Kali ini, Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu bertemakan "Beragama yang Mencerahkan". Tema ini merupakan usaha menemukan kembali konsep-konsep beragama (reinvensi) dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan global yang mencerahkan peradaban.
Belakangan ini, perilaku keberagamaan bangsa Indonesia menunjukkan gejala yang tidak menggembirakan. Setidaknya beberapa hasil penelitian terkait keberagamaan mendukung hal tersebut. Pertama, tingginya tingkat intoleransi, radikalisme, dan kekerasan.
Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM, 2018) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengindikasikan, 57 persen menunjukkan gejala persepsi intoleran, bahkan 37,7 persen bersedia untuk melakukan tindakan intoleran.
Penelitian ini juga menunjukkan angka 46,09 persen responden memiliki persepsi radikal. Gejala pemahaman intoleran dan radikal yang cukup tinggi merupakan ancaman serius terhadap keberagaman bangsa Indonesia.
Kedua, menguatnya politik identitas keagamaan. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK, 2018) menemukan semakin menguatnya politik identitas di Indonesia berbasis agama. Penelitian kualitatif ini digelar di sembilan provinsi di Indonesia.
Penelitian ini mencatat begitu banyak isu keagamaan dalam setiap kontestasi politik di daerah-daerah. Politik identitas dengan fanatisme buta tentu akan membahayakan, dapat menimbulkan pertikaian yang cukup serius di antara anak bangsa.
Ketiga, surplus narasi negatif, fake news, dan hoaks di media sosial. Hasil survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menunjukkan bahwa 92,40 persen responden menerima informasi palsu (hoaks) melalui media sosial. Produksi hoaks terkait dengan preferensi sosial politik menjadi isu utama, survei menunjukkan angka 91,8 persen.
Agenda pemilihan kepala daerah menjadi momentum terbesar dalam memproduksi isu hoaks. Menjelang pemilihan umum serentak tahun ini, di media sosial bertebaran beragam jenis isu hoaks, fake news dan konten-konten negatif. Alih-alih memproduksi guna melemahkan lawan politik, malah membuat politik kotor dan tidak sehat.
Bagi bangsa Indonesia, penghayatan agama adalah hal yang fundamental. Penghayatan itu termanifestasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi dengan hadirnya ketiga gejala di atas dapat menjadi pertanda melemahnya sikap keberagamaan kita.
Agama yang hendaknya menjadi jalan penuntun bagi pemeluknya, kini umat tak berdaya menghadapi realitas kehidupan yang begitu keras. Beragama tidak lagi menumbuhkan daya dorong untuk maju, malah sebaliknya membuat manusia lepas kendali. Saat demikianlah beragama terasa tidak mencerahkan, memajukan dan menggembirakan.
Muhammadiyah sejak didirikan (1912) memiliki karakter utama apa yang disebut oleh para peneliti sebagai gerakan pembaruan (tajdid). Tajdid yang ditafsirkan dalam konteks keindonesiaan itu telah membuahkan ratusan ribu amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Kebekuan beragama mengalami transformasi, dari sekadar penghayatan individu menjelma dalam konsep penghayatan sosial. Melalui tafsir Al-Ma'un, KH A Dahlan menembus batas-batas zaman.
Beliau mampu menghadirkan agama sebagai doktrin utama yang menggembirakan dan memajukan bagi pemeluknya. Beragama menjadi aktif, menumbuhkan kesadaran dan tindakan positif dalam kehidupan. Inilah yang kemudian disebut dengan beragama yang mencerahkan.
Gerakan pencerahan
Memasuki abad kedua, Muhammadiyah berkomitmen untuk menjadikan organisasi pembawa misi percerahan peradaban. Model gerakan pencerahan itu tertuang dalam dokumen resmi dengan judul "Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua".
Menurut dokumen itu, gerakan pencerahan (tanwir) adalah praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan dari segala bentuk keterbelakangan, ketertindasan, kejumudan, dan ketidakadilah hidup umat manusia.
Gerakan ini fokus pada agenda penyelesaian masalah kemanusiaan global, menjawab masalah kebangsaan dan keumatan, membangun relasi sosial yang berkeadilan.
Dalam konteks keindonesiaan dan kemanusiaan global. watak pencerahan Muhammadiyah harus menginspirasi agama-agama dunia. Ia mampu mengaktifkan karakter beragama yang mencerahkan, mampu membebaskan, memberdayakan dan memajukan kualitas hidup manusia, baik dalam berbangsa, bernegara serta hidup dalam masyarakat global. Untuk itu, ide reinvensi keberagamaan kita menjadi suatu keniscayaan.
Beragama seharusnya tidak terjebak dalam batas-batas perbedaan. Sebagaimana, misalnya, keterbelahan akan perbedaan pandangan dan pilihan politik, semakin menguatnya intoleransi atar-umat beragama yang dapat memicu kekerasan.
Kehidupan seolah hanya dibenturkan dengan perbedaan hitam dan putih. Beragama harus mampu mengaktifkan nilai-nilai utama dalam agama, sehingga mampu mengaktifkan umat menjadi daya pendorong berbuat kebajikan dan usaha sungguh-sungguh untuk mencegah kerusakan peradaban, kejumudan, kemunduran, dan ketidakadilan.
Dalam sejarah Islam, misalnya, sosok Nabi Muhammad SAW adalah sang pencerah peradaban kemanusiaan. Nabi aktif dalam menggugat sistem perekonomian yang cenderung mendiskreditkan dan menutup akses serta mengorbankan rakyat jelata.
Nabi juga aktif saat hijrah ke Madinah memprakarsai hidup berdampingan dalam bernegara, dikenal dengan Piagam Madinah.
Tentu setiap masa ada sosok pembaru yang mencerahkan sebagaimana KHA Dahlan, KH Hasyim Asyari, Soekarno, Moh Hatta, Agus Salim, dan lain sebagainya. Mereka adalah para sang pencerah peradaban awal abad ke-20 bagi bangsa Indonesia.
Bukankah watak beragama yang mencerahkan adalah ciri keberagamaan bangsa kita. Bukti otentik itu berupa hasil konsensus umat beragama dalam kesepakatannya terkait rumusan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Walau bersitegang, akhirnya pendiri bangsa mampu bersepakat.
Meminjam istilah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di atas kepentingan politik yang terpenting adalah kemanusiaan. Menjunjung kemanusiaan itu hanya dengan kejernihan moral (hati nurani). Itulah modal dasar beragama yang mencerahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar