatif Indonesia adalah bagaimana mentransformasikan keadaan dari culturally feasible (secara budaya bisa dibuat) menjadi commercially marketable (secara komersial bisa dijual). Suatu produk bisa dijual jika ada pasar untuknya. Ekonomi kreatif Indonesia butuh pasar, baik domestik maupun internasional.
Pada tataran internasional pasarnya adalah peluang ekspor produk budaya ke mancanegara. Adapun pasar domestiknya adalah turis dan masyarakat Indonesia sendiri, yang secara tradisi dan budaya sangat beragam.
Pada titik inilah, tatkala produk budaya tadi dipasarkan di masyarakat yang kental nilai tradisi dan budaya, termasuk nilai agama, promosi ekonomi kreatif Indonesia menghadapi tantangan.
Isu tradisi, budaya, dan agama sempat mengemuka dalam diskusi di forum Friends of Creative Economy dalam rangkaian acara WCCE. Pusaran isunya seputar benturan nilai antara produk budaya (baik benda, seperti produk kerajinan; maupun non-benda, seperti upacara adat, tradisi dan ritual di berbagai daerah) dengan nilai agama. Indonesia yang sangat kaya dengan adat, tradisi dan budaya sangat rentan terhadap benturan antara nilai budaya dengan nilai agama.
Adanya imbauan untuk tidak mempertontonkan seni tari (yang pada kadar tertentu dinilai erotis) di daerah tertentu, protes sekelompok orang terhadap upacara/ritual adat dan tradisi yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama tertentu, kritik terhadap kostum pengantin daerah tertentu yang dinilai mempertontonkan aurat, hanya contoh kecil betapa benturan nilai budaya dan agama nyata ada di dalam masyarakat Indonesia.
Dipindai dari aspek promosi, benturan nilai budaya dan agama ini bukan situasi yang kondusif bagi pengembangan industri kreatif di Indonesia. Tak semestinya kedua nilai itu meniadakan satu sama lain.
Sebaliknya, keduanya harus saling melengkapi dan memperkaya. Justru produk kreatif berbasis budaya (dengan tetap mengindahkan nilai agama) akan menjadi stimulans bagi kaum milenial untuk memperluas ruang imajinasinya dalam upaya komodifikasi budaya.
Kearifan lokal
Dari perspektif diplomasi, Indonesia yang dikenal sebagai negeri yang kaya dalam adat, tradisi, budaya dan agama, harus dapat meyakinkan dunia internasional bahwa nilai agama tak akan menghambat kreativitas produk budaya. Malah memperkaya dan memperluas ruang kreativitas pekerja seni dan budaya.
Citra Indonesia yang terbuka bagi kreativitas budaya, tetapi juga menjunjung tinggi nilai agama, menjadi penting ketika Indonesia ingin membangun kerja sama internasional di bidang ekonomi kreatif. Citra Indonesia yang menghargai keragaman budaya dan tetap menghormati nilai agama harus dikedepankan dalam diplomasi Indonesia.
Dalam konteks kepentingan inilah, di dalam dokumen akhir WCCE Indonesia memasukkan kata-kata: "local wisdom, cultural uniqueness, dan cultural diversity". Maksudnya agar dalam mengembangkan kerja sama internasional di bidang ekonomi kreatif, semua negara harus mempertimbangkan kearifan lokal, keunikan, dan keragaman budaya suatu negara.
Ketiga frasa ini, jika sudah masuk dalam dokumen di forum internasional, dapat jadi rujukan dalam pembahasan ekonomi kreatif. Ketiga frasa itu memiliki makna strategis dalam diplomasi: sebagai hook up (cantelan) politik jika isu ekonomi kreatif dibahas di forum internasional lainnya di masa depan.
Tantangan diplomasi Indonesia ke depan adalah mengangkat isu ekonomi kreatif ini ke forum internasional yang lebih luas partisipasinya, seperti PBB. Karena memiliki kepentingan yang besar dalam ekonomi kreatif, Indonesia harus mengarusutamakan isu ini di setiap forum internasional yang relevan, seperti WIPO, WTO, atau ASEAN. PBB yang anggotanya sangat beragam, termasuk yang berpandangan politik dan agama konservatif, boleh jadi akan menghadapi proses yang tidak mudah ketika membahas isu politik, budaya, dan agama dalam konteks kerja sama di bidang ekonomi kreatif.
Persoalan dan tantangan dalam setiap ikhtiar diplomasi selalu ada. Namun, setidaknya Indonesia telah meretas jalan ke arah itu di Nusa Dua, Bali, awal November lalu. Selamat berjuang, para diplomat Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar