KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

Pasien demam berdarah dengue di RSUD dr Chasbullah Abdulmadjid, Kota Bekasi, Senin (28/1/2019).

Hujan yang terus mengguyur ternyata meningkatkan jumlah kasus demam berdarah dengue di sejumlah wilayah Indonesia. Hingga akhir Januari 2019, Kementerian Kesehatan mencatat ada 15.132 kasus dengan angka kematian 145 jiwa.

Pemicu demam berdarah dengue (DBD) adalah virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Gejalanya adalah demam tinggi, ruam, serta nyeri otot dan sendi. Pada kasus yang parah, terjadi kebocoran plasma sehingga peredaran darah terganggu, tekanan darah turun mendadak, dan akhirnya kematian.

Sebenarnya DBD bukanlah penyakit baru. Dikenal sejak 800 tahun lalu, penyakit itu biasanya menyerang di kawasan tropis Asia dan Afrika. Namun, perkembangan teknologi transportasi meningkatkan mobilitas manusia dan memperluas penyebaran. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kalau sebelum tahun 1970 hanya sembilan negara terjangkit, kini DBD menjadi penyakit endemis di lebih dari 100 negara.

Ditemukan pertama kali di Surabaya pada 1968, DBD kini menjangkiti seluruh wilayah Indonesia kecuali yang berketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Tahun 2019, Provinsi Jawa Timur di urutan tertinggi dengan 3.074 kasus dan 52 kematian, diikuti Jawa Barat (2.204 kasus dan 14 orang meninggal) serta Nusa Tenggara Timur (1.092 kasus dan 13 orang meninggal).

Sejauh ini, DBD belum ada obatnya. Yang bisa dilakukan adalah penatalaksanaan dalam perawatan untuk mencegah shock akibat penurunan tekanan darah mendadak ataupun kebocoran plasma serta memotong siklus hidup nyamuk yang sudah lama dipahami masyarakat.

Masalahnya, tidak semua orang waspada dan konsisten menjaga jangan sampai ada air tergenang, tempat berbiak nyamuk Aedes aegypti. Masyarakat lebih memilih pengasapan yang "instan", padahal kenyataannya cara dan bahan pengasapan sering tidak sesuai dengan standar.

Cara lain dikembangkan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada bersama Yayasan Tahija: menyisipkan bakteri wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti. Bakteri ini banyak di alam dan lalat buah pembawa wolbachia diketahui berumur pendek. Harapannya, kalau disisipkan pada nyamuk, nyamuk cepat mati dan tidak sempat menulari. Ternyata, wolbachia pada Aedes aegypty tidak sekadar memperpendek umur, tetapi juga mematikan virus denguenya. Sayang, butuh waktu untuk penerapannya karena penelitian masih panjang.

Ada tindak preventif yang sudah disahkan WHO tahun 2016, yaitu penggunaan vaksin DBD hasil penelitian Sanofi-Pasteur, Perancis. Namun, kapasitas produksi masih terbatas karena Sanofi baru mampu memproduksi 100 juta dosis vaksin per tahun, sementara kebutuhan 200 juta dosis (Time, 15/4/2016). Kendala berikutnya adalah harga vaksin masih relatif mahal, Rp 1 juta per dosis dan hanya boleh untuk usia di atas sembilan tahun.

Temuan terakhir adalah alat deteksi dini DBD buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menggunakan anti-NS1 antibodi monoklonal. Dalam situs resmi BPPT dijelaskan, antigen NS1 adalah glikoprotein yang dihasilkan virus dengue pada hari pertama hingga kelima pasca-infeksi sehingga deteksi DBD bisa dilakukan lebih awal ketimbang deteksi antibodi IgG/IgM.