Pemilihan presiden setiap lima tahun sekali sejatinya kesempatan bagi rakyat memperoleh pemimpin terbaik bangsa dalam arti sesungguhnya, bukan hanya disukai atau paling populer.

Namun, cara pendukung calon masing-masing tidak sepenuhnya mencerminkan proses untuk memperoleh pemimpin terbaik. Berkualitas atau kurang, berprestasi atau kurang, tidak penting. Yang penting jago kami menang. Dukungan rakyat digalang dengan cara polarisasi dalam suasana fans club.

Fanatisme massa pendukung secara sistematis terbentuk atas dasar sentimen (bukan nalar) politik. Seolah-olah, kontestan lain adalah musuh bangsa. Seolah-olah, kalau bukan jago kami jadi presiden, masa depan bangsa akan suram.

Fanatisme pendukung melebihi kesiapan kalah pihak yang berkontestasi. Padahal, kedua kontestan termasuk putra terbaik bangsa. Yang terpilih atau tak terpilih tidak akan sejelek seperti dibayangkan pendukung fanatik.

Kualitas demokrasi
Demokrasi selalu prosedural, tetapi tak selalu berkualitas. Menyalahkan demokrasi prosedural sebagai alasan ketakterpilihan adalah wacana di luar nalar politik.

Demokrasi memang sebuah proses rakyat memilih sendiri pemimpin mereka meski tanpa jaminan apakah yang terpilih itu seorang Mandela atau Hitler, sosok pemimpin yang mencintai rakyat atau yang ambisius, sosok pemimpin atau pejabat.

Bisa saja sosok yang kepemimpinannya secara obyektif baik tidak terpilih. Apalagi sekarang, manipulasi suara pemilih dimungkinkan secara massal dan cepat.

Namun, ada nilai tambah demokrasi. Terbuka peluang bagi rakyat untuk memiliki kepemimpinan yang lebih baik dari waktu ke waktu, yang mendatangkan kemaslahatan lebih besar bagi bangsa.

Demokrasi prosedural pun jadi berkualitas. Sebagian rakyat kita beruntung dengan kepemimpinan kepala daerah yang cerdas dan konsisten dalam politik menyejahterakan warga.

Sebagian rakyat kita masih belum beruntung karena dipimpin kepala daerah yang miskin inovasi dan integritas, pembajak kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, demokrasi satu orang satu suara tetap baik untuk alih kepemimpinan politik secara periodik tanpa revolusi. Rakyat secara individual merasa berdaulat untuk memilih pemimpin yang dikehendakinya.

Baik petahana maupun kompetitornya harus merebut hati mayoritas rakyat. Calon pemimpin masa depan dipaksa untuk lebih baik dalam melayani masyarakat. Namun, kualitas pemimpin di alam demokratis berkorelasi dengan kualitas (faktor tipikal) pemilih.

Apabila sebagian besar pemilih tak menghargai kepemimpinan progresif, besar kemungkinan pemimpin terpilih cukup bertipe pejabat penikmat fasilitas jabatan tanpa gereget kepemimpinan.

Apabila sebagian besar pemilih rendah literasi antikorupsinya, besar kemungkinan pemimpin terpilih akhirnya menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti sudah kita lihat.

Pemimpin yang baik di alam tradisional bisa muncul begitu saja seperti satria piningit yang dalam sekejap menjadi pahlawan. Namun, di alam demokratis, a country deserves its leader, bergantung apakah pilihan rakyat lebih didasarkan pada rasionalitas atau sentimen. Oleh karena itu, ada pemimpin yang menang lebih karena keberpihakan sentimen publik semata.

Dalam hiruk-pikuk perang dukungan di antara warga berbeda pilihan politik, calon pemimpin bangsa seyogianya tidak berdiam diri sebagai penonton. Sebab, ia tidak boleh menjadi pemimpin bangsa yang terbelah. Sebagai presiden terpilih nantinya, ia juga pemimpin mereka yang tidak memilihnya.

