KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019). Industri tekstil dan produk tekstil masih memiliki peluang luas di pasar dalam negeri maupun ekspor namun menghadapi tantangan efisiensi dan persaingan global.

 

Indonesia kembali mengalami defisit perdagangan pada Januari 2019, antara lain, akibat turunnya harga komoditas di pasar dunia. Industrialisasi menjadi prioritas.

Defisit terjadi karena nilai ekspor nonmigas dan migas turun cukup dalam meski pada sisi impor, menurut laporan Badan Pusat Statistik, pekan lalu, sebetulnya terjadi penurunan untuk komoditas migas dan nonmigas.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah akan membuat kebijakan jangka pendek, yaitu tidak lagi memprioritaskan ekspor komoditas mentah, tetapi komoditas industri. Kita telah mengalami, mengandalkan ekspor komoditas mentah tidak menjamin pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkualitas.

Harga komoditas mentah selalu mengalami siklus naik dan turun. Sejumlah negara berusaha keluar dari jebakan ketergantungan pada komoditas mentah dengan mengolah menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Harga produk olahan lebih stabil, memberikan nilai tambah berlipat, dan membuka lapangan kerja.

Indonesia telah membangun industri sejak tahun 1970-an. Mulai paruh kedua dekade 1980-an sampai dengan datangnya krisis keuangan Asia tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah salah satu yang menjadi perhatian internasional. Tahun 1993, Bank Dunia dalam laporan "Keajaiban Asia Timur: Pertumbuhan Ekonomi dan Kebijakan Publik" memasukkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan.

Sumber pertumbuhan pada periode tersebut adalah industri manufaktur di berbagai bidang (broad base). Krisis keuangan 1997 menahan laju pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang sedang berjalan. Sejumlah ahli melihat industrialisasi kita masih berada pada tahap berkembang sehingga layak menjadi sumber pertumbuhan.

Kita saat ini berhadapan dengan situasi berbeda dibandingkan dengan akhir abad lalu. Mengembangkan semua industri tidak cocok lagi karena berhadapan dengan produk yang sama dari negara-negara lain yang lebih berdaya saing.

Industri yang perlu kita prioritaskan adalah yang berbasis sumber daya alam lokal dan manusia, dengan masukan teknologi. Pengembangan industri dasar di hulu akan menghasilkan ribuan industri di hilir, bernilai tambah tinggi, dan menyerap banyak tenaga kerja.

Keunggulan kita pada agroindustri sawit mentah, misalnya, menghasilkan puluhan produk hilir bernilai tambah tinggi. Batubara dapat diolah menjadi gas yang hasilnya, antara lain, dimetil eter sebagai energi bersih. Begitu pula nikel diolah di dalam negeri menjadi bahan baku industri besi nirkarat dan baterai premium.

Kita memiliki hasil agroindustri dan hasil tambang yang belum diolah, tetapi diekspor sebagai bahan mentah atau setengah jadi dengan berbagai alasan.