Di zaman modern ini, riset memang tulang punggung kemajuan bangsa. Tidak ada bangsa maju tanpa riset yang baik. Perguruan tinggi, lembaga riset pemerintah, dan lembaga think tank non-pemerintah menciptakan pengetahuan, mengeksplorasi cakrawala untuk membuka berbagai kemungkinan kemajuan (progress), membangun kualitas kewargaan (citizenry), dan keadaban publik (public civility).
Itu bukan teori, melainkan saya alami sendiri sebagai seorang peneliti di Inggris dan Eropa selama delapan tahun sebelum dipanggil pulang ke Indonesia pada 2012. Riset menjadi faktor utama keunggulan Inggris dan negara-negara Eropa dalam bersaing di kancah global. Bersama inovasi, riset menjadi kunci mendorong perbaikan kualitas hidup manusia dan bernegara, yang pada ujungnya adalah produktivitas dan daya saing bangsa (Nelson, 1993).
Riset terkait erat dengan kemajuan bangsa secara kompleks dan berdimensi jamak. Namun, upaya memperjelasnya justru sering diabaikan. Misalnya, menganggap alokasi anggaran negara untuk riset akan serta-merta meningkatkan kualitas riset dan mendorong daya saing bangsa. Anggapan itu tak saja keliru, tetapi juga naif jika ditempatkan dalam konteks pembuatan kebijakan tentang riset.
Presiden Joko Widodo, misalnya, mempertanyakan apa hasil dan dampak dari anggaran riset Rp 24,9 triliun per tahun di Indonesia yang direspons Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dengan usulan menghapus lembaga litbang (Kompas, 10/4/2018). Karena itu, bukan saja kita perlu tahu hakikat riset, melainkan juga membangun dan merawat ekosistemnya. Itu syarat memahami kaitan antara riset dan kemajuan bangsa.
Riset dan produksi pengetahuan
Ada tiga hal mendasar tentang riset. Pertama, riset dasar memperluas pemahaman mengenai disiplin-disiplin ilmu khusus. Kedua, riset terapan memungkinkan adanya komersialisasi produk dan mendorong perbaikan kebijakan. Ketiga, perguruan tinggi dan lembaga riset menumbuhkan pemikiran kritis. Ketiganya harusada.
Hanya dengan ketiganya ini sebuah bangsa akan punya apa yang disebut Jawaharlal Nehru scientific temper atau perangai ilmiah, yakni komitmen bangsa terhadap jalan pemikiran yang sistematis untuk penciptaan pengetahuan (knowledge production), menyebarkan ide-ide baru, serta menjelaskan hukum semesta melalui observasi faktual dan pencarian kebenaran. Ia tak hanya dibutuhkan untuk perbaikan kebijakan, tetapi juga kunci menata hidup bersama, apalagi di era post-truth dan hoaksseperti saat ini.
Dekade lalu Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga di bidang produksi pengetahuan. Kini, pemerintah sadar pentingnya sektor pengetahuan. Hal ini tecermin dari sejumlah upaya. Pertama, disusunnya Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) lewat Peraturan Presiden No 38/2018 sebagai rujukan prioritas riset di Indonesia. Kedua, draf RUU mengenai Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RUU Sisnas Iptek) yang juga menggarisbawahi kebutuhan akan ekosistem yang mendukung iklim riset di Indonesia.
Ketiga, Perpres No 16/2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang dalam bidang riset menekankan perlunya pengadaan publik terkait riset yang berkualitas, baik dari perguruan tinggi maupun lembaga think tank. Keempat, Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang memberi ruang untuk merekrut talenta riset berpengalaman pada posisi yang cukup senior, yang sebelumnya tidak dimungkinkan.
Kerangka regulasi ini memberi ruang gerak bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk membentuk kondisi pemungkin (enabling conditions) agar penciptaan pengetahuan bisa berjalan. Kondisi pemungkin inilah yang disebut ekosistem riset: bagaimana riset perlu ditata, dikelola, diberi sumber daya, dan diatur dalam tata institusi. Karena itu, muncul juga wacana mengenai berbagai kerangka institusi di sektor pengetahuan: dari balitbang, badan riset nasional, world class university, hingga dana abadi penelitian.
Namun, penataan dan solusi institusi butuh syarat: kita perlu melihat prinsip dan fungsi ekosistem riset yang sehat. Tanpa itu, akan ada risiko isomorphic mimicry (Andrews, et al, 2017), yakni sekadar meniru—bertingkah seakan- akan telah melakukan reformasi dengan mengubah kebijakan ataupun organisasi—tanpa benar-benar melihat kondisi sebenarnya sehingga hanya menghasilkan perubahan yang tak signifikan.
Prinsip dan aspek ekosistem riset
Ekosistem dalam riset adalah hasil sekaligus prasyarat. Artinya, ekosistem yang baik akan menghasilkan riset yang bermutu, yang dibutuhkan untuk melahirkan ekosistem yang lebih baik lagi.
Ekosistem riset punya beragam fungsi dan aktor, mulai dari riset tingkat dasar hingga terapan yang mendorong munculnya inovasi dan perubahan kebijakan, yang berlangsung baik di dalam maupun di luar perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Ia juga mempunyai sejumlah prinsip tata kelola: akuntabilitas, otonomi dan kualitas, yang diterapkan dalam ekosistem riset, yang mencakup pendanaan, kelembagaan, sumber daya manusia, dan regulasi.
Pertama, dalam hal pendanaan. Investasi untuk riset dan pengembangan di Indonesia masih sangat rendah. Pendanaan riset hanya mencapai 0,21 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2017, jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain yang mencapai 1-2 persen atau negara- negara Asia Timur yang lebih dari 3 persen. Sebagian besar, jika tidak seluruhnya, dana itu merupakan jenis pendanaan nonkompetitif. Hal ini berdampak pada kualitas riset yang didanai.
Untuk menjamin kualitas riset, pendanaan riset semestinya kompetitif. Apalagi kualitas riset juga berkaitan dengan pemanfaatan hasil riset, bukan sekadar publikasi. Kualitas itu akan bisa dicapai melalui competitive tensioning' (Walmsley, 2016), yakni membandingkannya dengan yang terbaik di dunia melalui proses peer review. Peran kompetisi di sini menjadi sangat penting untuk memastikan excellence dari sebuah riset. Prinsip Haldane (1918) menyatakan bahwa proses seleksi pendanaan riset harus dilakukan oleh para ilmuwan pakar melalui dewan riset ilmiah independen. Di Indonesia, gagasan tentang dana abadi penelitian (semacam Lembaga Pengelola Dana Pendidikan/LPDP tapi khusus untuk riset) yang saat ini banyak dibicarakan bisa dikelola oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang sejak 2016 mendukung Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI). Dana ini akan menyediakan hibah bagi penelitian yang berkualitas melalui seleksi ketat dengan sistem ulasan sejawat secara anonim (blind peer review).
Kedua, dari sisi kelembagaan. Pada 2018 ada lebih dari 4.700 perguruan tinggi di Indonesia, 586 di antaranya berbentuk universitas. Dari jumlah tersebut, hanya Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang masuk daftar 1.000 universitas dengan riset berkualitas di dunia pada 2019 (Times World University Rankings).
Padahal, 10 tahun lalu, UI, ITB, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) berada dalam peringkat 500 besar dunia. Ironisnya, kondisi ini terjadi meski 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan tinggi. Selain perguruan tinggi, di tingkat nasional ada 81 lembaga pemerintah yang terdiri dari 38 lembaga pemerintah kementerian (PK), 6 lembaga riset non-kementerian, dan 37 lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) yang melakukan litbang.
Karena itu, kebijakan menaikkan anggaran riset butuh prasyarat reformasi kelembagaan dan peta jalan (roadmap) mengenai pemanfaatan dana tersebut. Menurut OECD (2003), dana publik untuk riset akan mencapai hasil maksimal jika dialokasikan bagi universitas dan lembaga think tank ketimbang melalui lembaga litbang pemerintah yang saat ini di Indonesia menerima sekitar 80 persen dana litbang. Perlu diketahui bahwa peran pokok litbang pemerintah adalah untuk mendukung penyusunan kebijakan dan tugas/fungsi pemerintah itu sendiri. Dibandingkan dengan riset dasar dan terapan, efektivitas belanja litbang pemerintah memang harus ditingkatkan.
Ketiga, dalam hal sumber daya manusia. Saat ini ada lebih dari 292.000 dosen aktif serta 8.700 peneliti yang bekerja di 4.700 perguruan tinggi dan 81 lembaga pemerintah. Sebanyak 70 persen dosen merupakan lulusan S-2. Aset semacam ini harus dikelola supaya bisa menjadi critical mass yang mendorong budaya ilmiah unggul. Menurut Willy Toisuta, perlu satu strategi nasional untuk mendorong sosok-sosok berbakat berpartisipasi dan terlibat dalam ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge economy) serta membangun budaya universitas yang menghargai kompetensi, kualitas, serta melatih mahasiswa untuk berpikir kritis dan melakukan riset (Kompas, 28/1/2019).
Di negara Asia Pasifik lainnya, kunci sukses dalam mewujudkan universitas kelas dunia adalah melalui internasionalisasi dengan merekrut akademisi berkualitas dari luar negeri dan membayar mereka secara kompetitif supaya bisa menghasilkan publikasi di jurnal-jurnal terbaik dunia (Bank Dunia, 2011). Di era maju saat ini, internasionalisasi di sektor pendidikan tinggi dan riset bukanlah hal tabu.
Keempat sekaligus terakhir, kerangka regulasi dan tata kelola. Ada sejumlah persoalan terkait kebijakan sumber daya manusia dan beban administrasi yang harus diselesaikan secara komprehensif. Misalnya, banyak peneliti menghabiskan waktu lebih banyak untuk urusan administrasi ketimbang melakukan riset. Karena itu, sistem penganggaran dan pelaporan riset harus lebih terbuka dan fleksibel sesuai dengan karakter riset yang hasilnya tidak selalu bisa diukur sejak awal. Sistem tersebut harus bisa mendorong aktor-aktor lintas lembaga berkolaborasi, saling bertukar pengetahuan, mempromosikan kebijakan berbasis bukti, mendorong dihasilkannya lisensi dan komersialisasi serta startup dan spin-off. Regulasi yang berlebihan akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi berbasis pengetahuan.
Melangkah ke depan
Visi Indonesia 2045 telah dicanangkan. Namun, visi ini akan tinggal tulisan jika mesin utama untuk mencapainya tidak berfungsi. Mesin utama itu adalah daya saing dan produktivitas bangsa yang didorong oleh riset. Pertanyaannya: bagaimana membangun ekosistem riset yang sehat di Indonesia?
Pertama, interaksi dinamis di antara keempat aspek di atas akan mendorong pertumbuhan ekosistem riset yang sehat. Belajar dari universitas-universitas yang maju di bidang riset, ekosistem riset membutuhkan institusi yang akuntabel dengan pembagian tugas yang jelas, pendanaan riset yang fleksibel, serta memiliki gudang bakat (talent pool) yang bisa mengelola sumber daya dan mengarahkan riset, inovasi, serta aturan dan regulasi. Karena itu, ke depan Indonesia perlu merumuskan solusi jangka panjang guna meningkatkan kualitas riset dengan memperhitungkan seluruh komponen tersebut, bukan hanya satu atau beberapa bagiannya saja.
Kedua, pendekatan one size fits all tidak bisa dilakukan, tetapi perlu penyesuaian. Fungsi-fungsi yang berbeda dari sektor pengetahuan sebaiknya dikerjakan oleh lembaga-lembaga spesialis. Jika satu lembaga mengelola banyak fungsi, hal itu akan menimbulkan inefisiensi dan tumpang tindih. Akuntabilitas hanya akan bisa dicapai dengan definisi fungsi yang jelas. Belajar dari pengalaman negara-negara maju, Indonesia juga harus mendobrak sentralisasi di sektor riset serta mendorong adanya otonomi, inovasi, dan kolaborasi.
Pada akhirnya, hasil dari ekosistem riset yang sehat akan terlihat saat suatu negara menjadi tujuan pelajar dan akademisi terbaik, untuk belajar ataupun bekerja di universitas atau lembaga risetnya. Juga ketika perusahaan lokal dan global bersedia melakukan investasi jangka panjang di sektor pengetahuan. Apakah hal ini sudah terjadi di Indonesia? Jawabnya lugas: belum. Karena itu, Indonesia perlu merumuskan visi nasional untuk menyatukan upaya di bidang riset dan inovasi, termasuk tata kelola untuk mengoordinasikan kelembagaan, kebijakan, dan regulasi secara efektif.
Saya ingin satu hari nanti anak-anak saya, atau selama-lamanya anak-anak mereka, bangga karena negerinya menjadi tujuan belajar warga dunia. Bukan seperti bapaknya yang hanya bisa bangga karena pernah belajar dan menjadi peneliti di negeri orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar