Alan Simpson, mantan senator dari Wyoming, Amerika Serikat, tidak bermaksud merusak kekhidmatan suasana duka yang menyelimuti kepergian mantan Presiden Amerika Serikat George HW Bush. Ketika ia menyampaikan pidato kenangan di Katedral Nasional di Washington DC, Rabu, 5 Desember 2018, Simpson justru mengenang sahabatnya itu dengan cara berbeda.
Menurut Simpson salah satu kualitas terpenting Bush Sr adalah kemampuannya berselera humor dan tertawa, terutama terhadap dirinya sendiri. "Humor adalah pelarut universal untuk elemen kehidupan yang kasar," kata Simpson (Chris Cillizza, CNN, 6 Desember 2018).
Tesis Simpson sangat menohok karena politik terlalu didominasi dengan narasi serius, pertarungan sengit, dan aksi-aksi kasar. Tingkat kekasaran berpolitik di Indonesia saat ini semakin tinggi senyampang makin dekatnya pesta demokrasi (Pilpres dan Pemilu 2019). Sejak Pilpres 2014, politik terjebak pada polarisasi akut, rivalitas keras, dan cara berkomunikasi yang kasar. Agak sulit menikmati rasa humor di arena politik yang dapat memancing gelak tawa karena praktik politik didominasi perilaku yang membuat dahi berkerut: kebohongan, kebencian, politik identitas, populisme, dan sebagainya.
Dalam konteks politik yang demikian, seperti diungkapkan Simpson, humor menjadi sangat penting untuk melarutkan berbagai tindakan abrasif. Uniknya humor politik bukan berangkat dari gaya yang memang menghibur atau diksi-diksi lucu yang dilontarkan politikus, tetapi justru timbul akibat kekasaran berpolitik yang cenderung akrobatik. Meskipun demikian, kekasaran politik yang dipertontonkan oleh elite tidak semuanya diikuti menjadi kekasaran publik. Ada respons berbeda yang dilakukan publik yang justru memilih melarutkan kekasaran politik dengan humor-humor politik. Di sini humor mungkin bisa menjadi semacam katup pengaman (safety valve).
Ketika suhu politik yang terus menerus panas, rasanya sangat pas majalah Prismamenyambut tahun 2019 dengan tema "Humor yang Adil & Beradab" (No. 1 Vol 38, terbit Januari 2019). Banyak artikel atau esai menarik, menggelitik, dan mencerahkan yang ditulis oleh para pakar, antara lain Daniel Dhakidae, Seno Gumira Ajidarma, I Dewa Putu Wijaya, Christanto P Rahardjo, Pipit R Kartawidjaja, Tri Agus Susanto, Jaya Suprana, serta humor lewat kartun yang menampilkan kepakaran para kartunis. Walaupun beberapa artikel merupakan daur ulang; tetapi tetap aktual, relevan, dan sama menggelitik dan "menyengatnya" sampai saat ini.
Bila hoaks mampu menghasilkan tawa, maka yang diproduksinya belum tentu berasal dari humor, karena tawa dan humor tidak identik dan tidak selalu sejalan.
Tahun 2019 adalah tahun politik tatkala pemilu digelar serentak pada 17 April mendatang. Dalam pengantarnya, PemredPrisma Daniel Dhakidae menulis, "tahun politik akan sarat dengan tawa yang akan menemukan "sekutunya" yaitu apa yang disebut hoax (hoaks), berita bohong yang dirancang seteliti seorang profesional merancang kerjanya. Bila hoaks mampu menghasilkan tawa, maka yang diproduksinya belum tentu berasal dari humor, karena tawa dan humor tidak identik dan tidak selalu sejalan. Hoaks bisa saja menghasilkan tawa, namun tawa di sini tidak beradab, angkuh, dan ingin melenyapkan yang lain, obstracizing, karena bukan berasal dari humor yang adil dan beradab."
Memang politik hari ini adalah politik yang amat kasar, sehingga peran humor sangatlah penting. Kedewasaan publik menyikapi kekasaran politik dengan serangkaian humor setidaknya dipengaruhi oleh dua kondisi.
Pertama, demokrasi sudah sedemikian terkonsolidasi, bukan lagi kondisi terkungkung seperti zaman Orde Baru atau masa-masa euforia pada awal reformasi. Publik semakin memahami arti demokrasi meskipun demokrasi banyak ditunggangi oleh para pemburu kekuasaan.
Kedua, era digital telah mengubah perilaku dan respons publik terhadap persoalan politik. Ekspresi lebih banyak dilampiaskan dalam genggaman melalui media sosial. Publik digital percaya teriakan seorang netizen di dunia maya lebih bergaung ketimbang teriakan seorang citizen di tengah lapangan yang mungkin cepat hilang diterpa angin. Demokrasi digital menjadi bentuk baru saluran aspirasi publik termasuk dalam melawan kekuasaan.
Mekanisme Resistensi dan Pelarian
Masih ingat serial kelucuan politikus Setya Novanto alias Setnov yang paling fenomenal pada 2017? Setya Novanto adalah politikus kuat sejak zaman Orde Baru. Di era reformasi ia juga bukan tokoh sembarangan. Ia menjabat Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar, partai nomor dua hasil Pemilu 2014 dan memiliki warisan kuat sebagai mesin rezim Orde Baru selama 32 tahun sampai gelombang reformasi 1998. Banyak kasus korupsi yang menyebut-nyebut namanya, tetapi ia selalu lolos. Setya Novanto diduga mempunyai kartu truf sehingga tak tergoyahkan.
Di media sosial viral-lah berbagai meme jenaka atau twitt satire "the power of Setnov", yang sebetulnya merupakan sindiran terhadap bentuk-bentuk politik abrasif. Misalnya, "kalau Setnov tidak bisa mengerjakan soal-soal matematika, pelajaran matematika yang dihapus dari kurikulum". Satu lagi contoh saat Setya Novanto menabrak tiang listrik yang mengakhiri pelariannya dan menjebloskannya ke penjara dalam kasus korupsi KTP elektronik, meme lucu yang viral justru "kalau Setya Novanto menabrak tiang listrik, malah tiang listriknya yang diinterogasi polisi."
"The Power of Setnov" adalah cara publik melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang powerful. Di balik lelucon tersebut, dapat dibaca bahwa ada kelelahan publik dalam menghadapi sistem politik yang dinilai tak berfungsi. Saluran politik melalui mekanisme di parlemen, tidak gampang menaklukkan Setya Novanto. Demikian halnya instrumen hukum yang nyaris tertutup. Berulang kali disebut-sebut dalam beberapa skandal kasus korupsi, Setya Novanto tetap saja lolos. Dalam kondisi nyaris putus asa, humor justru menjadi ekspresi perlawanan dari sikap ketakberdayaan akibat sistem yang malafungsi tersebut.
Mungkin, itu yang dikatakan Jamaluddin Ancok, guru besar psikologi UGM bahwajoke atau lelucon menjadi saluran untuk melepaskan kegundahan dan kemangkelan masalah politik. "Karena menganggap tidak ada channel yang dipakai untuk melepaskan kegundahannya, makachannel yang dinilai paling aman adalah melalui joke. Lelucon adalah salah satuchannel untuk melampiaskan seluruh keresahan. Dengan memakai saluran itu, dia akan merasa lega (Prisma, hal 94). Dalam bahasa Popa (2011), humor dalam pemahaman ini digunakan sebagai mekanisme resistensi dan pelarian (Filani,Politics of Humour and Political Humour in Nigerian Stand-Up Comedy, 2017).
Politik itu Kepercayaan
Kerapkali kita sulit memahami bahasa politik yang diungkapkan para politikus. Terkadang mereka bicara di "langit" sehingga tidak sampai merembes ke "bumi". Tak sedikit contoh-contohcontradictio in terminis yang ditampilkan elite politik. Contohnya, begitu banyak pejabat berkampanye melawan korupsi hingga menandatangani pakta integritas, tetapi begitu banyak juga di antara mereka yang terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK. Sepanjang tahun 2018, setiap bulan sedikitnya ada dua kepala daerah ditangkap KPK.
