Pemerintah baru saja menerbitkan ketentuan tentang perlakuan perpajakan atas transaksi e-dagang (e-commerce). Beleid ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018.
Dalam berbagai kesempatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, terbitnya peraturan menteri keuangan (PMK) ini tak berarti mengenakan pajak yang baru dan berbeda dari sebelumnya kepada transaksi e-dagang dibandingkan transaksi konvensional. Pajak yang berlaku tetap sama dengan yang diatur dalam ketentuan perpajakan secara umum. Yang diatur di PMK ini hanya mekanisme pengenaan pajak dan tata administrasinya saja. Terdapat tambahan kewajiban (administratif) bagi market place, dan sama sekali tak ada tambahan kewajiban (administratif maupun materiil pajak) bagi pedagang atau penyedia jasa di marketplace (merchant).
Salah satu tambahan kewajiban administratif itu adalah adanya kewajiban bagi pengusaha marketplace untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) tanpa melihat lagi besarnya omzet. Berbeda dengan pengusaha lain pada umumnya yang diberi kebebasan memilih menjadi PKP atau tidak jika memenuhi batasan omzet sebagai pengusaha kecil (kini besarnya Rp 4,8 miliar setahun). Konsekuensi dari ketentuan ini adalah pengusaha marketplace wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas setiap penyerahan jasa (dan barang) yang diberikan tanpa melihat batasan omzet.
Yang kedua adalah kewajiban pedagang untuk memberitahukan nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau nomor induk kependudukan (NIK) kepada marketplace. Dalam praktiknya, sebenarnya ini akan menjadi kewajiban marketplace untuk mengumpulkan data NPWP atau NIK dari para pedagangnya. Kemudian marketplace diwajibkan melaporkan rekapitulasi transaksi dari setiap pedagang kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP)—tentu dengan NPWP atau NIK-nya. Cara melaporkannya adalah dengan melampirkan di dalam laporan SPT Masa PPN dari marketplace. Sepertinya alasan inilah yang menjadi latar belakang kenapa semua marketplace wajib PKP tanpa melihat batasan omzet lagi.
Dari sini jelas terlihat tak ada kewajiban perpajakan yang baru bagi marketplace atau pedagang. Ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) maupun PPN tetap mengikuti ketentuan umum yang berlaku sebelumnya. Apabila omzet setahun tak melebihi Rp 4,8 miliar, dapat dikenai PPh final dengan tarif 0,5 persen sebagaimana diatur di PP No 23/2018. Adapun jika omzet Rp 4,8 miliar atau lebih, wajib dikenai PPh dengan mekanisme umum dan tarif sesuai Pasal 17 UU PPh.
Begitu juga untuk perlakuan pajak PPN, tak ada yang baru, kecuali wajib PKP bagi setiap marketplace. Jika omzet setahun tak melebihi Rp 4,8 miliar, pedagang dapat memilih untuk tak jadi PKP sehingga tak ada kewajiban PPN sama sekali. Adapun jika omzet setahun Rp 4,8 miliar atau lebih, pedagang wajib menjadi PKP sehingga wajib untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN (dan PPnBM jika ada) atas transaksi penyerahan yang dilakukannya.
Untuk perlakuan impor barang, PMK ini sepertinya berusaha mendorong marketplace menggunakan mekanisme DDP (delivery duty paid). Mekanisme ini mewajibkan marketplace bertanggung jawab atas bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI). Namun, jika nilai pabean lebih dari FOB 1.500 dollar AS, atau tak menggunakan skema DDP, maka perlakuan impornya mengikuti ketentuan impor barang kiriman sebagaimana diatur dalam PMK 112/PMK.04/2018. Selain itu, marketplace wajib untuk menyampaikan e-invoice dan e-catalog kepada Ditjen Bea Cukai.
Kekhawatiran pedagang
Kementerian Keuangan menyebutkan, pedagang tak wajib memiliki NPWP saat mendaftar di marketplace. Jika belum punya NPWP, cukup memberitahukan NIK-nya saja ke marketplace. Berdasarkan ketentuan perpajakan, memang benar tak ada kewajiban NPWP bagi pedagang jika hanya mau mendaftar di marketplace. Mereka menjadi wajib pajak kalau sudah melakukan transaksi penjualan pertama kali (berdasarkan PP No 23/2018). Namun, karena PMK 210 tak mengatur kewajiban perpajakan bagi pedagang (baik material maupun administratif), berarti ketentuan perpajakan yang umum akan berlaku bagi mereka. DJP akan menindaklanjuti data transaksi yang dilaporkan marketplace dengan melakukan penelitian, ekstensifikasi, dan intensifikasi.
Bisa dibayangkan tambahan beban administrasi yang harus ditanggung DJP untuk tugas ini. Apalagi kalau data ini akan diolah secara manual dengan metode pengolahan data konvensional.
Di sisi lain kekhawatiran Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menjadi masuk akal. PMK 210 jelas menjadi alat baru bagi DJP untuk meningkatkan level pengawasan kepada pedagang. Berdasarkan data dan informasi yang wajib diberikan oleh marketplace, DJP dengan mudah akan mengetahui siapa pedagang yang tak melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar. Sementara pengawasan terhadap perdagangan e-dagang di luar marketplace (seperti media sosial) tak ditingkatkan. Tentu saja hal akan mendorong para pelaku e-dagang berpindah dari marketplace ke media sosial. Pasal 9 PMK 210 hanya menyebutkan bahwa marketplace dapat memberikan data dan informasi ke DJP tentang transaksi e-dagang di luar marketplace. Layak dipertanyakan, sampai sejauh mana marketplace mempunyai data ini dan usaha mereka untuk melaporkannya.
Hal ini menjadi kontradiktif dengan pernyataan DJP yang ingin mendorong pengusaha e-dagang (yang kebanyakan pengusaha UMKM) supaya pindah ke platform marketplace. Harapannya ini akan meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, tanpa insentif memadai, tentu sulit membayangkan para pengusaha ini mau secara sukarela pindah ke marketplace. Yang ada justru pedagang yang sudah di marketplace akan pindah ke luar marketplace karena takut akan pajak. Sementara saat ini kemampuan DJP mengawasi platform di luar marketplace masih terbatas. Bukannya meningkat, PMK 210 justru dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kepatuhan pajak.
Misalnya, ketika tarif pajak UMKM diturunkan dari 1 persen (PP No 46/ 2013) menjadi 0,5 persen (PP No 23/2018). Harapannya akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP). Namun, belum pernah kita melihat laporan statistik yang menunjukkan kebenaran argumentasi ini. Jika ternyata kepatuhan WP UMKM tak meningkat signifikan setelah tarif pajak diturunkan, tentu ada alasan lain yang membuat kepatuhan pajak UMKM ini tetap rendah.
Lalu bagaimana cara yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan pajak pengusaha e-dagang ini? Konferensi OECD tentang pemajakan e-dagang di Ottawa pada 1998 menyepakati bahwa prinsip-prinsip pemajakan pada perdagangan konvensional harus diberlakukan sama juga pada transaksi e-dagang. Prinsip-prinsip itu adalah: netralitas, efisiensi, kepastian dan kesederhanaan, efektivitas dan keadilan, dan fleksibilitas. Dari kacamata WP (khususnya pedagang), prinsip pertama dan ketiga sangatlah penting. Pedagang menuntut adanya netralitas atau kesamaan level playing field antara marketplace dan di luar marketplace, dan berharap kesederhanaan, kemudahan, dan kepastian dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya (simplicity and certainty).
Revolusi Pajak 4.0
Pemerintah sebenarnya dapat menyediakan prinsip simplicity and certainty ini apabila bekerja sama dengan platform marketplace. Caranya dengan menunjuk marketplace sebagai wajib pungut PPh PP No 23/2018. Marketplace wajib memungut pajak penghasilan pedagang dari setiap transaksi yang dilakukan via marketplace. Kemudian marketplace akan menyetor pajak yang dipungut dan melaporkannya ke DJP. Dengan dukungan infrastruktur teknologi informasi yang dimiliki marketplace, tambahan kewajiban ini diharapkan tak akan menambah beban kepatuhan (compliance cost). Mereka cukup menambahkan satu patch di platform mereka yang akan otomatis menghitung pajak yang terutang dan menambahkannya ke jumlah yang harus dibayar pembeli. Interest (bunga) dari jumlah pajak yang dipungut sebelum disetor ke kas negara (floating interest) akan menjadi insentif bagi platform.
Sementara pedagang tak perlu diwajibkan memiliki NPWP pada saat mendaftar di marketplace. Hal ini untuk menghindari entry barrier (hambatan untuk masuknya pemain baru) seperti yang dikhawatirkan idEA. Bahkan NIK pun tak perlu diminta. Namun, pajak yang dipungut dari pedagang yang tak memiliki NPWP harus lebih tinggi daripada pedagang yang sudah memiliki NPWP. Misalnya, 20 persen atau bahkan kalau perlu 100 persen lebih tinggi sehingga ini akan menjadi insentif bagi pedagang untuk mendaftar NPWP. Karena PPh yang dipungut bersifat final, tak ada lagi kewajiban bagi pedagang untuk membayar, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Semua sudah selesai dengan dipungutnya pajak oleh marketplace. Ini juga menjadi insentif bagi pedagang yang akan menurunkan compliance cost-nya secara signifikan.
Apabila diinginkan, dapat dibuat aturan bagi pedagang yang melebihi batas pengusaha kecil bahwa PPh yang dipungut marketplace dapat dikreditkan (tak lagi menjadi PPh final). Marketplace wajib memberikan e-bukti pungut kepada pedagang yang memintanya. Bukti pungut ini nanti menjadi kredit pajak bagi pedagang yang melebihi batas pengusaha kecil di dalam laporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh-nya.
Dengan demikian, setidaknya ada dua keuntungan bagi pedagang di marketplace dibandingkan di luar marketplace, yaitu kesederhanaan dan kepastian. Selain kesederhanaan penghitungan pajaknya, marketplace juga menawarkan kepastian jumlah pajak yang terutang. Karena sifatnya sudah final, pedagang tak perlu lagi khawatir akan dikejar-kejar oleh DJP. Berbeda dengan e-dagang di luar marketplace. Karena mengikuti mekanisme self assessment, WP yang bertanggung jawab untuk menghitung sendiri, menyetor, dan melaporkan pajaknya yang terutang. Apabila suatu waktu nanti DJP punya bukti dan perhitungan yang berbeda, dapat dilakukan koreksi yang akan menambah pajak yang terutang plus dikenai denda tentunya.
Kerja sama DJP dengan marketplace ini dapat menjadi awal dari Revolusi Pajak 4.0 di Indonesia. Tingkat kepatuhan WP meningkat karena terpenuhinya prinsip kepastian dan kesederhanaan. Pemanfaatan teknologi informasi dalam proses bisnis wajib pajak membuat compliance cost semakin kecil. DJP dapat mengumpulkan pajak lebih banyak, lebih pasti, lebih efektif, dan lebih efisien. Hal ini semua dapat dicapai hanya dengan menumpang pada model bisnis WP yang berkembang seiring Revolusi Industri 4.0.
Suhut Tumpal Sinaga Dosen Perpajakan di PKN STAN
Kompas, 29 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar