Ken Arok dan Niccolo Machiavelli, hidup di zaman yang berbeda. Dalam Serat Pararaton dituliskan Ken Arok hidup sekitar tahun 1182-1247. Sementara Niccolo di Bernardo dei Machiavelli hidup antara tahun 1469–1527. Yang satu lahir di sebuah desa di wilayah Tumapel, Jawa Timur; satunya lahir di Florence, Italia. Yang pertama anak petani gurem; yang kedua anak seorang ahli hukum.
Keduanya terpisah zaman hampir empat abad. Sebuah rentangan abad yang panjang. Walau terpisah zaman yang begitu lebar, tetapi apa yang dituliskan oleh Machiavelli tentang beberapa persoalan yang berkait dengan politik dan kekuasaan, dan yang diuraikan dalam bukunya Il Principe (Sang Penguasa) sudah dilakukan oleh Ken Arok di Tumapel. Buku itu ditulis dari 1512 hingga 1519.
Machiavelli menyebutkan, ada dua cara untuk dapat menjadi penguasa, yang sama sekali tidak dapat disebut karena nasib baik ataupun kemampuan. Kedua cara itu adalah orang menjadi penguasa dengan cara jahat dan keji; dan rakyat biasa bisa menjadi penguasa di kota kelahirannya sendiri atas persetujuan sesama warga masyarakatnya.
Kisah bagaimana Ken Arok merebut kekuasaan dari tangan Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, sekarang sering disebut sebagai tindakan Machiavellian, mengacu pada cara yang pertama. Sindhunata (2008) mengungkapkan bahwa bawah sadar manusia ini penuh dengan kekerasan, seperti kekerasan yang dilakukan Ken Arok. Hati manusia ini diliputi dengan naluri pembunuhan seperti hati anak asuh Bango Samparan (seorang penjudi yang menjadi ayah angkat Ken Arok) itu. Dan, nafsu manusia ini diselimuti oleh rasa birahi untuk memiliki—seperti yang dilakukan Ken Arok yang tak mampu menahan nafsu birahinya untuk memiliki Ken Dendes—walau harus membunuh Tunggul Ametung.
Ken Arok, tidak sendirian melakuan hal itu. Tindakan Ken Arok secara tidak langsung mendapat bantuan dari Brahmana asal India, Lohgawe, yang adalah guru dan bapak angkatnya. Sebelumnya, atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung. Ken Arok juga didukung oleh Bango Samparan yang pernah menjadi bapak asuhnya seorang gembong penjudi. Mpu Gandring juga berperan karena dialah yang membuatkan senjata serta Kebo Ijo. Yang juga berperan adalah Ken Dedes yang meledakkan nafsu Ken Arok.
Seringkali agama yang bermuatan moral menjadi alat kekuasaan (termasuk untuk merebut kekuasaan).
Kehadiran Lohgawe memberikan perlengkapan magis-religius pada kekuasaan yang nantinya dipegang Ken Arok. Dengan kata lain, kehadiran tokoh agama memberikan legitimasi religius bagi kekuasaan. Seringkali agama yang bermuatan moral menjadi alat kekuasaan (termasuk untuk merebut kekuasaan).
Dengan perlengkapan magis-religius ini, penguasa tidak dilihat sebagai subyek yang bertanggung jawab atas tindakannya, melainkan hanya sebuah wadah yang digerakkan oleh kekuatan Ilahi. Dan, karena sang penguasa hanyalah wadah dari yang Ilahi maka rakyat atau warga negara tidak dapat meminta pertanggungjawaban moral dari penguasa (M Sastrapratedja & Frans M Parera, 1996). Karena itu, aksi kekerasan yang terjadi dianggap sebagai sebuah kewajaran.
Itulah tindakan anti-moralitas yang dilakukan Ken Arok untuk meraih, merebut kekuasaan. Menurut Bertrand Russel (1946), anti-moralitas dalam mencapai kekuasaan merupakan inti dari pemikiran Machiavelli. Itu yang dilakukan Ken Arok.
Kekuasaan, memang, telah membutakan mata dan mata hati Ken Arok. Kekuasaan selalu dikatakan Tremendum (kata latinTremendum berarti: mendahsyatkan atau menggentarkan) dan fascinosum (kata latin fascinans berarti mengasyikkan atau menggemarkan). Machiavelli berkesimpulan betapa mustahilnya membangun kekuasaan atas dasar moral. Baginya, politik dan moral merupakan dua bidang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya.
Bahkan, menurut Machiavelli seperti ditulis M Sastrapratedja & Frans M Parera, dalam urusan politik perhatian terhadap norma-norma moral tidak pada tempatnya. Yang diperhitungkan hanyalah sukses.
Meskipun demikian, Machiavelli berkeyakinan bahwa kekuasaan yang hanya berdasarkan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya rapuh adanya. Kisah Ken Arok—juga kisah Nicolás Maduro Moros, presiden Venezuela—membenarkan pendapat Machiavelli ini. Kekuasaan yang digenggam Ken Arok adalah hasil dari kebrutalan dan kelicikan dengan memperdaya Kebo Ijo.