Jiwa kenegarawanannya harus melampaui polarisasi dukungan rakyat. Menang atau kalah dalam suatu kontestasi politik tidak boleh mengorbankan kohesi sosial, modal dasar bangsa untuk bergerak maju dan berjaya di kancah dunia.

Kualitas kepemimpinan
Namun, dalam konteks fanatisme pilihan politik, kampanye hitam (kebohongan) dan kampanye negatif—terutama di dunia maya—sudah keluar dari batas-batas nalar politik dan akal sehat. Caci maki di media sosial begitu vulgar, lupa bahwa demokrasi kita sedang jadi tontonan publik di seluruh dunia.

Bermula dari Pilpres 2014, taktik kampanye hitam dibiarkan merajalela oleh penguasa. Meski taktik itu tak berhasil, masyarakat terus terbelah sampai ke pilpres berikut. Oposisi berubah jadi fanatisme politik.

Namun, kita sebagai bangsa sudah bersepakat menjunjung "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan" dalam berbangsa (sila ke-4 Pancasila), kampanye negatif yang biasa dalam demokrasi tarung bebas di Barat bukan model demokrasi kita.

Calon pemimpin bangsa tetap salah satu putra terbaik bangsa yang martabatnya harus saling dijaga. Tidak boleh rakyat menyimpan citra jelek (apalagi kalau tidak benar) untuk calon pemimpin bangsa. Kita harus menjadi bangsa yang beradab dengan menghargai calon pemimpin bangsa, siapa pun orangnya.

Seandainya obyek kampanye hitam menang dalam pilpres, apakah kita akan sejahtera dipimpin presiden bercitra jelek? Untuk apa juga gara-gara mengikuti suatu kontestasi luhur, seorang kontestan kalah dan keburukannya terkuak menjadi konsumsi publik? Karena itu, penguasa sekarang tak boleh berdiam diri melihat lawan politiknya diserang kampanye hitam (pasti dilakukan oleh pendukung fanatiknya). Itulah sejatinya demokrasi kita. Demokrasi Pancasila.

Hanya politisi haus kekuasaan yang mau menikmati kemenangan di atas keterbelahan bangsa. Namun, malanglah bangsa yang dipimpin sosok demagog, dielu-elukan sebagian bangsa, tetapi ditakuti dan dibenci sebagian lainnya.

Ia sendiri tak mampu menjadi pemimpin yang berdiri di atas semua golongan dan menghadirkan kesejahteraan yang dijanjikannya semasa kampanye.

Aspirasi tertinggi calon pemimpin bangsa seharusnya bukan jabatan presiden. Bahwa ada sebagian rakyat yang tidak menyukai dirinya apabila jadi presiden, itu soal lain.

Sebagai pemimpin bangsa, apabila terpilih, ia tetap memperlakukan setiap warga bangsa sama di depan hukum dan melindungi hak-hak konstitusionalnya. Keutamaan politik seperti itu menentukan kualitas kepemimpinan bangsa di masa depan.

Bangsa Indonesia yang besar membutuhkan kepemimpinan yang berjiwa besar, tidak takut bertindak benar atau untuk sementara tidak populer, tidak cari aman, tidak menghindar dari tekanan politik internal ataupun eksternal, demi masa depan bangsa yang dipimpinnya. Suatu kualitas kepemimpinan bangsa yang melampaui kepemimpinan partai.

Dalam Republik, ideal kepemimpinan publik menurut Sokrates adalah raja-kota (pemimpin polis) berjiwa filsuf. Meski mampu memimpin, ia tidak ambisius sebab aspirasi tertingginya adalah kebijaksanaan.

Sebuah anekdot mengisahkan Sokrates yang tak mau mendengarkan laporan yang disampaikan seseorang tentang sahabatnya, kalau laporan itu tak memenuhi filter benar, baik, dan berguna.

Meski baik dan berguna untuk dirinya, tetapi kalau tidak benar, itu tak layak didengar. Calon pemimpin bangsa harus mencintai kebenaran, sebab ada amsal "kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa".