KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Enny Sri Hartati

Komisi Pemilihan Umum kembali menyelenggarakan debat calon presiden seri kedua dengan mengangkat empat isu strategis dan fundamental. Masalah pangan, energi, infrastruktur, serta sumber daya dan lingkungan hidup merupakan kunci utama keberhasilan pembangunan.

Pangan merupakan kunci kedaulatan sebuah bangsa, apalagi untuk negara dengan penduduk besar seperti Indonesia. Masalah energi merupakan kunci meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi. Infrastruktur merupakan kunci untuk akselerasi atau percepatan pembangunan ekonomi. Terakhir, isu sumber daya alam dan lingkungan hidup yang akan menentukan keberlangsungan pembangunan ekonomi untuk masa depan Indonesia.

Pertama, masalah pangan. Isu ini sangat seksi karena menyangkut kebutuhan dasar rakyat, baik petani sebagai produsen pangan maupun kepentingan masyarakat sebagai konsumen. Polemik dua sisi kepentingan ini sering dimanfaatkan dan menjadi obyek politisasi kebijakan pangan.

Prinsip dasarnya, keterjangkauan dan stabilitas harga merupakan hubungan komplementer produksi dan kebutuhan. Tanpa konsistensi kebijakan perbaikan manajemen produksi di sektor hulu, sulit memacu peningkatan produktivitas petani. Posisi petani tak hanya menjadi subyek, tetapi juga memperoleh insentif ekonomi. Secara rasional, petani leluasa memilih komoditas unggulan dengan produktivitas dan kesejahteraan optimal.

Dengan demikian, polemik terkait impor pangan juga dapat diakhiri. Pemerintah hanya perlu menjaga akurasi dan validasi data produksi dan kebutuhan tiap-tiap komoditas pangan pokok.

Jika ada data neraca komoditas pangan antara daerah, manajemen produksi dan distribusi pangan akan semakin efisien. Pengaturan masa tanam dan masa panen antardaerah dapat dikoordinasikan dan disinergikan. Persoalan pasokan melimpah dan kejatuhan harga ketika panen serentak tidak perlu terjadi, termasuk kelangkaan produksi yang memicu kenaikan harga secara drastis. Jika petani memiliki kemandirian, impor pangan tidak lagi menjadi masalah dilematis.

Kedua, masalah energi. Indonesia defisit kebutuhan energi, khususnya minyak, dan menjadi pengimpor bersih bahan bakar minyak sejak 2003. Kini, rata-rata konsumsi bahan bakar minyak (BBM) per hari diperkirakan mencapai 1,6 juta barel, sedangkan produksi sekitar 800.000 barel per hari. Bahkan, jika Indonesia tetap menjadikan gas sebagai komoditas ekspor, dengan tidak membangun infrastruktur gas di dalam negeri, tidak dimungkiri, Indonesia juga bisa menjadi pengimpor bersih gas. Pada 2018, defisit neraca perdagangan migas mencapai 12,4 miliar dollar AS.

Kebutuhan energi terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan, jumlah kebutuhan energi mencapai 2.744 juta barel setara minyak pada 2024. Persoalannya, pasokan energi Indonesia masih didominasi energi tak terbarukan, yakni 91,6 persen. Adapun pemanfaatan energi baru terbarukan baru 8,4 persen. Jika dalam debat capres yang muncul hanya program B20 atau B90, hal itu tidak akan cukup untuk mengantisipasi dan memitigasi potensi krisis energi.

Tidak dapat dimungkiri, masyarakat dan dunia usaha menuntut dan akan memilih energi murah. Pemerintah harus segera membuat rencana matang dan program konkret secara bertahap untuk merealisasikan diversifikasi energi.

Investasi 
Ketiga, infrastruktur. Tujuan utama percepatan pembangunan infrastruktur adalah mengakselerasi produktivitas dan daya saing nasional. Pada akhirnya, hal itu akan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, fokus dan prioritas pembangunan infrastruktur tak hanya memacu kuantitas dan mengatasi ketertinggalan. Produktivitas meningkat jika infrastruktur mampu menjadi daya dukung dalam merealisasikan kegiatan produktif, terutama yang bernilai tambah tinggi.

Namun, sampai saat ini, percepatan pembangunan infrastruktur belum mampu memperbaiki peringkat Indeks Performa Logistik. Pada 2018, Indonesia berada di peringkat ke-46, sementara Malaysia ke- 41, Vietnam ke-39, dan Thailand ke-32. Posisi Indonesia berada di peringkat ke-36 dari 140 negara dalam Indeks Daya Saing Global 2017-2018.

Secara peringkat daya saing, Indonesia membaik, terutama dalam dimensi pasar yang besar (9) dan lingkungan ekonomi makro yang relatif kuat (26). Akan tetapi, dari dukungan infrastruktur, Indonesia masih menghadapi masalah kualitas jalan yang rendah (68), kualitas pelabuhan (72), serta kelistrikan dan telekomunikasi (77).

Ketersediaan infrastruktur ekonomi dasar yang terbatas tersebut masih menjadi hambatan utama dalam realisasi investasi langsung di Indonesia. Tren kinerja industri justru turun, proses deindustrialisasi semakin masif. Alih-alih berbicara dukungan untuk Industri 4.0, peringkat kesiapan teknologi masih di peringkat ke-80, sedangkan efisiensi pasar tenaga kerja di peringkat ke-96.

Karena itu, prioritas pembangunan infrastruktur mesti dapat menjawab kebutuhan perekonomian. Pembangunan infrastruktur yang mampu meningkatkan produktivitas sekaligus daya saing mestinya dapat dilakukan. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang dipisahkan laut, tentu infrastruktur konektivitas laut akan jauh lebih efisien.

Keempat, sumber daya dan lingkungan hidup. Kendati Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, niscaya itu akan habis jika terus terjadi eksploitasi. Bahkan, dampaknya pada kerusakan lingkungan hidup tak terelakkan. Sayangnya, eksploitasi SDA hanya berhenti untuk menghasilkan komoditas. Terbukti sekitar 70 persen ekspor Indonesia masih didominasi komoditas.

Melihat kompleksitas masalah dalam empat bidang itu, masyarakat tidak cukup diberi komitmen atau janji-janji normatif belaka. Perlu tawaran program yang lebih konkret dan terukur dalam mengatasi masalah tersebut.