Debat pertama calon presiden dan wakil presiden 2019-2024 telah lewat. Kita semua telah menyaksikan bagaimana visi dan misi di bidang hukum, HAM, korupsi, dan terorisme ditafsirkan dan disikapi oleh kedua pasang calon presiden dan wakil presiden.

Tentu menjadi hal niscaya jika dari debat tersebut publik menyimpulkan: itulah performa orisinal kedua pasangan calon yang akan memimpin republik ini lima tahun ke depan. Dari debat, salah satu variabel kualitas diri (kepemimpinan dan intelektualitas) calon pemimpin kiranya memang bisa diidentifikasi.

Sayangnya, pada titik itu pula, saya pikir, banyak pihak kecewa. Lihatlah sekali lagi, debat di atas panggung tersebut rupanya tidak lebih dari sekadar "menegaskan kegaduhan (noise)" yang sejauh ini telah dan sedang terjadi. Soal hoaks operasi plastik, eks koruptor yang menjadi caleg, kepala desa yang dipenjarakan sebab mendukung satu pasangan calon adalah beberapa contoh kasus yang diangkat dalam debat, kasus yang kita semua telah meributkannya. Topik ini telah menjadi rumpi basi di warung kopi.

Narasi besar kehidupan berbangsa

Merujuk pada Nichols (2017), debat politik yang berakar pada konflik sedemikian bukanlah sains. Ia tidak lebih dari sekadar pertandingan hoki tanpa wasit. Dan, konflik menjadi kian menegangkan sebab para suporter leluasa masuk ke dalam lapangan.

Kasus-kasus itu memang perlu diperkarakan, tetapi tidak pada level individu yang akan menjadi orang nomor satu di negeri ini. Apalagi jika mengingat tema yang diusung merupakan narasi besar dalam kehidupan berbangsa. Diletakkan pada visi dan misi kepemimpinan nasional, masalah hak asasi manusia (HAM), penegakan hukum, korupsi, dan terorisme tentu bukan melulu soal kasusnya itu sendiri—apalagi yang hanya menyangkut intrik seputar perebutan kekuasaan seperti kasus di atas—melainkan yang lebih mendasar, adalah melihatnya sebagai wabah sangat berbahaya dalam sejarah peradaban bangsa dari dulu, kini, dan terutama ke depan.

Berdasarkan hal itu, visi dan misi kepemimpinan dalam bidang hukum, HAM, korupsi, dan terorisme adalah kemampuan pembacaan yang jitu terhadap kemungkinan kian mewabahnya perkara tersebut tersebab faktor-faktor kontekstual zaman.

Bukankah korupsi, misalnya, telah memiliki sejarah  panjang. Ia muncul dalam bingkai "kebiasaan" (untuk tidak menyebut kebudayaan) tiap zaman tersebut. Demikian pula perkara hukum, HAM, dan terorisme. Kecanggihan kejahatan nyaris selalu berbanding lurus dengan kecanggihan pencapaian prestasi manusia pada bidang sebaliknya. Penjahat selalu lebih canggih daripada korban. Penjahat di sebuah zaman adalah ia yang—dalam sisi negatif—mengatasi zaman itu sendiri.

Marilah kita lihat kejahatan di dunia maya, misalnya, sebuah dunia yang sekonyong-konyong membetot kita untuk menjadi penghuninya. Kini kita sedang disibukkan oleh kejahatan tersebut. Mekanisme kejahatan konvensional bermetamorfosis dalam bentuk-bentuk baru yang kian hari kian canggih.

Ia terjadi nyaris di semua bidang kehidupan, termasuk dalam proses melahirkan kepemimpinan nasional yang sekarang sedang berlangsung dan sedang diperdebatkan itu. Sebatas mana "bayi pemimpin" akan lahir terbebas dari kejahatan tersebut? Ini sebuah pertanyaan besar yang jawabannya bisa sangat pelik.

Oleh sebab itu, visi kepemimpinan dalam bidang hukum, HAM, korupsi, dan terorisme  harus benar-benar teruji. Nyaris bisa dipastikan bahwa ke depan kejahatan di bidang ini akan semakin canggih.

Bukankah kini kita juga sedang banyak berbicara tentang generasi milenial, generasi yang sebentar lagi akan mengisi dan memimpin peradaban. Bagaimana kita bisa memberi kontribusi dalam membangun masa depan milenial (yang sebentar lagi itu) jika hari ini pemimpinnya tidak memilki visi ke sana.

Menghina akal sehat publik

Faktanya, pada debat pertama, tidak sedikit pun hal tersebut disentuh kedua pasangan calon. Ini tentu sangat disesalkan, dan menyedihkan. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih disibukkan oleh perkara-perkara yang ditakuti akan menghadangnya dalam mencapai kursi kekuasaan. Maka, sesungguhnya tidak ada visi di situ, kecuali jika yang dimaksud visi adalah berkuasa dalam lima tahun ke depan. Visi pembangunan kebangsaan yang diperdebatkan, dengan demikian, hanya bersifat seolah-olah.

Katakutan pada gagalnya mendapatkan akses kuasa lima tahunan tersebut menjadikan panggung debat sebagai ajang untuk memaksakan kebenaran sendiri pada satu sisi dan di sisi lain menyatakan pihak lawan salah. Ini bukan debat pada level calon pemimpin nasional yang sesungguhnya, melainkan hanya simulasi dari pelajaran debat siswa sekolah menengah.

Dalam pelajaran retorika, berdebat memang merupakan sebuah kecanggihan merumuskan kebenaran melalui tuturan yang salah. Dengan itu, debat menjadi sebuah cara untuk menjatuhkan lawan melalui kelihaian berbahasa.

Namun, jika pelajaran debat semacam itu dibawa ke dalam ranah publik dalam rangka melahirkan pemimpin dan kepemimpinan ideal, yang akan didapatkan justru yang sebaliknya. Alih-alih ditemukan pemimpin visioner, darinya justru hanya akan lahir pemimpin tamak dan otoritarian, yang—sekali lagi—menganggap diri sendiri sempurna, sedangkan yang lain cacat.

Diam-diam, dari debat semacam itu kita tengah menyaksikan bagaimana seorang calon pemimpin telah menghina akal sehat publik. Bagaimana tidak demikian, sebab di situ publik juga dipaksa untuk menerima kebenaran satu pihak dan turut menyalahkan pihak lain.

Pada debat riil dalam rangka mencari pemimpin yang unggul, yang diuji dan diadu sejatinya adalah gagasan-gagasan visioner yang diturunkan pada berbagai program yang progresif dan emansipatorik. Dalam konteks ini, tidak ada upaya untuk menjatuhkan lawan, apalagi mempermalukan.

Debat adalah sebuah cara meyakinkan kepada publik bahwa visi, misi,  dan program yang dimiliki seorang calon pemimpin merupakan yang ideal, yang bisa menjawab berbagai persoalan yang mencemaskan publik pada saat ini dan ke depan. Upaya untuk meyakinkan ini tentu dilakukan dengan cara mengadunya (menghadapkan secara dialektis) dengan visi dan misi lawan debat, tanpa harus bersusah payah menyatakan bahwa yang dimiliki lawan debat tersebut salah.

Dipahami bahwa di samping dibutuhkan nalar (logos) yang brilian, dalam berdebat juga dituntut kecanggihan mengelola karakter (pathos) dan memainkan emosi (ethos). Namun, lagi-lagi hal tersebut tidak ditujukan untuk menjatuhkan atau mempermalukan lawan di depan publik. Alih-alih demikian, debat publik sejatinya ditujukan kepada publik: agar publik tertarik pada gagasan yang dimiliki, agar publik menjatuhkan pilihan kepadanya.

Mudah-mudahan, pada empat debat berikutnya kedua pasangan calon presiden-wakil presiden menyadari hal tersebut. Debat kepemimpinan sejatinya akan menunjukkan kepada publik mana calon  pemimpin yang menghargai publik, mana yang melecehkannya.

Seorang calon pemimpin yang sepanjang debat menatap sinis dan berbicara emosional kepada lawan debatnya hakikatnya ia sedang menatap demikian juga kepada publik. Tanpa mengesampingkan pentingnya nalar, cara berbahasa dan gerak tubuh calon pemimpin menjadi acuan penting dalam menentukan pilihan pemimpin melalui debat. Secara kultural dan bahkan natural, publik memiliki kemampuan ini. Selamat mengikuti debat berikutnya!