KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati

Rilis Badan Pusat Statistik terbaru, angka kemiskinan di Indonesia turun dari 10,12 persen pada September 2017 menjadi 9,66 persen pada September 2018. Artinya, dalam setahun jumlah penduduk miskin berkurang 910.000 orang dari 26,58 juta orang menjadi 25,67 juta orang. Angka tersebut dengan benchmark garis kemiskinan Rp 410.670 per kapita per bulan.

Bagaimanapun, penurunan tersebut harus disyukuri dan diapresiasi. Target angka kemiskinan single digit mulai konsisten terealisasi sejak Maret 2018.

Namun, sejumlah catatan penting mestinya juga tetap diperhatikan agar tidak melenakan urgensi program pengentasan kemiskinan. Pertama, komposisi garis kemiskinan semakin didominasi makanan. Pada September 2018, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan menyumbang 73,54 persen, meningkat dari September 2017 yang masih 73,35 persen.

Dengan kata lain, kemampuan komposisi pengeluaran penduduk miskin untuk bukan makanan semakin tergerus, tinggal 26,46 persen. Realitas ini tentu tidak bisa dipandang sederhana. Sebab, interprestasi di balik angka tersebut secara sosial ekonomi berimplikasi dalam dan luas.

Setidaknya, secara kasatmata menunjukkan kualitas hidup orang miskin semakin menurun. Pendapatan masyarakat miskin semakin jauh menjangkau pemenuhan kebutuhan di luar kebutuhan dasar.

Lebih miris lagi, kebutuhan pangan pun masih didominasi oleh beras. Bahkan, di perdesaan peranan beras terhadap garis kemiskinan mencapai 25,51 persen, sementara di perkotaan 19,54 persen. Besaran tersebut meningkat dari September 2017, di mana pengaruh beras di perdesaan masih 24,52 persen dan di perkotaan 18,8 persen. Artinya, kebutuhan makanan orang miskin baru sebatas perutnya terganjal oleh nasi.

Di samping itu, data tersebut dapat semakin menjelaskan hubungan antara inflasi yang rendah, tetapi daya beli masyarakat relatif stagnan. Dengan adanya kenaikan porsi makanan terhadap garis kemiskinan, jelas tidak dapat dimungkiri bahwa harga pangan masih tinggi.

Dengan pendapatan masyarakat sebagian besar telah tersedot untuk pemenuhan kebutuhan pangan, niscaya permintaan untuk nonpangan sudah pasti menurun. Karena itu jelas, rendahnya angka inflasi lebih disebabkan oleh tidak adanya dorongan permintaan yang berujung lemahnya konsumsi rumah tangga.

Kedua, tingginya disparitas kemiskinan perdesaan dan perkotaan. Disparitas kemiskinan perkotaan dan perdesaan masih sangat tinggi. Persentase kemiskinan di perkotaan relatif rendah, yakni 6,89 persen, sementara di perdesaan masih mencapai 13,1 persen per September 2018. Ditambah lagi angka ketimpangan yang ditunjukkan oleh rasio gini di perdesaan mencapai 0,391 juga lebih tinggi daripada perkotaan 0,319.

Semakin sempurna permasalahan yang mendera daerah perdesaan. Jika demikian kondisinya, niscaya desa semakin tidak menarik bagi generasi muda. Arus urbanisasi makin tidak mampu dibendung karena sekalipun memiliki potensi besar, daya tolak desa tidak mampu diatasi.

Ketiga, di empat propinsi kaya sumber daya, justru kemiskinan meningkat. Terdapat empat propinsi yang mengalami kenaikan persentase penduduk miskin, yaitu Banten (0,01 persen), Sumatera Selatan (0,02 persen), Kalimantan Timur (0,04 persen), dan Kalimantan Selatan (0,11 persen). Padahal, Banten merupakan propinsi yang menjadi hinterland Ibu Kota negara dan memiliki sumber daya manusia terampil yang cukup.

Dengan sendirinya, mestinya berimbas langsung terhadap ketersediaan infrastruktur dan daya tarik investasi. Sayangnya, perkembangan industrialisasi di Banten justru mengalami penurunan yang cukup drastis dan lebih bergerak di sektor properti. Sementara tiga provinsi lain, sekalipun kaya sumber daya, hanya berkutat sebagai daerah penghasil komoditas. Alhasil, nasibnya hanya bergantung pada harga komoditas ekspor.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Keempat, masih ada 16 provinsi yang angka kemiskinannya dua digit. Beberapa kawasan di Indonesia timur, angka kemiskinan masih sangat tinggi, terutama di Papua mencapai 27,43 persen, Papua Barat 22,66 persen, Nusa Tenggara Timur 21,03 persen, Maluku 17,85 persen, dan Gorontalo 15,83 persen. Bahkan, semua propinsi di Pulau Jawa, kecuali Jawa Barat, memiliki angka kemiskinan dua digit, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta 11,81 persen, Jawa Tengah 11,19 persen, dan Jawa Timur 10,85 persen.

Dengan melihat empat catatan terhadap capaian program penurunan kemiskinan tersebut, tentu publik jadi bertanya terhadap relevansi dan efektivitas program pengentasan kemiskinan selama ini. Setidaknya, pemerintah telah memiliki lima andalan program penanggulangan kemiskinan, antara lain (1) Program Keluarga Harapan (PKH) bagi 10 juta keluarga penerima manfaat, (2) bantuan pangan nontunai bagi 15,6 juta keluarga, (3) bantuan pendidikan bagi 20,1 juta anak usia sekolah, (4) perluasan bantuan iuran kesehatan bagi 96,8 juta jiwa, dan (5) integrasi data agar subsidi energi tepat sasaran. Setidaknya, jika alokasi anggaran bantuan pangan nontunai efektif, minimal terdapat 15,6 juta keluarga yang menerima bantuan.

Belum lagi penyaluran kredit ultramikro atau kredit usaha rakyat. Realisasi penyaluran KUR pada Januari-Oktober 2018 mencapai Rp 15,28 triliun. Tercatat penyaluran KUR produksi mencapai Rp 7,49 triliun atau 49 persen dari total KUR, di mana KUR ke sektor pertanian sebesar 37 persen, jasa produksi mencapai 54 persen, sektor perikanan 0,5 persen, dan sektor industri pengolahan 8,5 persen. Ditambah lagi alokasi dana desa Rp 70 triliun, di mana sekitar 25 persen diberikan ke desa dengan jumlah penduduk miskin tinggi.