INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018.

Tahun 1666 merupakan tahun bersejarah bagi Inggris. Pada tahun itu, Inggris terlibat perang laut melawan Belanda. Pada tahun yang sama, London terbakar. Ini yang kemudian disebut sebagai "Great Fire of London".

Ketika itu, London dilalap api dari hari Minggu, 2 September 1666 hingga Rabu, 5 September 1666. Lidah-lidah api menghancurkan lebih dari 15.000 rumah yang dihuni oleh 70.000 penduduk London; hampir 100 gereja, dan pusat-pusat bisnis, yang membentang sepanjang 40 mil.

Akan tetapi, jumlah korban jiwa, menurut catatan resmi, "hanya" enam orang. Jumlah korban tewas yang dicatat "hanya" enam sebagai konsekuensi dari hirarki sosial pada waktu itu, yakni kematian orang-orang miskin penduduk London, tidak dianggap dan karena itu tidak dicatat.

AFP/TOLGA AKMEN

Seni instalasi cahaya ditampilkan di Kew Gardens di London, Inggris, Rabu (21/11/2018). Aneka instalasi seni cahaya dan laser ditampilkan di sesi pemotretan dalam rangka peluncuran "Natal di Acara Taman Kew". Taman Kew sendiri merupakan warisan dunia UNESCO terbesar di London yang menawarkan lanskap unik dan arsitektur ikonik.

Peristiwa itu, dua kemenangan armada Inggris atas armada Belanda dan terselamatkannya London dari "Great Fire of London", yang menginspirasi John Dryden (lahir di Aldwinkle, Northamptonshire, 19 Agustus 1631, dan meninggal di London, 12 Mei 1700) menulis puisi yang diber judul Annus Mirabilis (1667).

Dryden dikenal sebagai seorang penyair, dramawan, dan kritikus sastra yang mendominasi jagad kesusastraan Inggris pada waktu itu, sehingga muncul sebutan "Zaman Dryden."

Dan, puisi Annus Mirabilis yang merupakan rekaman tragedi yang menyapu London, telah meneguhkan jabatan Dryden sebagai penyair istana menggantikan William D'Avenant pada tahun 1668. Bila orang lain memandang kebakaran besar London sebagai bukti bahwa Allah menghukum kota itu—seperti kisah Sodom dan Gomora—tetapi Dryden melihat lain.

Ia melihat kerusakan dan kehancuran London sebagai sarana untuk membersihkan dan memurnikan kota itu. Dan, kebakaran itu, menjadi kesempatan untuk membangun kota yang lebih baik, lebih indah, lebih besar.

KOMPAS/ WISNU NUGROHO

London Eye di tepi Sungai Thames saat malam. Posisinya berserberangan dengan Big Ben yang menjadi salah satu ikon London. Foto diambil 16 November 2016.

Api telah menjadi sarana lahirnya kehidupan baru. Api menjadi lambang keselamatan. Api menjadi lambang pemurnian. Itu yang dilihat dan diyakini oleh Dryden. Lewat puisinya, Annus Mirabilis, Dryden ingin mengungkapkan bahwa semua bencana ini dapat dihindari, bahwa Allah telah menyelamatkan Inggris dari kehancuran, dan bahwa Allah telah melakukan mukjizat untuk Inggris.

Menurut Merriam-Webster, Dryden menjadi salah seorang penulis pertama yang menggunakan frase Latin dalam konteks bahasa Inggris. Annus mirabilis adalah terjemahan langsung dari Bahasa Latin Baru, bentuk bahasa Latin yang telah digunakan sejak akhir periode abad pertengahan (terutama untuk deskripsi dan klasifikasi ilmiah). Ungkapan ini tidak terlalu umum, tetapi digunakan oleh penulis dan sejarawan untuk menunjukkan tahun yang luar biasa.

Annus Horribilis
Apakah tahun 2019, juga akan menjadi annus mirabilis bagi Indonesia? Rasanya tidak mengada-ada mengajukan pertanyaan itu, mengingat segala peristiwa sepanjang tahun 2018, dan bahkan 2017.

Berbagai peristiwa politik nasional, berbagai narasi politik, berbagai macam pernyataan politik, berbagai ragam ujaran kebencian, berbagai bentuk berita hoaks, berbagai warna cercaan bernuansa sektarian, dan berbagai tindakan intoleran mewarnai tahun 2018.

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Puluhan warga melakukan upacara labuhan untuk mendoakan perdamaian bagi bangsa Indonesia, di Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (25/10/2018) sore. Upacara itu merupakan bentuk keprihatinan warga atas tindak intoleransi yang masih terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Tidak aneh kemudian kalau di tahun lalu, orang melihat tahun 2019 seperti tahun yang ditutupi awan hitam, awan kegelapan. Orang seperti menyaksikan dari jauh, pesta demokrasi—saat dilaksanakan pemilu legislatif dan eksekutif—bukan lagi sebagai pesta yang memberikan kebahagiaan, dan kenangan indah setelah merayakan perbedaan, melainkan malapetaka.

Hal itu, malapetaka, bisa terjadi andaikata pesta demokrasi tak lebih dari menghamburkan-hamburkan kata-kata sekadar untuk menfitnah dan mencerca pihak lain. Malapetaka bisa terjadi kalau atas nama kebebasan berpendapat dan bersuara yang dijamin oleh demokrasi, kampanye hitam disebar-luaskan.

Malapetaka bisa terjadi bila urusan bangsa yang sangat besar dan penting, telah dijadikan sebagai urusan personal. Malapetaka juga bisa terjadi, bila berpolitik tidak lagi untuk bonum commune, kemaslahatan masyarakat, tetapi lebih untuk kepentingan diri, kekepentingan kelompok, kepentingan golongan sendiri, bahkan kepentingan keluarga.

Malapetaka bisa terjadi bila urusan bangsa yang sangat besar dan penting, telah dijadikan sebagai urusan personal.

Bila semua itu terjadi, maka tahun 2019 bukanlah annus mirabilis melainkan annus horribilis, tahun melapetaka. Oleh karena kata-kata, kekhasan manusia—yang memiliki nalar, martabat dan keluhuran, yag memiliki bahasa, yang memiliki hati—telah membusuk. Pada saat itu, hancurlah peradaban manusia.

KOMPAS/ RONY ARIYANTO NUGROHO

Sejumlah massa dari sejumlah ormas di Jawa Barat menggelar aksi di depan DPRD Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, menolak keberadaan ormas intoleran di Jawa Barat, Selasa (17/1/2017). Meraka menilai keberadaan ormas intoleran justru bertentangan dengan asas Pancasila yang menjunjung tinggi kebinekaan.

Benar yang dikatakan oleh Svetlana Alexievich, peraih Nobel Sastra 2015, kata-kata memiliki kekuatan, membangun, menginspirasi, sekaligus menghancurkan. Bahkan, dahulu kala Raja Salomon bin Daud pernah mengatakan, "Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya."

Dalam rumusan lain, dapat dikatakan, kata-kata memiliki potensi untuk menghasilkan konsekuensi positif atau negatif. Kata-kata memiliki kekuatan untuk memberikan kehidupan dengan dorongan atau kejujuran atau kata-kata juga bisa menghancurkan dan membunuh lewat kebohongan dan gosip, hujatan, ujaran kebencian, berita bohong, hoaks, dan juga kampanye hitam dengan memanipulasi kebenaran.

Secercah Cahaya
Begitulah catatan sepanjang tahun 2018. Kita semua menyaksikan bagaimana, sejumlah pelaku sejarah merobek-robek tenun kain keindonesiaan yang begitu indah, yang ditenun oleh para pendiri bangsa ini. Tetapi, pada saat yang bersamaan, kita juga menjadi saksi bagaimana para pelaku sejarah berjuang keras untuk mempertahankan tenun kain keindonesiaan tetap utuh, tidak terobek, bahkan tidak tercerabut seutaspun benangnya.

Kita, memang, menjadi sangat prihatin dan sedih menyaksikan bagaimana mereka yang seharusnya memberikan contoh kebaikan, justru meneriakkan contoh ketidakbaikan; bagaimana mereka yang seharus menjadi panutan, justru tidak bisa dianut; bagaimana persaudaraan yang seharusnya dipelihara, justru dicerai-beraikan; bagaimana keanekaragaman yang ada di negeri ini entah suku, agama, rasa, etnik, maupun golongan seharusnya dipelihara dan diperkokoh, justru dirongrong serta digoncang-goncang; bagaimana Pancasila dan UUD 1945 yang seharusnya dibela tetap berdiri hingga titik darah penghabisan, justru digoyang-goyang.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Umat lintas agama berbincang di patung Garuda Pancasila di Gereja Katedral, Jakarta, saat kumpul menjelang buka bersama lintas agama dengan tema Menguatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan, Jumat (1/6/2018). Berkumpulnya umat lintas agama di saat Hari Lahir Pancasila ini menjadi salah satu bentuk nyata kuatnya kebersamaan lintas iman yang penting menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Akan tetapi, kita pantas bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, di dalam kegelapan kita semua yang mencintai negara dan bangsa ini, berbekal terang dari kejernihan hati mampu melihat secara terang-benderang, berbagai persoalan yang ada di negeri ini.

Di dalam kegelapan dengan matahati yang jernih kita melihat berbagai kekuatan dan kelompok yang dengan sengaja membuat langit Indonesia gelap gulita. Di dalam kegelapan, kita justru mampu tidak hanya melihat tetapi bahkan membongkar real politik.

Di dalam kegelapan tetapi dengan terang hati, bangsa Indonesia sadar bahwa ada fenomena neonasionalisme, nasionalisme eksklusif, nasionalisme sempit yang mengancam kebinekaan negara ini. Padahal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk baik dalam hal suku, agama, ras, etnik, budaya, kepercayaan, bahasa, dan sebagainya yang menjadi kekuatan kita selama ini. Bangsa Indonesia ibarat pelangi yang begitu indah karena beranekawarna.

KOMPAS/ PRIYOMBODO

Masjid dan Klenteng Berdampingan – Warga berjalan menuju Klenteng Kwang Fuk Miaw dengan latar belakang Masjid Jami' Muntok di Muntok, Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (10/2/2010). Dua tempat ibadah itu dibangun berdampingan sebagai wujud toleransi beribadah. Bahkan pembangunan masjid juga melibatkan bantuan dari warga Tionghoa.

Dengan keindahan pelangi itu, kita, bangsa Indonesia memasuki tahun 2019 sebagai Tahun Persatuan, bukan Tahun Politik yang cenderung mencari menang-menangan, yang cenderung menghalalkan segala cara demi kemenangan, demi kekuasaan. Semoga di ujung pelangi ada sekeranjang emas, yang akan membawa ke kejayaan Indonesia.

Karena itu, tidak berlebihan kalau banyak yang berharap semoga tahun 2019 akan menjadi annus mirabilis, tahun yang penuh harapan, tahun sukacita dan memberikan berkah melimpah pada bangsa Indonesia; tahun kemenangan bagi kemanusiaan sejati, kemenangan bagi hati dan pikiran yang jernih yang masih tetap meyakini bahwa berpolitik adalah untuk kesejahteraan bersama. Dan, tidak menjadi tahun di mana kewarasan hati dan pikiran tergadaikan, karena memburu kekuasaan.