Salah satu alasannya adalah bahwa rasio utang pemerintah saat ini hanya 29,98 persen dari produk domestik bruto (PDB), masih jauh di bawah batas yang diperbolehkan Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 60 persen. Pertanyaannya adalah apakah rasio utang terhadap PDB di bawah 60 persen dapat dikatakan aman dalam arti tidak ada potensi bahaya keuangan sama sekali? Apakah ini hanya satu-satunya tolok ukur batas aman utang negara?
Di dalam tulisannya, Saudara Nufransa juga menyatakan bahwa besarnya utang pemerintah saat ini tidak berarti pemerintah tidak mampu membayar utang yang dapat membuat negara bangkrut. Bahkan, Saudara Nufransa memberikan contoh bahwa pemerintah mampu membayar seluruh utang negara yang jatuh tempo pada tahun 2018 sebesar Rp 501,3 triliun.
Ada beberapa pokok permasalahan yang perlu diluruskan atas tulisan Saudara Nufransa. Memang benar bahwa utang negara merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang tecermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kalau APBN defisit, artinya pendapatan negara lebih kecil dari belanja negara, (stok) utang pemerintah secara nominal bertambah untuk menutupi defisit tersebut.
Sebaliknya, kalau APBN surplus, (stok) utang pemerintah berkurang karena surplus APBN dapat digunakan untuk membayar utang. Artinya, utang pemerintah hanya dapat dibayar kalau ada surplus pada APBN. Ini prinsip yang sangat penting untuk diketahui publik: pemerintah hanya dapat membayar utang negara kalau terjadi surplus pada APBN.
Oleh karena itu, bagaimana mungkin pemerintah dapat melunasi utang yang jatuh tempo pada 2018 sebesar Rp 501,3 triliun kalau pada tahun tersebut terjadi defisit APBN sebesar 1,76 persen (angka perkiraan Saudara Nufransa)? Dari mana pemerintah mendapatkan uang itu? Pemerintah melunasi utang ini dari menerbitkan surat utang baru. Artinya, utang lama dilunasi dari utang baru. Oleh karena itu, jumlah utang 2018 meningkat, meskipun utang yang jatuh tempo pada 2018 sudah dibayar, karena pembayarannya dilakukan melalui penerbitan utang baru.
Kedua, memang benar batas maksimum utang pemerintah menurut UU Keuangan Negara ditetapkan 60 persen dari PDB, yang kemudian dianggap sebagai batas aman utang pemerintah. Ini adalah penafsiran yang keliru. Pertama, batas rasio utang 60 persen tersebut diadopsi dari perjanjian Maastricht pada 1992 dalam rangka menyelaraskan kebijakan fiskal anggota negara-negara Uni Eropa.
Batas 60 persen itu dihitung dari dua kali rasio pendapatan pajak terhadap PDB negara-negara maju (OECD) yang ketika itu rata-rata sekitar 30 persen. Untuk negara berkembang, rasio pendapatan pajak rata-rata sekitar 20 persen sehingga batas aman rasio utang negara ditetapkan 40 persen. Indonesia masuk negara berkembang. Lebih parah lagi, rasio pajak Indonesia saat ini hanya sekitar 10 persen dari PDB.
Lampu kuning?
Karena itu, dengan mengadopsi pemikiran Maastricht Treaty, rasio utang pemerintah yang dianggap aman seharusnya hanya 20 persen dari PDB, yaitu dua kali 10 persen rasio pajak. Saat ini rasio utang pemerintah mendekati 30 persen dari PDB. Sebagai contoh bahwa batas aman utang 60 persen kadang tidak berlaku dapat dilihat pada kasus krisis mata uang (currency crisis) yang melanda Argentina dan Turki tahun 2018, di mana nilai mata uangnya terdepresiasi tajam.
Argentina bahkan perlu minta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membantu krisis mata uang (keuangan) tersebut. Kalau tidak ada bantuan IMF, dipastikan Argentina akan gagal bayar (default) atas utang-utangnya. Padahal, utang Pemerintah Argentina dan Turki masing-masing hanya 57,1 persen dan 28,3 persen dari PDB, jauh di bawah batas yang dianggap aman 60 persen. Toh, mereka terperangkap ke dalam krisis mata uang.
Risiko utang pemerintah bukan terletak pada rasio utang terhadap PDB yang ditetapkan 60 persen tersebut. Namun, risiko utang sebenarnya terletak pada utang luar negeri pemerintah, dan utang luar negeri secara keseluruhan termasuk swasta, karena pembayaran utang luar negeri memerlukan kemampuan negara menghasilkan devisa untuk membayar utang luar negeri tersebut.
Kalau kemampuan menghasilkan devisa sangat lemah, utang luar negeri akan menjadi beban. IMF menambah dua kriteria untuk mengukur batas aman utang. Pertama, batas rasio utang luar negeri terhadap PDB maksimal 30 persen. Sementara rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB pada 2018 sudah mencapai 35,8 persen, jadi sudah lampu kuning, dengan total utang luar negeri pada akhir 2018 sebesar 376,8 miliar dollar AS atau Rp 5.312,8 triliun (kurs Rp 14.100), dan PDB sekitar Rp 14.837,4 triliun.
Kedua, rasio beban bunga utang pemerintah terhadap pendapatan pajak maksimal 10 persen. Untuk Indonesia, rasio tersebut (2017) mencapai 15,9 persen, dengan beban bunga Rp 217 triliun dan pendapatan pajak Rp 1.363 triliun. Hal ini disebabkan rasio pendapatan pajak pemerintah sangat rendah dan terus menurun, menjadi hanya 9,8 persen dari PDB (2017). Jadi, sudah masuk lampu kuning juga. Selain itu, kemampuan Indonesia menghasilkan devisa sangat buruk, dengan defisit neraca transaksi berjalan 3 persen lebih sejak triwulan II-2018.
Oleh karena itu, batas aman utang negara tidak bisa dilihat dari rasio 60 persen saja, tetapi juga tergantung dari total utang luar negeri dan rasio pendapatan pajak pemerintah. Kedua rasio ini sangat buruk bagi Indonesia seperti dijelaskan di atas. Bahkan, utang pemerintah didominasi oleh utang luar negeri, dengan lebih dari 60 persen dipegang oleh asing. Hal ini memberi penjelasan mengapa utang Pemerintah Jepang aman-aman saja meskipun mencapai 260 persen dari PDB, karena hanya sekitar 11 persen utang Pemerintah Jepang dipegang oleh asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar