Menarik mengikuti uraian Neles Tebay berjudul "Pilpres 2019 dan Isu Papua" (11/1/2019) dan Suprayogo Hadi (15/1/2019) berjudul "Evaluasi Kebijakan Pembangunan yang Afirmatif untuk Papua". Keduanya dimuat di harian Kompas.
Tebay pada intinya menyatakan bahwa kini masalah Papua muncul kembali sebagai masalah internasional. Hal ini disebabkan terjadinya konsolidasi di antara faksi-faksi perlawanan di Papua dan di lain pihak kurangnya perhatian dari pemerintah dalam hal ini.
Menurut Tebay, di luar bahwa mungkin tak menarik bagi pasangan capres-cawapres untuk disinggung dalam kampanye dan debat karena jumlah pemilih dari Papua hanya sekitar 4 juta orang, tetapi melihat masalahnya tetap penting untuk jadi perhatian pasangan calon, yakni masalah keadilan dan penanganan berbagai masalah lain masih menyisakan kecenderungan pendekatan keamanan dan diskriminasi.
Tebay juga mengajukan pentingnya mengingat kekhasan masyarakat Papua terkait dengan kehadiran TNI/Polri untuk menghindari pendekatan keamanan; perlunya strategi yang mendasar yang bisa menjangkau semua lapisan sehubungan dengan masalah "api dalam sekam"; perlunya gencatan senjata pagi TNI/Polri dengan mereka yang menentang yang sama-sama berkecenderungan menggunakan kekerasan; serta perlunya pendekatan dialogis untuk menyelesaikan semua masalah di atas.
Sementara itu, Suprayogo menunjukkan berbagai langkah pemerintah, baik di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam pembangunan dan afirmasi terhadap Papua dan Papua Barat.
Memang, menurut Suprayogo, ada beberapa kendala di antaranya adalah terjadinya mispersepsi terhadap berbagai aturan dan miskoordinasi dalam pelaksanaan sehingga tidak optimalnya pembangunan dan afirmasi.
Tulisan ini akan melihat sedikit ke belakang untuk menguatkan kembali dasar perdamaian di Papua yang seharusnya menjadi alas bagi pembangunan dan afirmasi kini, siapa pun pasangan presiden yang memenangi kompetisi dalam Pilpres 2019 nanti.
Alas
Hal penting yang perlu digarisbawahi dari uraian Tebay adalah keinginannya untuk pemecahan masalah dengan tetap mengingat pada keadilan dan kesetaraan tanpa diskriminasi dan stigma serta dialog.
Karena itu, afirmasi adalah hal yang tak bisa dihindari mengingat sejarah dan adanya kesepakatan otonomi khusus (otsus). Karena otsus merupakan kesepakatan, maka landasan itulah tempat melihat kembali (review).
Menurut saya, ada tiga alas bagi terbangunnya kesepakatan tersebut yang harus menjadi dasar bagi perseptif dan pelaksanaan pembangunan dan afirmasi "setidaknya yang telah difondasikan di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yaitu pengakuan yang menjadi landasan bagi adanya kesetaraan sebagai manusia dan warga negara Indonesia bagi warga Papua.
Kedua adalah penghormatan yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan berpendapat dan berkumpul; dari situlah, maka, ketiga, disepakati adanya transformasi kelembagaan negara untuk mengakomodasi mereka berupa UU Otsus No 21 Tahun 2001.
Dari sinilah kita mengukur bagaimana implementasi pembangunan dan afirmasi tersebut. Baik Presiden SBY maupun Presiden Jokowi telah banyak melakukan pembangunan fisik dan afirmasi, baik melalui dana otsus maupun dana lainnya, seperti dana alokasi khusus.
Presiden Jokowi bahkan telah melakukan terobosan dengan menyambungkan infrastruktur antarwilayah yang selama ini masih terputus serta kebijakan BBM dan logistik satu harga. Ini belum termasuk partisipasi dari BUMN-BUMN yang memberi alokasi afirmasi menurut bidang kerjanya. Namun, mengapa konflik masih mencuat?
Komprehensif
Meskipun konflik itu mungkin hanya aspirasi sebagian masyarakat Papua, hal itu tetap kunci mengingat perhatian internasional dan pelaksanaan keadilan dan persatuan dalam kebinekaan Indonesia.
Menurut saya, hal itu tidak bisa hanya dilihat dari faktor perbedaan dan kekhasan kebangsaan Melanesia. Karena pada kenyataannya hal itu bisa diterobos dengan pendekatan kultural keagamaan dan kehangatan personal seperti dilakukan Presiden Gus Dur pada masa lalu (Suaedy, 2018).
Tradisi masyarakat Papua yang kental dengan kesukuan dan tradisi juga tidak bisa dijadikan alasan adanya kendala penerimaan kehadiran pembangunan dan afirmasi tersebut.
Maka, review harus diarahkan kepada alas dan metode dalam realisasi UU Otsus tersebut. Setidaknya ada tujuh hal penting yang tercakup dalam UU Otsus tersebut yang seharusnya dilaksanakan secara komprehensif, konsisten, dan serentak. Namun, pemerintah cenderung hanya menyeleksi dan bahkan mereduksi aspek-aspek yang dilaksanakan.
Pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah gubernur dan bupati/wali kota menunjukkan keinginan atas aspirasi yang deliberatif tetapi, sebaliknya, tidak terbentuknya partai lokal sebagaimana dijanjikan UU Otsus menunjukkan ketidakseriusan dalam hal ini.
Partai lokal sebagaimana terjadi di Aceh telah mengerem adanya kekerasan dengan membatasi perbedaan di dalam ruangan dan membangun kepercayaan kepada kelembagaan negara secara signifikan.
Berfungsinya hukum adat, meskipun dengan fasilitasi yang sangat minim oleh pemerintah bagi organisasi, para tetua, dan hakim adat, juga menunjukkan berfungsinya kembali efektivitas tradisi dan lokalitas.
Namun, tidak terlaksananya rekonsiliasi yang seharusnya berimplikasi bagi perpindahan kepemilikan tanah yang terjadi secara tidak sah di masa lalu menimbulkan ketidakpercayaan yang akut.
Terbentuk dan berfungsinya Majelis Rakyat Papua (MRP) juga menunjukkan tradisi kesukuan dan informalitas kepemimpinan yang kuat dari Papua terakomodasi ke dalam sistem bernegara, tetapi campur tangan dan intervensi pemerintah pusat dalam penentuan anggota MRP yang mendekati operasinya kembali semacam "litsus" menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat karena meniadakan aspirasi genuine bagi mereka. MRP sejak semula didesain untuk menampung pemimpin informasi dan tempat berdebat bagi mereka.
Begitu juga perubahan kata pelurusan menjadi klarifikasi sejarah dalam UU merupakan kebesaran hati masyarakat Papua, tetapi pembatasan kebebasan berpendapat dan berkumpul serta penggunaan pendekatan keamanan mendorong masyarakat pada kegamangan dan ketidakpercayaan yang meluas. Begitu juga tidak jelasnya pelaksanaan penegakan HAM yang dijanjikan di dalam UU Otsus.
Evaluasi
Dengan demikian, evaluasi terhadap Papua bukan hanya pada pelaksanaan dana otsus serta pembangunan dan afirmasi lainnya, melainkan harus lebih mendasar pada alas dan niat baik bersama. Penghormatan dan kesetaraan tanpa syarat adalah landasan utama, sedangkan kebebasan berpendapat dan berkumpul adalah kunci bagi terbangunnya kesalingpercayaan (trust bulding) dan pengakuan kesatuan kebangsaan (nation building).
Jika ada aspek-aspek yang tak lagi relevan dalam UU Otsus, hal itu bisa dilakukan evaluasi dan amendemen dengan kesepakatan baru, tetapi tidak dengan menelantarkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar