Semakin mendekati pilpres 17 April, hoaks dan rumor kian marak. Indonesia bukanlah negara pertama yang demokrasinya terkontaminasi hoaks. Pemilu AS 2016 dan Brasil 2018 lebih dulu mengalaminya.
Apa yang membedakan jaringan penyebar hoaks di Indonesia dengan di negara lain?
Saya ingin berbagi pengalaman menganalisis jaringan percakapan media sosial (medsos) di Indonesia untuk keperluan disertasi di Universitas Ohio. Saya menganalisis intensitas dialog yang dimediasi oleh situs jejaring sosial. Untuk itu, saya harus membersihkan data saya dari jaringan akun palsu, social media buzzers, dan social media influencer.
Mereka itu, meski belum tentu menyebarkan hoaks, interaksinya di medsos masuk dalam kategori interaksi semu karena informasi yang mereka sebar bersifat "pesanan" (promoted information). Mereka digunakan oleh pihak yang ingin mendapat perhatian publik dengan cara memanipulasi penyebaran informasi di medsos, agar menjangkau lebih banyak audiens dan menjadi viral.
Media sosial Indonesia
Hal pertama yang membedakan jaringan penyebaran informasi pesanan, baik hoaks maupun bukan, di medsos Indonesia dengan negara lain, adalah pada pengguna akunnya. Di negara lain, hoaks dan misinformasi umumnya digerakkan oleh social media bots atau program komputer.
Penelitian Barberá (2014) di enam negara (AS, Inggris, Spanyol, Belanda, Italia, dan Jerman) terhadap ribuan akun politisi, parpol, dan jurnalis yang meliput politik, menunjukkan bahwa proporsi followers (pengikut) bots sangat tinggi.
Di Indonesia, akun-akun medsos penyebar hoaks umumnya dioperasikan manusia. Hal ini sulit dilakukan di negara maju seperti AS, Inggris, dan Jerman karena upah minimum mereka jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan di Indonesia. Karena itu, bots lebih disukai. Kalaupun menggunakan tenaga manusia, biasanya disubkontrakkan ke akun-akun yang dibuat di luar negara itu.
Mengenali jaringan penyebar hoaks oleh social media bots sedikit lebih mudah dibandingkan mengenali jaringan akun medsos yang dikelola manusia. Pada metode analisis jaringan, jaringan percakapan terbentuk karena adanya kesamaan pola interaksi antarpengguna media sosial. Interaksi terjadi misalnya saat menulis komentar, menyebutkan nama akun lain (mention), atau membagi pesan di media sosial (retweet/share). Para pengguna aku yang berpola interaksi sama akan membentuk cluster percakapan.
Pada cluster jaringan percakapan bots akan ada satu akun yang posisinya sentral dan akun-akun lain akan terhubung hanya ke akun tersebut, bukan ke sesama mereka. Bentuk jaringan percakapan paling umum adalah star-shape atau jaringan berbentuk seperti bintang, ada satu akun sentral yang pesannya diamplifikasi oleh akun-akun dalam cluster jaringan itu (Ratkiewics, Conover, Meiss, Gonçalves, Flammini, dan Menczer, 2011).
Kalau kita bayangkan di percakapan tatap muka, dalam cluster ini ada satu orang berteriak di tengah kerumunan. Lalu orang-orang di sekelilingnya ikut meneriakkan hal yang sama. Dengan demikian, teriakan menggaung lebih keras.
Pada jaringan percakapan yang digerakkan manusia, interaksinya lebih beragam, tidak melulu meneruskan atau menggaungkan sebuah pesan. Interaksi yang terbentuk juga tidak hanya terkait satu isu. Bentuk jaringan percakapan jadi lebih beragam sehingga lebih susah untuk menilai apakah jaringan tersebut masuk kategori percakapan yang dimanipulasi atau bukan. Jaringan penyebaran hoaks yang digerakkan manusia lebih menguntungkan karena potensinya untuk dihentikan (suspend) oleh platform media sosial juga lebih kecil.
"Buzzer" politik
Hal kedua yang membedakan penyebar informasi pesanan di Indonesia adalah social media buzzer yang bermain di strategi kampanye politik. Di AS, buzzer umumnya ditemukan pada strategi kampanye pemasaran untuk mempromosikan produk atau brand. Di Indonesia, social media buzzer bermain di hampir semua isu karena memang tujuannya menyebarkan informasi, membentuk dan memengaruhi opini publik. Bahkan, kampanye pemasaran sosial, yang tujuannya mengedukasi dan mengubah perilaku masyarakat, juga ada yang memanfaatkan social media buzzer.
Hal ketiga yang berbeda dari jaringan penyebar informasi pesanan di media sosial Indonesia adalah beragamnya jumlah cluster dan pihak yang mengoordinasi. Dalam penelitian saya, terdapat cluster-cluster yang hanya terhubung pada beberapa pengguna, tetapi menyokong isu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah topik atau isu bisa digerakkan oleh banyak kelompok yang akun-akun penggunanya sebagian besar tidak saling kenal.
Jika hanya mengandalkan visualisasi jaringan percakapan, sekilas akan tampak bahwa sebuah isu menarik perhatian beragam audiens karena ada banyak cluster yang terbentuk. Namun, perangkat lunak analisis jaringan tertentu akan membantu menunjukkan bahwa, meski ada banyak kelompok terbentuk, pola interaksi mereka sama.
Dampak beragamnya kelompok penyebar hoaks adalah semakin besarnya potensi teterpa hoaks. Anda bisa terhindar dari hoaks di satu jaringan pertemanan, tetapi belum tentu terbebas dari hoaks di jaringan pertemanan lain.
Kebutuhan untuk menarik perhatian warganet di tengah banjirnya informasi membuat bots, akun palsu, dan social media buzzer akan tetap menjadi pilihan untuk strategi penyebaran dan penggaungan informasi. Penggunaan bots kini membutuhkan biaya yang lebih murah dan semakin dapat meniru perilaku manusia dalam bermedia sosial. Dengan demikian, keberadaannya semakin susah untuk dikenali.
Pada pemilihan presiden AS 2016, penelitian Shao, Ciampaglia, Varol, Flammini, dan Menczer (2017) menunjukkan bahwa pengguna media sosial tidak bisa membedakan informasi yang disebarkan manusia dengan yang disebarkan bots.
Hanya dengan melihat ke profil akun pengguna saja tidak akan memberikan cukup informasi apakah akun itu bots, palsu, atau asli. Untuk membuktikan penggunaan akun-akun ini dalam menyebarkan misinformasi, ilmuwan biasanya menggunakan big data dan perangkat lunak analisis jaringan dalam menganalisis interaksi dan informasi di media sosial.
Percakapan media sosial yang digerakkan oleh bots, akun palsu, dan social media buzzer merupakan hasil manipulasi dan kebohongan. Hari ini mereka telah mencemari diskusi di ruang publik baru yang difasilitasi media sosial. Celakanya, percakapan dan diskusi publik yang dimanipulasi ini sering dimanfaatkan untuk politik.
Mari membiasakan diri untuk mengecek kebenaran informasi di media sosial. Jangan kita biarkan hoaks dan misinformasi meluas, apalagi jika sampai disalahgunakan untuk merebut kekuasaan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar