Bangsa Indonesia berpenduduk sekitar 260 juta warga negara. Juga sering diucapkan dengan kebanggaan: terdiri atas sekitar 1.300 suku.

Saat ini, perekonomian Indonesia masuk 10 besar dunia (versi IMF) dan berharap jadi kekuatan ekonomi dunia di tahun 2045. Namun, di tengah hiruk-pikuk kebanggaan, kontestasi gagasan tentang kemajuan Indonesia, klaim kerja berbagai organisasi kemasyarakatan, dan upaya  pembangunan dari masa pemerintahan—baik yang bersifat otoritarian, demokratik, teknokratik, maupun demokratik—bangsa ini melupakan instrumen kemajuan itu sendiri: organisasi!
Tak terhitung jumlah organisasi di Indonesia, mulai dari organisasi pemerintah dan non- pemerintah, formal dan informal, hingga legal dan ilegal.

Untuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) saja, tahun 2010 tercatat lebih dari 11.000 organisasi dan jumlah koperasi diperkirakan sekitar 150.000 (riset publikasi British Council, 2018). Tahun 2009 tercatat 21.000 yayasan dan 268 asosiasi.

Akan tetapi, organisasi tidak dianggap bagian dari pengetahuan yang penting. Sangat mudah melihat kenyataannya. Pergi ke toko buku besar dan coba dapatkan satu buku yang menganalisis dinamika satu organisasi. Bahkan, buku tentang organisasi besar kemasyarakatan bukan tentang logika pengorganisasiannya, paling jauh tentang struktur, kepemimpinan, dan program sosial.

Organisasi sosial yang masih hidup banyak berumur pendek, bekerja tanpa strategi, dan kekurangan sumber daya. Beberapa bertahan hidup dari penyediaan layanan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan koperasi.

Beberapa studi menunjukkan bahwa organisasi umumnya lemah dalam berjaringan. Padahal, kekuatan dan kelemahan organisasi juga dilihat dari kemampuannya berjaringan. Jaringan sangat penting dalam memobilisasi sumber daya. Jaringan juga merupakan gambaran besar tentang seberapa jauh kumpulan organisasi dapat mengatasi tantangan perubahan.

Persoalan organisasi di Indonesia bersifat teknokratis ataupun karena kepentingan. Banyak organisasi di Indonesia bisa hidup tanpa banyak kedisiplinan. Persoalan organisasi yang sebenarnya tidak amat sulit dipecahkan terus ada bertahun-tahun karena tidak ada kepemimpinan dan mekanisme pembelajaran untuk pemecahan masalah.

Organisasi dikelola "secara sosial", dengan kerelaan semata. Padahal, ada bagian-bagian strategis organisasi yang harus dikelola secara profesional. Pengelolaan secara sosial juga membuat banyak orang pintar di dalamnya tidak bisa menggerakkan gagasan baru, apalagi mekanisme penerapannya.

Banyak organisasi lebih diperlukan sebagai "sarang" tempat para anggota sekadar mendapat penghasilan, mencari pengaruh, status, dan identitas. Lihat saja strukturnya yang ramai dan melebar ke samping pada tingkat "eselon satu", menunjukkan organisasi sebagai penampung pengakuan para "elite".

Potensi organisasi

Mengapa karakter organisasi masyarakat sangat penting untuk melihat kemajuan suatu bangsa dan mengapa negara penting memperhatikan perkembangannya? Organisasi adalah alat budaya, ekonomi, dan sosial sekaligus.

Melalui organisasi, masyarakat belajar tentang kedisiplinan berpikir dan menggunakan sumber daya dengan efisien-efektif. Untuk melebarkan programnya, organisasi harus meyakinkan

organisasi lain untuk bekerja sama. Karena itu, dalam beberapa hal, organisasi tempat belajar tentang kepentingan orang lain.

Sebagian organisasi di Indonesia sesungguhnya berpotensi sebagai alat pembangunan. Riset yang dikelola British Council memperkirakan, terdapat cukup banyak organisasi (formal dan informal) mempunyai karakter kewirausahaan sosial, yaitu yang dikelola untuk bertujuan memenuhi aspek kesejahteraan kelompok dan komunitas serta mengelola sumber daya untuk keberlanjutan organisasi.

Jumlahnya diperkirakan ratusan ribu: 300.000-an berasal dari industri kecil dan menengah, 700-an dari kategori lembaga swadaya masyarakat, dan 11.000-an dari kategori koperasi. Organisasi seperti ini sedikit banyak mengandung kapasitas mengelola sumber daya (ekonomi) dan pengetahuan kesejahteraan. Lebih dari itu,

organisasi ini berpotensi jadi wadah pendidikan mental disiplin dan tanggung jawab. Bahkan, organisasi ini berpotensi sebagai wadah kohesi sosial karena membutuhkan kerja sama untuk masukan programnya. Jadi, kalau mau melakukan revolusi mental, gunakan organisasi.

Organisasi dan negara

Negara modern selalu bersinggungan dengan rekayasa organisasi. Bentuknya tidak selalu bersifat campur tangan internal organisasi. Negara memengaruhi karakteristik dan pertumbuhan organisasi sosial melalui kebijakan pendidikan, penegakan hukum, struktur tata kelola organisasi, dan akses pada sumber daya tertentu (misalnya aturan perbankan atau dana pembangunan negara).

Eksperimen terbesar organisasi lokal adalah China dengan merekayasa organisasi ekonomi perdesaan. Hasilnya bisa dilihat sekarang, misalnya model satu desa satu produk dan kemakmuran desa.

Artinya, negara bisa melakukan banyak perubahan kesejahteraan dengan merekayasa organisasi sosial. Tentu rekayasa ini harus dipikirkan secara matang, sesuai dengan konteks ekonomi lokal, kemampuan birokrasi dalam memfasilitasi perubahan, tingkat kewenangan dan pengaruh politik lokal, atau kondisi dunia industri menengah dan sedang.

Perubahan portofolio pelayanan publik dan institusi ekonomi sangat mungkin harus dilakukan. Perubahan di kedua wilayah ini membutuhkan dorongan politik, keterlibatan, dan komitmen kepala daerah.

Sebagai contoh, beberapa portofolio perbankan perlu diubah untuk memfasilitasi ekonomi lokal. Beberapa upaya telah dilakukan, tetapi sifatnya segmental.

Penulis tidak percaya bahwa pemerintah bisa menemukan model pengembangan organisasi dengan cepat. Harus dilakukan riset-riset secara sistematis oleh akademisi dan organisasi yang kompeten.

Saat ini, misalnya, belum diketahui bagaimana organisasi lokal berinteraksi dengan organisasi/lembaga di tingkat nasional; bagaimana masalah formalitas dan informalitas menjadi sesuatu yang produktif.

Apa yang perlu dipahami bukan soal berbagai model organisasi, melainkan juga bentuk interaksi dan koneksinya dengan lembaga lain agar menjadi suatu kekuatan yang besar.