Dimulai dengan membunuh Mpu Gandring (pembuat keris), Tunggul Ametung (pemegang kekuasaan Tumapel), dan Kebo Ijo (sahabat Ken Arok yang digunakan untuk menghilangkan jejak kejahatannya. Kebo Ijo adalah seorang punggawa yang suka pamer. Dia dipinjami keris buatan Mpu Gandring oleh Ken Arok. Keris pinjaman Ken Arok itu dipamerkan ke mana-mana; dan orang mengira itu keris milik Kebo Ijo. Akibatnya, ia menjadi sok, sombong, dan akhirnya mati karena kerisnya, karena kelicikan Ken Arok, terjadilah perebutan kekuasaan di Tumapel.
Apa yang terjadi itu, menurut Sindhunata, merupakan drama mitos yang bercerita tentang kaos, yang melanda hati manusia, ketika hati itu diliputi dan disiram kekerasan. Kekerasan, menurut Thomas Hobbes (1588 – 1679) filsuf dari Inggris, merupakan sesuatu yang alamiah dalam manusia. Manusia adalah makhluk yang kelakuannya semata-mata ditentukan oleh nafsu dan emosinya. Akal budi dan kebebasan kehendak tidak memainkan peranan dalam filsafat manusia Hobbes (Franz Magnis-Suseno, 1986). Tetapi, J.J. Rousseau (1712 – 1778) filsuf kelahiran Geneva, berpendapat kekerasan yang dilakukan bukan merupakan sifat murni manusia.
Kalau mengikuti jalan pemikiran Thomas Hobbes bahwa "kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam manusia," maka kekerasan tidak bisa dipisahkan dari manusia. Karena itu, kekerasan akan menghasilkan kekerasan lain. Ia, kekerasan, bagaikan ibu yang melahirkan anak-anak kekerasan lain.
Pembunuhan Tunggul Ametung oleh Ken Arok, berlanjut dengan pembunuhan Ken Arok oleh orang suruhan Anusapati (anak Tunggul Ametung dengan Ken Dedes); lalu berlanjut ke pembunuhan Anusapati oleh Tohjoyo (anak Ken Arok dengan Ken Umang); Tohjoyo akhirnya dibunuh Ronggowuni (anak Anusapati, 1248-1268).
Lingkaran kekerasan, lingkaran dendam yang ditebar dan ditanam Ken Arok itu seperti tidak pernah patah. Ia menjadi lingkaran setan, yang selalu bertemu.
Meski kuasa dendam itu berakhir dengan naik tahtanya Ronggowuni (bergelar Sri Jaya Wisnuwardana) yang meraja didampingi Mahesa Cempaka (anak Tohjoyo), namun rangkaian peristiwa itu membuktikan bahwa kekerasan akan menghasilkan kekerasan lain.
Dendam akan beranak dendam. Lingkaran kekerasan, lingkaran dendam yang ditebar dan ditanam Ken Arok itu seperti tidak pernah patah. Ia menjadi lingkaran setan, yang selalu bertemu.
Karena itu, lingkaran kekerasan itu harus dipatahkan. Sebab, mengutip pendapat JJ Rousseau, kekerasan yang dilakukan bukan merupakan sifat murni manusia. Karena bukan sifat murni, maka bisa dihilangkan dari dalam diri manusia. Tentu bukan dengan cara kekerasan. Sebab, bila kekerasan dilawan kekerasan akan menghasilkan kekerasan yang dahsyat. Karena itu, kekerasan harus dilawan dengan kelembut-hatian, kerendahatian, dan juga kesabaran.
Kisah Ken Arok ini bukan kisah masa lalu. Kisah ini berjalan mengikuti zaman. Oleh karena kisah ini adalah kisah bawah sadar manusia dan karenanya membayang-bayangi manusia hingga hari ini. Kisah ini menuturkan bahwa bawah sadar kita manusia, sesungguhnya adalah suatu dunia kekerasan yang tak kunjung padam. Meskipun dari waktu ke waktu bentuknya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman.
Di zaman kini, kekerasan dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, tidak lagi dengan keris. Meskipun memiliki dampak positif, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga berdampak negatif pada saat ini menjelang pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Dampak negatif ini terutama dalam konteks banyaknya disinformasi, ujaran kebencian, dan konten-konten yang mengandung berita bohong yang bertebaran, pemutarbalikan fakta, mengadu domba, dan memecah belah.
Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika masyarakat terbius keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka berhasil. Dengan demikian, maka kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.
Orang-orang seperti itu selalu berbicara tentang hantu masa lalu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar. Berbagai cara dilakukan—termasuk mengahalalkan segala cara dengan tindakan anti-moralitas; mentoleransi kekerasan dan kebrutalan—untuk mewujudkan impiannya, termasuk impian meraih kekuasaan dengan menjadikan dirinya selicik rubah dan segalak singa.
Itulah kisah Ken Arok di zaman kini. ***
Kompas, 30 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar