Telah berbulan-bulan kesadaran nalar dan pengetahuan kita dihajar habis oleh perseteruan semacam kampret lawan kecebong beserta konco-konconya. Semakin pilu ketika melihat ujaran-ujaran miskin nalar dan tak bermartabat berhamburan di media sosial.

Pada itu semua kita nyaris dibuat percaya betapa piciknya generasi muda saat ini, betapa miskinnya nalar dan kesadaran hidup bermartabat generasi muda hari-hari ini. Nafsu politis dan gelora pesohor politik sibuk mencari panggung telah menggulung hancur leburkan keelokan-keelokan orang-orang muda di Nusantara ini.

Dalam rasa galau semacam ini, hari itu saya seperti mendapat sebuah oase. Di sekolah kami (SMA Pangudi Luhur Don Bosko Semarang) para murid menyelenggarakan gelar seni. Mereka menampilkan ragam kreativitas. Para guru dan murid berbarengan merancang aneka pertunjukan seni. Dengan mengusung semangat From Heritage to Milenial Style, mereka tampilkan suguhan yang cerdas.

Saya katakan itu sebuah kecerdasan. Dengan sungguh mereka tampilkan kisah klasik Dewi Songgolangit. Dalam alur kisah klasik itu mereka ruangkan kreativitas-kreativitas kekinian seperti tari, band, dan paduan suara. Saya membayangkan kreator gelar seni itu berjerih payah untuk menciptakan ruang agar warisan kearifan luhur tetap dirawat oleh generasi milenial dengan cara kekinian.

Hari itu saya menyaksikan aneka kreativitas orang muda zaman ini mendapat ruangnya. Ragam tampilan mereka diletakkan dengan apik dalam alur kisah klasik Dewi Songgolangit. Jadilah rangkaian kreativitas itu bak simfoni elok yang disuguhkan layaknya orkestra. Sebuah pertunjukan klasik yang berasa segar bagi kaum muda.

Pada perhelatan gelar seni itu saya melihat begitu banyak orang muda dengan semangat yang menggelora. Ini baru satu sekolah. Beberapa sekolah kami, termasuk di daerah pedalaman Kalimantan Barat, seperti di Tanjung dan Tumbang Titi, juga sering membuat acara serupa. Mereka begitu antusias untuk menampilkan hasil kreativitas mereka.

Sampai di sini setidaknya ada dua hal yang pantas kita sadari. Pertama, negeri ini terus dianugerahi secara berlimpah orang-orang muda yang bersemangat dan kreatif. Kedua, yang mereka perlukan adalah ruang dan waktu (baca: kesempatan) untuk mewujudkan anugerah yang mereka terima dari Tuhan itu.

Dalam konteks keindonesiaan yang plural ini, salah satu tugas utama penyelenggaraan pendidikan adalah menciptakan kesempatan bagi orang muda untuk mengekspresikan talentanya. Catatan penting lainnya: pendidikan harus menciptakan kesempatan itu secara adil. Inilah aspek keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam ranah pendidikan. Pendidikan yang berkeadilan sosial itu serupa orkestra.

Ketika kesempatan untuk mengekspresikan diri dalam dunia pendidikan tidak diselenggarakan dengan berkeadilan sosial, maka sesungguhnya bangsa ini sedang melakukan kedunguan spiritual. Kita gagal memanfaatkan anugerah dari Tuhan untuk memuji dan meluhurkan nama-Nya.

Pendidikan yang sengaja diselenggarakan dengan tidak transparan dan tak berkeadilan sosial sesungguhnya serupa menaburkan ragi perpecahan. Biasanya ini terjadi karena kepicikan pelaku pendidikan yang dirundung rasa curiga dan kecemasan paranoid atas alasan kebinekaan negeri ini. Mereka tidak sadar, pendidikan bukan hanya menyentuh ranah fisik. Pendidikan sesungguhnya juga menyentuh ranah jiwa.

Ketika jiwa diasuh dengan roh curiga serta kewaspadaan yang cenderung paranoid, pada saatnya akan melahirkan manusia-manusia yang gampang curiga, emosional, dan destruktif. Nurani dan kearifan budinya membebal.

Ketika kini kita lelah oleh polah-tingkah perseteruan semacam kampret lawan kecebong, juga para pesohor politik haus panggung, kita pantas bertanya: apakah kita sempat diasuh oleh para pengasuh yang didera rasa curiga dan waswas paranoid? Sebab, lantaran perilaku mereka, kita tak mendengar simfoni indah sebuah orkestra di negeri ini.

Akhirnya, jangan sekali-kali berniat membuat ketidakadilan sosial dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini kalau kita tak ingin negeri ini bubar.

Sidharta Susila Pendidik dan Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Semarang

Kompas, 6 Februari 2019