Padahal modal utama politikus adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan dari rakyat, sulit bagi politikus merebut elektabilitas yang bagus, yang berarti akan sulit mendapatkan mandat rakyat. Tetapi, pepatah Jawa bahwa esuk dhele sore tempe memberi gambaran jelas mengenai karakter manusia yang tidak konsisten dan plintat-plintut. Pada situasi sekarang ini, tidak mudah mempercayai janji-janji politik.
Ada anekdot tentang kanselir Jerman Konrad Adenauer (1876-1967) tentang ketidakkonsistenan. Kanselir yang berjasa membangun kembali Jerman dari reruntuhan Perang Dunia II ini pernah diamuk seorang politisi muda: Bagaimana mungkin Bapak berani mengatakan persis kebalikan dari apa yang Bapak katakan sebulan lalu? Namun, sang kanselir tenang saja menjawab, "Peduli apa saya dengan omongan saya kemarin" (Magniz Suseno,Filsafat Kebudayaan Politik, 1992).
Maka lelucon tentang anggota parlemen atau wakil rakyat yang dikubur secara massal dalam suatu kecelakaan, tentu menjadi ingatan kolektif akan pentingnya nilai sebuah kepercayaan. Selama tiada perubahan radikal di kalangan wakil rakyat, maka kisah itu akan terwarisi terus menerus dari generasi ke generasi.
Pak polisi, sebenarnya tadi ada yang mengaku masih hidup tapi bapak tahu sendiri omongan mereka tidak bisa dipercaya!
Ceritanya, ada sebuah bus yang membawa rombongan wakil rakyat mengalami kecelakaan dan masuk jurang di sebuah desa. Penduduk pun berdatangan memberi pertolongan. Tetapi rupanya tiada penumpang yang selamat. Penduduk pun beramai-ramai menguburkan secara massal para korban. Polisi yang melakukan penyelidikan kemudian menanyai para penduduk. Kata polisi, "apakah wakil rakyat di dalam bus semuanya meninggal?" Penduduk menjawab serentak, "Pak polisi, sebenarnya tadi ada yang mengaku masih hidup tapi bapak tahu sendiri omongan mereka tidak bisa dipercaya!"
Di politik, memang selalu berkelindan persuasi dan kebohongan, saran dan bujukan, penghargaan dan penyuapan, pembuangaan dan kekerasan, kepatuhan dan pengkhianatan, tetapi lelucon atau humor justru memiliki perbendaharaan kaya terhadap instrumen politik. Dengan begitu, dalam bahasa Speier (Wit and Politics: An Essay on Power and Laughter, 1998) lelucon atau humor politik merupakan senjata ofensif yang agresif. Barangkali tipikal humor tentang para wakil rakyat itu bukan termasuk humor adil dan beradab. Menurut Sys NS, "yang tidak adil memang tidak beradab, menurut saya, adanya cuma di istana, gedung DPR, dan kantor-kantor kementerian." (Prisma, hal 136).
Superioritas
Pada sisi lain, humor politik juga menunjukkan superioritas. Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), rasa humor muncul dari "kemuliaan" secara tiba-tiba sewaktu kita mengakui supremasi diri kita terhadap orang lain. Dalam tafsir John Morreall, filsuf humor yang produktif, teori superioritas mungkin teori tawa paling luas di mana tawa adalah ekspresi dari perasaan superioritas seseorang terhadap orang lain (Lintott, Superiority in Humor Theory, 2016). Morreall mengakui bahwa teori superioritas bisa juga untuk humor yang meledek diri sendiri, yang oleh Robert Solomon (2002) ditawarkan sebagai teori humor inferioritas.
Dalam kasus guyonan tentang Setya Novanto memperlihatkan superioritas yang mungkin hanya terhibur ketika didiskusikan dalam ruang humor yang penuh canda tawa. Di forum-forum serius, ia kehilangan makna humornya dan efek tawanya.
Presiden Joko Widodo juga kerap melontarkan guyonan. Tahun 2014 pasca terpilih menjadi presiden, Jokowi diminta tetap bersahaja, jangan jumawa. Dalam pertemuan dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) di Ballroom Ritz-Carlton, Jakarta, pada 5 Oktober 2014, Jokowi menegaskan, "Saya ya begini, dipoles apa pun ya begini, wong memang dari dulu ya begini. Bapak Ibu mau terima atau tidak Jokowi tetap begini" (Detikcom, 6 Oktober 2014). Guyonan Jokowi itu membuat seisi ruangan tertawa dan tepuk tangan. Dengan melontarkan unsur-unsur inferioritas, justru memunculkan aspek superioritas.
Dalam konteks seperti itu, juga dapat dilihat posisi humor "tampang Boyolali" yang viral menjadi perdebatan seru beberapa waktu lalu. "Tampang Boyolali" sebetulnya joke selingan dari kritik Prabowo Subianto terhadap kesenjangan ekonomi saat ini.
Ketika menguraikan masalah kesenjangan antara daerah yang tertinggal dengan kondisi di Jakarta yang dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi dan hotel-hotel mewah, secara interaktif, dalam posisinya sebagai calon presiden Prabowo mengatakan, "Saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel tersebut. Kalian kalau masuk mungkin kalian diusir, tampang kalian tampang tidak orang kaya, tampang kalian, tampang Boyolali, ini, betul."
Secara spontan gurauan itu mengundang gelak tawa. Namun, dalam suhu politik yang diwarnai rivalitas akut menjelang Pilpres 2019, gurauan itu justru menjadi bumerang. Sebab, dianggap melecehkan orang Boyolali, hingga menimbulkan reaksi demonstrasi. Frase "tampang Boyolali" itu adalah bentuk lain makna "wajah ndeso", yang merupakan stereotip akibat persepsi prasangka yang tidak akurat terutama oleh orang kota.
Stereotip memang sering menjadi contenthumor seperti kerap ditampilkan oleh para komedian semisal di acara Stand-Up Comedy. Dalam kacamata Hobbes, menertawakan kekurangan orang lain adalah pertanda kekerdilan jiwa, a sign of pusillanimity, karena kerja sesungguhnya mereka yang berjiwa besar adalah menolong dan membebaskan orang lain dari cerca (Prisma, hal 2).
Humor politik bukan sekadar mengundang tawa, tetapi lebih dari itu ia membawa pesan-pesan yang lebih substantif. Poprawa (Polish Political Humour, an Outline of the Phenomenon, 2012) menyebut bahwa humor politik memiliki tiga fungsi. Pertama, tingkat mental. Ini menjelaskan tentang humor politik dan cerita-cerita lucu tentang dunia politik mengungkapkan identitas aksiologis dan ideologis komunitas. Hal ini terkait dengan fakta bahwa lelucon mencerminkan simbol diskursif dan banyak konseptualisasi sehari-hari dari realitas politik yang menampilkan gambar, sikap dan evaluasi dari peristiwa politik pada tingkat narasi sehari-hari. Sikap-sikap itu dapat disampaikan sebagai serangkaian lelucon.
Selebihnya, jikalau humor dianggap sebagai ice-breaker, sesungguhnya humor menjadi solusi untuk menyehatkan kembali politik yang tampak kusut dan kumuh sekarang ini.
Kedua, tingkat interaktif yakni pernyataan lucu terkait dengan otoritas politik yang dapat diekspresikan oleh politisi, jurnalis, dan komunitas untuk: memancing tawa di antara orang-orang dengan identitas ideologis dan rasa humor yang sama, mendiskreditkan atau mengolok-olok politisi lain (atau kelompok), dan mengkritik aspek negatif dari kehidupan publik.
Ketiga, tingkat tekstual di mana humor politik hadir dalam berbagai situasi dan genre komunikasi politik: a) dalam sirkulasi formal (misalnya media, internet, laporan dari peristiwa politik resmi); b) dalam sirkulasi komunikatif yang tertutup, tersebar seperti lelucon verbal dan pernyataan lucu dalam bahasa sehari-hari atau narasi yang dipertimbangkan secara hati-hati pada portal internet satiris.
Becermin pada fungsi-fungsi humor itu, ada kesimpulan menarik bahwa humor politik semacam titik ekuilibrium antara tekanan dari atas di suprastruktur (elite) yang mengekspresikan superioritas dengan segala instrumen kekuasannya dan dorongan dari bawah di infrastruktur (publik) yang menunjukkan resistensi atau senjata ofensif. Pada titik ekuilibrium itu humor menjadi katup pengaman, setidaknya sementara waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar