Membaca artikel Laode M Syarif (Kompas, 23/1/2019), terbaca kekecewaan yang amat sangat terhadap materi debat pasangan calon presiden-wakil presiden karena masukan KPK tidak terelaborasi secara komprehensif.

Tentu itu amat disayangkan, tetapi penyebabnya adalah masalah keterbatasan waktu debat dan terlebih karena KPK juga tak berkenan hadir sebagai panelis dengan alasan bukan ruang KPK ikut berdialog dalam posisi sebagai lembaga independen.

Dalam paham saya, independensi KPK justru hanya dalam melaksanakan fungsi-fungsi penegakan hukum, tidak pada fungsi lain. Artikel Laode pada umumnya mengandung kritik dan saran khusus dalam tiga hal: landasan regulasi, kelembagaan, dan program antikorupsi. Kritik dan saran Laode dalam ketiga hal itu, meski merupakan fakta tak terbantahkan, masih banyak kelemahan atau luput dari perhatiannya.

Laode belum memahami secara komprehensif sejarah perundang-undangan antikorupsi yang diberlakukan sejak 1971 dan beberapa ketentuan pidana sejak 1955 perihal tindak pidana ekonomi in case penyelundupan sehingga negara mengalami kerugian signifikan. Angkanya sejak era Reformasi saja sangat masif. Dari kerugian Rp 180 triliun (2007-2012), yang diselamatkan hanya 20,82 persen. Tahun 2009-2014, KPK menyelamatkan Rp 728.445.149.242 (Laporan Tahunan KPK 2010-2014). Sementara total anggaran belanja KPK (2009-2014) Rp 3.019.822.079.000 atau sekitar Rp 3 triliun.

Berdasarkan data itu, jelas bagi Indonesia sebagai negara berkembang dan di balik kekayaan alam yang ada bahwa kerugian itu sangat masif bagi kesejahteraan 250 juta rakyat. Kerugian ini tak tertandingi oleh negara anggota PBB lain mana pun karena negara itu sangat mengandalkan suap (bribery) sebagai ikon unggulan yang telah terbukti tidak efektif jika terdapat fakta perbuatan suap ada kaitan dengan kedudukan/jabatan penerima suap selaku penyelenggara negara, dengan imbalan penggelembungan dana anggaran negara.

Bahkan, dengan ketentuan suap, telah banyak uang negara yang dikorupsi dilarikan ke negara lain. Harapan penulis tentunya agar perubahan UU Tipikor 1999/2001 dapat menjangkau illicit enrichment (kekayaan yang diperoleh dari cara tak sah) dan strategi pencegahan sudah dipandang lebih dari cukup. Merujuk pada data dan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur kerugian negara masih tetap relevan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sebagai ahli UNODC (Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan) untuk draf-teks negosiasi UNCAC (Konvensi PBB Antikorupsi), dan penyusun Draft Implementing Legislation of UNCAC, sepenuhnya dipahami kekecewaan Laode dengan belum ada perubahan UU Tipikor 1999/2001 sejalan dengan UNCAC 2003. Perlu dipahami juga bahwa ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UNCAC 2003 bersifat opsional saja, terbukti dengan kalimat: "…it shall not be necessary, except as otherwise stated herein, for the offences set forth in it to result in damage or harm to state property".

Selain itu, Mukadimah Piagam PBB yang juga telah dicantumkan dalam Pasal 4 UNCAC 2003 telah menegaskan bahwa prinsip kedaulatan (sovereignty) merupakan dasar yang memperkuat keberadaan PBB yang mengutamakan prinsip kesetaraan (equality of states), integritas teritorial (territorial integrity), dan non-intervensi (non-intervention). Beranjak dari prinsip-prinsip itu, tak ada kekeliruan kebijakan pemerintah dengan belum diubahnya UU Tipikor. Sebagai ahli UNODC untuk UNCAC 2003, dan  reviewer UNODC untuk implementasi UNCAC di Republik Iran, saya temukan ketentuan pemaafan (pardon)  terhadap tindak pidana korupsi yang dapat menghapuskan penuntutan, dan ini harus dipahami sebagai karakter khas negara itu yang berbeda secara diametral dengan ketentuan Pasal 4 UU Tipikor 1999/2001 dengan prinsip zero tolerance.

UU Tipikor, UU KPK, dan UNCAC

Penilaian Laode bahwa UU Tipikor 1999/2001 "tertinggal dan kampungan" tak obyektif dan absurd dan justru cermin dari ketidakpahaman mengenai sejarah hukum pidana dan asas serta norma hukum pidana. Bahkan, penilaian ini melecehkan dan menegasikan jerih payah tim penyusun yang terdiri dari para ahli guru besar senior hukum pidana (Romli Atmasasmita, Andi Hamzah, Indriyanto Seno Adji), praktisi hukum senior (Adnan Buyung Nasution dan Ramelan, eks Jampidsus), dan dibantu oleh ICW.

Dengan UU Tipikor 1999/2001, yang tertinggal dan kampungan tersebut, KPK dan juga kejaksaan telah dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang cukup signifikan dan berhasil menjebloskan koruptor ke penjara  setiap bulan.  Kelebihan-kelebihan UU Tipikor 1999/2001 dan UU KPK justru tidak ditemukan dalam UNCAC 2003. Kelemahan pemahaman mengenai sisi kelembagaan, perlu dijelaskan, bahwa KPK direncanakan dan dibentuk hanya untuk melengkapi kejaksaan dan kepolisian agar dapat bekerja secara efektif dengan KPK. KPK tak dimaksudkan dipersiapkan dan dibentuk untuk memonopoli fungsi penindakan, termasuk penuntutan (Pasal 6 UU No 30/2002 tentang KPK). Mengamati pemberantasan korupsi, sepatutnya termasuk pimpinan KPK bersyukur bahwa di tengah keterbatasan dana dan personalia ahli masih dapat menunjukkan keberhasilan.

Tak ada satu pun lembaga antirasuah khusus di ASEAN yang luput dari kelemahan dan berhasil sempurna. Contoh SPRM di Malaysia, sekalipun jauh lebih lengkap dari KPK dari sisi personalia, seingat saya dari dialog dengan KPK di sana (tahun 2000 dan 2003), justru mereka menyambut baik bahwa KPK memiliki wewenang lengkap menjangkau fungsi penuntutan, sedangkan SPRM (dulu BPR) masih merupakan  wewenang jaksa agung. Begitu pula ICAC Hong Kong yang pernah mengalami kesulitan menyentuh korupsi di sektor swasta. Berbeda dengan KPK  dan kejaksaan yang telah bertindak cepat dan berhasil melakukan penindakan terhadap direksi korporasi, saat ini telah mulai membidik korporasi.

Penambahan jumlah pegawai KPK tak terlepas dari sistem manajemen pemerintahan dan kelembagaan yang pembiayaannya bersumber dari APBN sehingga kelebihan-kelebihan KPK di negara lain tak dapat dijadikancontoh representatif untuk menetapkan suatu kebijakan di negara sendiri. Hal itu karena sistem manajemen pemerintahan dan juga sistem hukum yang berlaku di negara-negara pembanding adalah sistem common law, berbeda dengan sistem hukum pidana Indonesia.

Antikorupsi dan penyelamatan keuangan negara

Mengenai program antikorupsi, justru UNCAC 2003 mencantumkan secara khusus strategi pencegahan selain strategi penindakan. Pemberantasan korupsi tidak selalu menghasilkan manfaat positif jika cara-cara penindakan dan beracara di pengadilan tipikor tak mematuhi asas dan norma hukum pidana (acara pidana). Proses penyelidikan dan penyidikan yang merupakan point of entry penetapan tersangka juga masih tidak luput dari kelemahan-kelemahan atau dilakukan dengan cara-cara melanggar prinsip due process of law.

Strategi pencegahan dalam pemberantasan korupsi di masa depan sudah seharusnya dipersiapkan dan dicantumkan secara eksplisit dan rinci mengatur kisi-kisi yang jelas di dalam perubahan UU Tipikor 1999/2001 dan UU KPK sehingga mencegah tidak semakin memburuknya sistem manajemen pemerintahan. Contoh, Korea Selatan, yang semula dipandang berhasil dalam pemberantasan korupsi, telah menerima kenyataan bahwa mesin pembangunan negaranya tak efektif lagi memajukan produktivitas kinerja pemerintahan di bidang ekonomi sehingga KPK Korsel dibubarkan dan diganti ombudsman.

Ada benarnya juga pendapat seorang ahli UNDP yang mengatakan bahwa "korupsi merupakan olinya pembangunan". Penulis yakin bahwa kedua strategi tersebut harus dilakukan bersamaan dan seimbang karena pekerjaan kejaksaan dan KPK di hilir pemberantasan korupsi tak akan selesai selama  pencegahan di hilir tak berhasil. Strategi pencegahan korupsi di Indonesia hanya dibebankan kepada KPK, tidak pada kejaksaan, sehingga ketimpangan dua strategi itu mengakibatkan terjadi ketimpangan yang signifikan antara output, keberhasilan,  dan outcome, kemanfaatan; antara efektivitas dan efisiensi bagi proses pembangunan.

Strategi pencegahan ini pun oleh KPK belum dapat dilaksanakan optimal karena belum terdapat koordinasi dan sinergi dengan kinerja inspektorat jenderal di kementerian dan sistem pengendalian intern di lembaga negara. Intinya, pemberantasan korupsi tak dapat dikerjakan KPK sendiri. Penambahan anggaran dan personalia serta pembentukan perwakilan KPK di daerah juga bukan jaminan keberhasilan.

Program antikorupsi yang disarankan Laode sudah baik pada tataran operasional, tetapi program "penyelamatan keuangan negara" tetap masih dijadikan salah satu prioritas dan tampak kontradiksi dengan penilaian Laode mengenai unsur kerugian negara yang dinilai tertinggal dan kampungan. Sepanjang pengetahuan saya, telah disusun RUU Perubahan UU Tipikor 1999/2001 yang telah memuat ketentuan UNCAC 2003 dan untuk memperkuat draf perubahan itu telah disusun draf RUU Perampasan Aset, tetapi sampai kini belum tercantum di Prolegnas 2018.